35. Selalu menerima

2068 Words
Hujan belum juga reda sampai sore hari seperti ini. Malah, angin berhembus sangat kencang juga petir yang saling bersahutan.  Deema sangat cemas dengan keadaan ibu dan adiknya. Ia takut jika terjadi sesuatu di rumah mereka. Karena rumah yang mereka tempati memiliki banyak lubang di gentingnya, sehingga jika hujan turun rumahnya akan bocor.  Ia takut jika air memenuhi rumahnya, dan kebutuhan makanan mereka tidak terpenuhi. Deema bingung harus menelpon siapa, adik dan ibunya tidak memiliki ponsel, tapi Deema memberikan nomernya kepada adik dan ibunya takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.  Deema mengigit kuku tangannya, berjalan mondar-mandir tanpa henti selama beberapa menit. Rasa khawatir, dan takut bercampur aduk di dalam dirinya.  Deema berpikir, bagaimana jadinya jika hujan masih saja turun sangat deras seperti ini. Ini sepertinya bukan disebut hujan, tapi sudah termasuk badai. Bagaimana pekerjaannya di toko? Deema tidak enak dengan Kaila jika ia terus tidak bekerja.  "Kamu kenapa?" Tanya Aiden yang merasa fokusnya terganggu dengan Deema. Padahal jarak antara dirinya dan Deema cukup jauh, tapi ia sedikit merasa terganggu dengan Deema yang sedari tadi mondar-mandir. Deema tidak menjawab, ia masih sama berjalan-jalan seperti itu. "Sini, Deema. Duduk dekat saya," kata Aiden yang menyuruh Deema untuk duduk bersamanya di sofa.  Sebentar, Deema melihat ke arah Aiden yang juga sedang melihatnya. Ia pun pasrah dan memilih untuk menghampiri Aiden dan duduk disebelahnya.  "Kenapa? Pengen pulang?" Tanya Aiden dengan lembut.  Deema mengangguk seperti anak kecil. "Aku khawatir sama ibu dan Ratu." "Khawatir? Kenapa? Mereka bisa jaga diri kok." Deema menggeleng. "Mas ... Ru--rumahku suka bocor walaupun hujan gerimis. Dan sekarang, hujan turun dua hari gak berhenti, aku khawatir tentang mereka." Aiden terdiam sebentar, ia memberikan tangannya kepada Deema agar Deema bisa bersandar di lengan Aiden. "Kenapa di liat? Sini, biar kamu tenang," kata Aiden yang meyakinkan Deema, bahwa lengannya itu, untuk Deema.  Dengan sedikit ragu, Deema pun mulai menyandarkan tubuhnya di dekat Aiden, dan menyimpan kepalanya di lengan Aiden. "Adik kamu punya ponsel?" Tanya Aiden.  "Ratu sama ibu gak punya ponsel, Mas. Aku khawatir banget sama mereka. Takut mereka belum makan ... Kita bisa pulang sekarang gak?" Kata Deema rasa khawatirnya bertambah lebih besar.  "Saya suruh orang ya buat ke rumah kamu, mau?"  Deema menatap wajah Aiden. Mengapa Aiden sangat gampang sekali berbicara seperti itu. Ia tahu jika Aiden memiliki kekuasaan, tapi ... Deema rasa tidak harus seperti itu juga. Deema menjauhkan tubuhnya dari Aiden, namun Aiden menahannya. "Enggak perlu," kata Deema singkat.  Dari arah kejauhan Deema melihat cahaya ponselnya menyala, ia membiarkan ponsel itu menyala. "Ada telpon. Gak kamu angkat?"  "Hmm ... Gak perlu." "Kamu marah? Kenapa?" "Enggak apa-apa, Mas ...." Aiden membenarkan posisi duduknya, saat ini ia lebih baik menghadap ke arah Deema. "Maaf kalau saya salah berbicara tadi, maaf ya ...." Deema tak bosan melihat wajah itu, wajah yang selalu menghipnotisnya. "Maaf ya ... Sayang ...." Sayang? Meleleh telinga dan hati Deema mendengar kata itu keluar dari mulut Aiden. Aaaaa .... Ingin rasanya Deema berteriak dan tertawa, tapi, ia tidak perlu bersikap alay seperti itu.  Aiden mengusap lengan Deema. "Diangkat telponnya, siapa tau itu penting." Akhirnya Deema pun mengangguk. Ia pun berjalan ke arah kasur dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya karena panggilan yang Aiden bilang kepadanya, tadi.  Deema melihat ada nomer tanpa nama yang masuk menelpon dirinya. Siapa ya? Deema hanya memberi nomer kebeberapa temannya saja.  "Siapa?" Tanya Aiden.  Deema mengangkat bahunya. "Gak tau siapa. Aku angkat atau jangan?" Tanya Deema. Aiden mengangguk. "Angkat." Deema pun mengangkat telpon itu. "Halo?" "Kak? Kak Deema?"  Ada banyak sekali kelegaan di hatinya mendengar suara Ratu. Ia cukup terkejut Ratu menelponnya, Deema pun duduk di kasur.  "Ratu ... Iya ini Gue. Lo baik-baik aja? Ibu baik-baik aja?" "Ya ampun, Kak ... Aku takut Kakak kenapa-kenapa ... Aku sama ibu baik-baik aja, Kak Deema dimana? Hiks ... Aku takut ...." "Hey? Kok nangis? Gue baik-baik aja, Ratu ... Gue ada di toko kue, banyak banget pesenan, Gue belum bisa pulang." Aiden menyuruh Deema untuk duduk kembali di dekatnya. Deema pun menghampiri Aiden, dan duduk di sebelahnya.  "Besarkan suaranya," ucap Aiden.  Deema mengangguk, ia menekan mode perbesar suara di ponselnya. "Jangan nangis ... Gue baik-baik aja ..." Kata Deema yang kembali mendengar suara Ratu yang menangis.  "Lo baik-baik aja? Udah makan? Ibu udah makan?"  "Iya, Kak. Kita baik-baik aja. Aku udah makan, ibu juga. Aku lagi pinjem hp abang konter buat telpon Kakak karena ibu khawatir sama kamu. Cuaca buruk kamu belum pulang dua hari." Deema melirik Aiden. Biarlah Aiden tau tentang semua keadaan keluarganya. Toh, memang seharusnya seperti itu. Tidak ada yang perlu Deema tutup-tutupi kepada Aiden, ia akan mulai membuka sepenuh hatinya untuk Aiden.  "Lo pegang uang? Hari ini udah makan?"  "Aku masih pegang uang pemberian Kak Deema aku tabung. Hari ini aku udah makan, tapi kayanya ibu belum dia gak mau makan karena mikirin kamu. Makanya aku nyari konter untuk telpon kamu." "Maaf ya ... Gue gak tau kapan pulang. Pesanan di toko banyak banget, Rat. Bilang sama ibu kalau Gue baik-baik aja  Jaga ibu ya, kalau ayah datang Lo jangan takut, Lo jaga ibu aja. Okey?" "Iya, Kak aku ngerti. Kak Deema jaga diri baik-baik ya. Di sini rawan kecelakaan apalagi cuaca buruk. Kalau di toko kak Deema lagi hujan kamu jangan dulu pulang." Deema menahan air matanya. "Iya, Lo jangan nangis ya. Harus kuat. Kalau ada uang lebih beli jajan aja, nanti uangnya Gue ganti dua kali lipat. Lo sekarang ada dimana?" "Ada di konter deket sekolah aku, Kak." "Sejauh itu? Lo jalan kaki atau naik angkot?" "Emm ... Jalan kaki, Kak ...." Di situ, air mata Deema pun luruh. Dia tidak akan berbohong jika ia sayang sekali dengan adik dan ibunya itu. Ia tidak ingin melihat ibu dan adiknya terus seperti ini.  "Ratu ... Dengerin Gue." Deema mencoba menahan tangisnya agar tidak bersuara.  "Lo pulang naik angkutan umum ya. Jangan jalan kaki. Lo beli makanan apapun yang Lo mau, jangan di tahan. Kalau mau apa-apa bilang sama Gue. Ngerti?" "Iya, Kak ...." "Dan satu lagi. Jaga ibu selagi Gue enggak ada. Kalian harus makan itu yang utama. Lo punya uang berapa sekarang? Nanti Gue ganti dua kali lipat." "Aku pegang uang empat puluh lima ribu, Kak. Aku mau bayar telpon ini lima ribu, naik angkot lima ribu. Uang aku sisa tiga puluh lima ribu." Deema mengusap air matanya dengan kasar. "Lo mau beli makan apa? Lo jangan bohong ke Gue kalau Lo udah makan." "Maaf, Kak ... Aku makan semalam." "Ratu ..." Lirih Deema.  Aiden yang mendengar semua percakapan Deema dan adiknya itu hatinya sangat tersentuh. Ia mengusap punggung bagian atas Deema, bertujuan untuk menenangkan Deema.  "Lo beli snack atau makanan apapun yang Lo mau di depan gang sebelum ke rumah kita. Lo beli dengan uang Lo sendiri, nanti gue ganti dua kali lipat. Lo bisa masak nasi sendiri?" "Bisa, Kak ...." "Iya, Lo masak nasi sendiri. Berasnya Gue simpen di deket lemari piring. Lo beli lauk buat Lo makan sama ibu. Ngerti Ratu? Besok insyaallah Gue pulang." "Iya, Kak. Udah dulu ya Kak, Abang konternya udah minta hpnya balik." "Maaf ya, maafin Gue. Gue janji besok pulang. Jaga diri baik-baik, Ratu. Jangan lupa makan." "Iya, Kak. Kakak juga jaga diri baik-baik. Aku tutup telponnya." Sambungan itu pun terputus, Deema langsung menyandarkan tubuhnya dan menutup wajahnya karena ia tidak kuat menahan tangisnya. Firasatnya kali ini benar, adik dan ibunya belum makan bahkan khawatir tentang dirinya. Sungguh, Deema merasa malu dengan dirinya sendiri. "Maaf ya, saya sudah buat kamu repot," ucap Aiden yang saat ini berlutut di depan Deema, untuk melihat lebih jelas wajah Deema yang di tutup oleh tangan.  "Deema?" Panggil Aiden.  "Hiks ... Ini bukan salah kamu. Aku cuma lagi cenggeng aja," kata Deema yang kembali mengusap air matanya dengan cepat.  "Jangan nangis ya ... Kita pulang sekarang?"  Deema menggeleng. "Aku juga masih takut kalau di tengah jalan kita ketimpa longsor gimana?" "Jangan gitu." "Hiks ... Makanya." Aiden memberi Deema tissue, dan Deema terima dengan baik. "Ajak saya kenalan dengan adik dan ibu kamu bisa?" "Ngapain? Nanti kamu malu." "Deema." Panggil Aiden dengan suara serius.  "Buat apa saya malu?" Deema menggeleng tidak bisa menjawab. Aiden merapihkan tatanan rambut Deema. Ia pun kembali duduk di sebelah Deema.  "Dengar, saya enggak malu tentang apapun Deema. Malu itu kalau buka baju di jalanan itu malu namanya." "Bu--bukan gitu, Mas ... Masa kamu gak ngerti." "Saya ngerti. Saya cuma mau kamu kenalkan saya dengan adik dan ibu kamu, bisa?" Deema melihat wajah Aiden yang serius itu. Ia pun mengangguk. "Aku gak janji." "Harus janji." "Hari Sabtu saya jemput ke rumah." "M--mas ...." "Kamu jangan ragu buat cerita apapun yang ada di dalam hidup kamu. Adanya saya buat bantu kamu jadi lebih baik lagi, dan adanya kamu di hidup saya juga untuk menghibur dan mengisi kekosongan hati saya. Kita saling membutuhkan Deema. Dan satu hal yang harus kamu tahu, saya tidak pernah asal memilih perempuan untuk jadikan saya sebagai pendamping." "Kamu kok serius banget sih?" "Memangnya kamu gak mau kalau saya seriusin?" "Mau lah!" Mereka pun tertawa. Semoga saja semuanya berjalan terus seperti ini. Mereka yang saling membutuhkan, mereka yang terus hidup rukun, dan mereka yang terus saling menghargai.  .... Malam harinya, Deema sudah bersiap-siap untuk pergi dari hotel ini. Namun semua kegiatannya itu dihentikan karena ada satu telpon yang masuk ke dalam ponsel Aiden yang mengatakan jika longsor itu semakin parah, bukan mereda.  "Iya. Saya perpanjang di sini saja. Tidak perlu. Baik terimakasih ...." Deema tidak tahu apa yang diobrolkan oleh Aiden kali ini di telponnya. Yang pasti ia sangat bt kali ini, ia ingin pulang dan pergi dari tempat ini. Sampai kapan Deema harus tinggal di tempat yang cukup menyeramkan ini? "Mas?" "Longsor semakin parah ... Atau saya panggil helikopter untuk jemput kita?" Kata Aiden yang berbicara buru-buru di akhir kalimatnya agar Deema sedikit tenang.  Deema yang mendengar itu pun menjatuhkan dirinya di atas kasur. "Kamu mau panggil helikopter lewat jalur apa? Jalur miskin?"  "Liat tuh awan! Hitam pekat gitu juga, aku sih gak mau naik kaya gitu di saat cuaca buruk gini." Aiden terdiam. Semua ucapan Deema benar. Percuma ia menyuruh asistennya untuk mengirim helikopter jika cuaca buruk seperti ini.  "Terus gimana Mas ..." Rengek Deema yang sudah menghentak-hentakkan kakinya kesal seperti anak kecil. "Besok. Besok kita pasti pulang." Aiden menjauh dari Deema karena merasakan ada telpon yang masuk ke dalam ponselnya. Nama Kaila di sana.  "Iya ...." "Kamu kejebak cuaca buruk ya? Jalan tol longsor kamu jangan dulu pulang." "Oh ya?" "Kamu gak liat berita! Terus sekarang kamu dimana? Anak orang baik-baik aja kan?" "Masih di hotel. Deema baik-baik aja." "Awas kamu macem-macem sama Deema! Bunda sunat kamu dua kali." Kini suara bundanya terdengar.  "Hahhaa ..." Aiden bisa mendengar suara tawa Deema dari belakang tubuhnya. Ia cukup terkejut, berarti Deema dari tadi mendengarkan dirinya berbicara.  "Bunda, Pak Aiden macem-macem terus nih ... Masa ak ... Mpphhh ... Mphhhh ....."  Sebelum Deema melanjutkan ucapannya yang aneh itu, Aiden menutup mulut Deema dan mematikan ponselnya. "Syutt ... Kamu jangan ngomong. Nanti saya di omelin bunda," katanya sambil berbisik dan dengan ekspresi yang panik.  Deema tak berhenti tertawa terbahak-bahak. Tak lama telpon dari Kaila masuk. Kali ini bukan panggilan suara, melainkan video call. Mau tak mau Aiden pun mengangkat telpon itu.  "Ya Allah Aiden! Kamu apain anak orang?" Tanya Yara dengan sangat rempong di sana.  "Enggak diapa-apain kok, Bund. Dia aja yang ribet," kata Aiden membela dirinya.  "Awas ya kamu macem-macem. Bunda usir dari rumah." "Enggak macem-macem, Bunda ....." "Yasudah. Hati-hati di sana, lebih baik malam ini jangan dulu pulang. Ini sudah malam hari, lagipun hujan terus saja turun." "Iya, Bunda." "Kamu dan Deema sudah makan?" "Sudah, Deema masak barusan." "Oh ya? Pantes aja betah, Bund. Dia orangnya memang agak modus dikit," kata Kaila yang mengompori.  "Enak dong dimasakin Deema. Bunda percaya sama kalian. Jaga diri masing-masing yaa ... Bunda tutup telponnya di sini petir besar sekali." Aiden mengangguk dan melambaikan tangannya di depan kamera. "Bye Bunda ...." Telpon itu pun tertutup. Aiden tidak melihat Deema di sini, dan ternyata Deema sudah menutup tubuhnya menggunakan selimut.  "Mau pesen jajan malam?" Tawar Aiden untuk mengundang perhatian Deema. "Di dekat sini ada toko yang berjajar buat memperkenalkan makanan khas daerahnya. Yakin gak mau jajan?"  Seketika selimut itupun terbuka. Dan wajah Deema menyembul di sana. "Bener Mas?" Tanyanya. "Ayo, biar mood kamu naik." Dengan semangat Deema pun keluar dari dalam selimutnya dan berdiri tegap di samping Aiden. "Ayo kita langsung maju jalan," katanya dengan semangat. Aiden yang sudah sangat gemas dengan kelakuan Deema itu pun mencubit hidung kekasihnya. "Bikin gemes aja," katanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD