34. Malam ....

2368 Words
Jam menunjukkan pukul 10 malam, tapi Deema masih menonton televisi yang menayangkan film kartun. Jika kalian bertanya kemana perginya Aiden, tak perlu khawatir, karena Aiden tengah sibuk dengan laptopnya di meja makan.  Tubuhnya belum bergerak dari kursi meja makan itu sejak mereka makan malam, beberapa jam yang lalu. Katanya, Aiden sedang memeriksa kelengkapan yang harus ia siapkan nanti, tentang proyek besarnya itu.  Deema sebagai kekasihnya, hanya bisa mendukung dan menunggu hingga Aiden selesai dengan pekerjaannya. Kalian tidak perlu iri dengan status baru mereka, itu jalan yang mereka pilih agar hati mereka lebih nyaman. Walaupun mereka baru saja bertemu beberapa Minggu yang lalu.  Deema mulai merasakan kantuk menghampirinya, tapi ia ingin menunggu Aiden. Ia ingin tahu Aiden akan tidur dimana, ia tidak mau jika nanti dirinya tidur terlebih dahulu, Aiden tidur di sebelahnya. Itu tidak akan terjadi. Lebih baik ia menunggu Aiden menyelesaikan pekerjaan.  Ia melirik di mana Aiden berada. Deema sedikit kesal karena Aiden sangat asyik sekali dengan pekerjaannya itu, tanpa berbicara sedikit pun kepadanya.  "Hmmm ..." Gumam Deema mencari perhatian kepada Aiden.  Tetap saja, Aiden yang notabenenya orang tidak peka, ia tidak peduli dengan kode yang diberikan oleh Deema.  Deema pun memilih untuk menarik selimutnya, dan merebahkan tubuhnya yang sangat lelah.  "Sudah mau tidur? Tidur saja." Akhirnya ... Deema mendengar suara itu juga.  "Aku ngantuk, tapi nunggu kamu lama." "Nunggu saya? Mau tidur bareng?" Deema langsung mengalihkan perhatiannya. Ia menatap tajam ke arah Aiden. "Sekali lagi kamu ngomong, aku usir kamu dari sini," kata Deema yang saat ini sudah duduk kembali.  Aiden sedikit tersenyum dan membuka kacamatanya, ia merenggangkan otot-otot tubuhnya. "Terus kamu mau apa nungguin saya? Tidur aja." "Aku takut nanti kamu tidur di sebelah aku lagi," kata Deema terlampau jujur.  "Saya?" Aiden menunjuk dirinya sendiri.  Deema mengangguk. "Iya. Kamu gak bisa ngejamin apapunkan?" Aiden bangun dari duduknya, ia menghampiri Deema. "Tidur," ucap Aiden yang menyuruh Deema untuk membaringkan tubuhnya.  Ia pun membantu Deema untuk menggunakan selimutnya. "Saya tidur di sofa. Kamu tidur di sini. Saya enggak akan macem-macem." Aiden berbicara dengan wajah yang serius untuk meyakini Deema jika ia adalah orang yang bisa menjaga dan menghormati perempuan.  Deema melihat wajah Aiden yang sangat lelah, pastinya Aiden lebih lelah darinya karena sudah bekerja dan menyetir keluar kota. Hatinya sedikit tersentuh melihat Aiden yang sangat lembut kepadanya. "Tidur di sofa sakit, kamu tidur di sini aja enggak apa-apa. Tapi aku jagain pakai guling," ucap Deema yang berbicara pelan-pelan. Ia pun malu berbicara seperti itu. Bagaimana tidak, ia tadi menolak keras Aiden untuk tidur di kasur yang sama dengannya, tapi saat ini Deema menyuruh Aiden untuk tidur bersamanya.  Aiden merapihkan rambut Deema. Ia pun menggeleng. "Saya tidur di sofa, tidak sopan kalau saya seperti itu dengan kamu." "Hah? T--tapi kan kita enggak ngelakuin apa-apa," kata Deema sedikit menaikan suaranya.  "Syutt ..." Aiden menyimpan jari telunjuknya di depan bibirnya. "Saya masih menjaga dan menghormati kamu. Saya gak tau kelanjutannya seperti apa kalau saya tidur berdua dengan perempuan. Saya masih normal, Deema ..." Bisik Aiden yang membuat Deema merinding.  Dengan cepat Deema memejamkan matanya. "Iya, Mas. Aku tidur duluan." "Bagus. Selamat tidur ...." Deema bisa mendengar suara itu, dan ia bisa merasakan jika tangan Aiden mengusap dahinya. Tak lama, ia tahu jika Aiden pergi meninggalkan dirinya yang akan tertidur ini. Sepertinya Aiden akan melanjutkan kembali pekerjaannya.  Ah, hari yang sungguh melelahkan dan mengejutkan bagi Deema. Statusnya baru saja berubah beberapa jam yang lalu, saat ini statusnya ia sudah menjadi kekasih orang. Aiden, seorang guru di sekolahnya yang baru ia temui beberapa Minggu belakangan ini.  Aiden pun yang sudah mengubah hidupnya menjadi sangat baik. Mengubah perlahan sikap dan sifatnya yang cukup jahat itu. Entah ini sebuah takdir yang Tuhan berikan kepadanya, atau hanya seseorang yang mampir di kehidupannya untuk mengubah sedikit alur di cerita kehidupannya agar lebih baik. Yang pasti, Deema cukup senang dipertemukan oleh Aiden.  Biarlah malam ini menjadi saksi, dari semua waktu yang sudah ia lewati dengan kebingungan arah hidup. Kini Tuhan sudah memberi Aiden hadir di hidupnya, Deema harap ini memang yang terbaik. Tentang nanti bagaimana, biarlah itu menjadi kuasa ilahi. Deema hanya bisa pasrah dan mengikuti semua alurnya.  Untuk mengawali tidurnya kali ini, adalah sebuah senyuman. Bukan lagi tangisan air mata yang harus ia keluarkan.  ..... Dering alarm berbunyi, Deema mendengar suara bising itu berasal dari ponselnya. Dengan tangan kirinya, ia meraba-raba kasur untuk mencari dimana ponselnya berada. Setelah dapat, Deema pun langsung mematikan ponselnya itu.  "Hoaamm ..." Ia menguap, mencoba membuka matanya yang masih sangat berat ini.  Setelah beberapa detik kemudian, Deema memaksakan matanya untuk terbuka. Keadaan di kamar ini cukup redup karena lampu utama tidak di nyalakan.  Ia melihat ke arah layar ponselnya. Pukul 6 pagi, kenapa alarm itu harus berbunyi? Membuat dirinya kesal saja. Jika sudah terbangun seperti ini ia pasti sudah tidak bisa tertidur lagi.  Deema menyimpan kembali ponselnya. Ketika melihat ke arah depan ia sedikit terkejut melihat Aiden yang tertidur tidak memakai selimut, pasti Aiden sangat kedinginan.  Deema bangun dan menyeret selimutnya untuk ia pakaikan kepada Aiden. Pelan-pelan ia menyelimuti tubuh Aiden. Dan ternyata Aiden pun tidak memakai bantal? Ya ampun, pacar macam apa Deema ini.  Setelah menyelimuti Aiden, Deema mengambil satu buah bantal yang tak terpakai. Dengan hati-hati ia mengangkat kepala Aiden dan menaruh bantal empuk itu untuj menyangga kepalanya. Sepertinya Aiden baru tertidur, ia melihat cahaya kecil di laptop Aiden masih menyala.  "Dia baru tidur kali ya? Semalem begadang mungkin ..." Kata Deema.  Ia memilih membereskan bekas cangkir kopi yang di pakai oleh Aiden. Membereskan meja makan yang terlihat berantakan itu. Ia membuka sedikit tirai, ternyata hujan turun kembali. Kapan hujan ini akan berhenti, namun ada perasaan senang di hati Deema karena hujan turun. Tapi, di sisi lain ia bingung bagaimana cara mereka pulang dari kota ini jika di tengah jalan nanti masih terjadi longsor.  Ketika membuka tirai, ia mengusap embun yang menempel di jendela, ia ingin melihat pemandangan pagi hari di sini.  Deema melihat ada seorang pedagang sayur yang lewat, ia merasakan perutnya butuh diisi, sepertinya memasak sarapan pagi ini cukup baik dari pada harus menunggu pesanan dari hotel.  Deema bersiap-siap memakai cardigan tipis yang ia bawa di tasnya, mengambil beberapa lembar uang, merapihkan rambutnya, lalu keluar dari kamar. Ia ingin membuat sesuatu untuk dirinya dan Aiden makan di pagi hari yang sangat dingin ini.  "Serem banget sih," gumam Deema yang melihat keadaan lorong hotel yang sepi. Lagipun ini masih pagi, jarang orang yang berkeliaran apalagi di luar hujan turun.  Sampai di luar hotel, ia melihat ada beberapa buah payung yang di simpan di dekat pot bunga. Deema pun mengambil payung itu untuk berjalan menuju tukang sayur keliling.  Biarlah Deema terlihat norak. Toh di sini bebas, tidak ada yang akan melarangnya.  Di pedesaan ini sepertinya sayur mayur harganya murah. Deema membeli beberapa jenis sayur dan daging ayam, ia akan membuat sup, dan perkedel kesukaan Aiden. Hanya dua itu saja, semoga Aiden suka.  "Terimakasih, Mas ..." Kata Deema sambil menerima kembalian uang yang ia bayar.  Deema kembali berjalan ke arah hotel. Menyimpan payung itu ke dalam tempatnya. Ia sudah berjaga-jaga untuk membawa paper bag, agar tidak terlalu malu masuk ke dalam hotel membawa plastik hitam seperti ini. Ingin cepat sampai, Deema pun memilih untuk masuk ke dalam lift.  Keluar dari lift, ia sempat lupa di mana kamarnya berada, yang pasti seingat Deema, kamarnya itu di depan pot bunga berwarna hijau tua. Memasukan kunci ke dalam pintu, pintu pun terbuka.  Ia menutup pintu pelan-pelan agar tidak menimbulkan bunyi apapun. Ketika masuk ke dalam kamar, ia melihat Aiden masih tertidur, dan terdengar dengkuran halus di sana.  Deema tersenyum kecil melihat itu.  Ia berjalan ke dapur, dan tak lupa mengambil ponselnya. Menelpon Celline sepertinya pilihan yang bagus, agar Celline memberitahu jika ia tidak masuk hari ini.  Sebenarnya ia sudah memberitahu teman-temannya semalam, tapi lebih afdol lagi kalau ia menelpon.  "Halo?" "Tumben Lo telpon. Ada apa?" Suara Celline terdengar seperti berteriak, karena selain suara Celline, Deema pun mendengar suara gemuruh seperti hujan yang besar.  "Iya, Lo udah di sekolah? Tolong izinin Gue dong, Gue enggak bisa masuk hari ini." "Aaa iya-iya ... Gue ini ada di sekolah masih di dalam mobil. Tapi katanya di liburin. Lo tau? Pohon gede-gede yang ada di sekolah kita semuanya tumbang dan kena beberapa kelas sampai rusak parah." "Oh ya? Ada korban?" Tanya Deema ia sedikit terkejut, tapi ia mengecilkan suaranya agar tidak terdengar oleh Aiden.  "Enggak ada kayanya. Tapi sekolah kita di liburin kaya pak satpam barusan. Guru-guru belum tahu soalnya ini baru banget kejadian tadi." "Syukur deh kalau enggak ada korban. Jadi Lo mau balik lagi?" Tanya Deema. Ia melemas-lemaskan suaranya agar Celline percaya jika ia sedang sakit.  "Iya, Gue mau pulang lagi. Lo sendiri tau kalau dari kemarin hujan besar banget. Lo lagi sakit? Sakit apa? Gue jenguk ya?" "A? Gue sakit biasa aja kok, Cell. Lo gak perlu ke sini, jalanan ke rumah katanya lagi banjir. Lo cari aman aja." Untung saja Deema memiliki alasan yang tepat.  "Ah, iya juga. Tadi Gue juga liat mobil Aya balik lagi." "Iya, Cell. Lo hati-hati ya. Bye Cell." "Bye Deema ...." Telpon pun dimatikan. Deema mengusap dadanya, untung saja ia tidak jadi absen hari ini. Karena sekolah di liburkan.  Ia menyimpan ponselnya, mengikat rambutnya yang panjang, dan Deema bersiap-siap untuk membuat sarapan pagi ini.  Pertama-tama ia mengambil beberapa wadah yang sudah tersedia di dalam dapur ini. Ternyata di sini pun tersedia beberapa bumbu dapur, untung saja.  Ia mencuci semua bahan-bahan yang akan ia masak. Mulai memotong sayur, merebus daging dan kentang, lalu menyiapkan bahan lainnya.  Selain jago dalam hal menghias kue, Deema juga bisa memasak akibat kebiasaannya dulu ketika ia tinggal bersama neneknya. Neneknya itu selalu mengajarkan Deema bagaimana cara memasak yang baik, rapi dan benar. Juga selalu memperlihatkan kepada Deema hal-hal baik yang ada di dunia ini. Sungguh Deema sangat rindu dengan neneknya kali ini.  Dari jendela, Deema bisa melihat jika hujan turun semakin deras. Ini memang sudah di penghujung tahun, jadi tak heran jika hujan terus turun bahkan sampai 24 jam.  "Gimana pulangnya ya?" Tanya Deema yang memikirkan bagaimana ia pulang.  Dari arah sini, ia bisa sedikit melihat ke arah sofa yang sedang di tiduri oleh Aiden.  "Gemesh banget sih. Laki siapa tuh." Deema terus berbicara sendiri, hatinya saat ini menjadi berbunga-bunga ketika melihat Aiden bahkan yang sedang tertidur itu.  Sambil memasak sayur, Deema mulai membulat-bulat adonan perkedel kentang yang sudah ia buat. Tak lupa, memanaskan minyak agar semuanya cepat selesai.  Menunggu minyak panas, ia mencicipi sayur yang sedang ia buat. "Emm ... Kurang apa ya? Pakai lada sedikit lagi aja kali ya," kata Deema yang memasukan kembali serbuk lada ke dalam sayurnya.  Minyak sudah panas, Deema pun menggoreng perkedel itu. Kalian tidak perlu khawatir menanyakan dimana nasinya, Aiden ternyata membeli nasi instan yang di simpan dekat lemari es. Nasi itu hanya perlu di hangatkan melalui microwave.  Ia mencium aroma masakannya sendiri. "Emmm ... Wangi banget," katanya dengan berbangga diri.  "Kamu lagi masak?"  "Astaghfirullah! Kamu ngagetin aja deh," kesal Deema sambil mengusap-usap dadanya.  Di saat berbalik, ia terkejut melihat Aiden yang sedang duduk di depan pantry sambil melihat kearahnya. Dengan mata yang setengah tertutup.  "Kenapa bangun? Ini masih pagi, kamu baru tidur ya?" "Hmm ... Mau peluk tapi bukan muhrim," gumam Aiden yang masih terdengar di telinga Deema. "Hah?" Tanya Deema yang ingin bertanya kembali kepada Aiden, takut jika ia salah mendengar.  "Enggak." "Kamu tidur lagi aja." "Saya cium wangi masakan. Makanya saya bangun. Saya lapar." Deema rasa semua masakannya sudah matang, ia pun mematikan kompor listrik itu. Dan memindahkan hasil makanannya itu ke meja makan.  "Kamu laper?" Aiden mengangguk. "Sarapan dulu, lanjut tidur aja."  Deema merasa jika mereka sudah seperti menjadi suami istri. Indah bukan? Sayangnya mereka belum sampai ke tahap yang lebih serius itu.  "Ayo ..." Ajak Deema yang menyadarkan Aiden agar berpindah ke meja makan.  Ia menyiapkan nasi untuknya dan Aiden. Aiden berjalan dengab matanya yang sedikit tertutup.  Deema sedikit tertawa. Ia memberi Aiden satu gelas air putih agar tubuh Aiden kembali segar. "Seger?" Tanya Deema. Aiden mengangguk. Ia pun akhirnya bisa membuka mata, melihat makanan yang sudah di sediakan oleh Deema. "Kamu beli ini dimana?" "Di tukang sayur." "Di hotel ada tukanv sayur?" "Di depan situ tadi ada tukang sayur. Aku laper yaudah aku belanja." "Kenapa repot-repot kan bisa pesen." "Hmm aku mau masak sendiri. Enggak boleh?" Aiden melihat ke arah Deema. "Boleh, boleh banget. Saya bangun karena masakan kamu wangi. Saya kira lagi mimpi." Deema memberikan Aiden satu mangkuk sup. "Kamu baru tidur?" "Iya, selesai shalat subuh saya tidur." "Semalem cuma minum kopi?" Tanya Deema kembali. "Hm, hanya ada itu. Saya beli nasi instan tapi lauknya enggak ada." "Ada-ada aja," ucap Deema.  Deema melihat Aiden menyeruput kuah sup buatannya. Ia sedikit cemas, takut jika Aiden tidak suka dengan masakannya.  "Gimana, keasinan ya?" Aiden menggeleng. "Ini pas, dan enak." Deema pun tersenyum di puji seperti itu oleh Aiden. "Syukurlah ... Ini perkedel kesukaan kamu."  Aiden menerima semua makanan yang di berikan oleh Deema. Menu sarapan sederhana, tapi ini bisa membuat hatinya sedikit bahagia karena ia melihat siapa yang memasak makanan ini.  Deema pun mulai memakan sarapannya. "Pelan-pelan, Mas ... Enggak aku habisin kok ... Hahaha ...." Aiden tersenyum. "Terimakasih ya sudah membuatkan masakan ini. Pasti repot." "Sama-sama ... Ini kemauan aku. Kamu gak perlu seperti itu." Mereka pun makan dengan baik sambil berbagi cerita. Sampai-sampai Aiden menambah nasinya sampai 3 kali. Entah karena lapar atau memang suka, yang pasti Aiden memakan semua masakan Deema sampai habis.  "Mas, kamu belum tau pohon-pohon besar di sekolah tumbang. Sekolah hari ini diliburkan." "Oh ya? Ruangan saya kena dong. Saya belum lihat ponsel saya lagi." "Ruangan kamu ada di lantai bawah, enggak mungkin kena. Tapi katanya ada beberapa pohon yang tumbang. Jadi menutup akses kita buat masuk ke dalam sekolah." "Jatuh ke tengah lapangan berarti?" Tanya Aiden. "Mungkin. Kata Celline pohon itu tumbang dan jatuh ke beberapa kelas."  "Cuaca di sana buruk juga berarti?" Deema mengangguk. "Hujan enggak berhenti dari kemarin kata Celline." "Cuaca memang sedang buruk kali ini. Bisa jadi kita menginap di sini sampai lusa." "Hah! Enggak! Aku mau pulang sekarang." "Bener mau pulang sekarang?" "Iya, aku mau pulang sekarang. Aku kan kerja, Mas ...." Aiden mengangguk. "Saya tanya ke beberapa orang dulu. Memungkinkan atau enggak untuk kita pulang siang ini. Kalau cuaca sampai sore masih buruk mending kita cari aman saja. Oke? Jangan nangis ya?" Ucap Aiden seperti memberitahu anak berumur 5 tahun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD