Berjalan berdua di atas payung yang sama, sambil ditemani dengan rintik gerimis yang syahdu. Mengundang atmosfer keromantisan mereka.
Deema merasakan perlakuan Aiden bertambah-tambah sangat manis. Dengan penuh kesabaran ia selalu mengingatkan ketika Deema salah, selalu bijaksana mengambil keputusan, dan tentunya Aiden sangat baik.
Mereka saat ini sedang berjalan-jalan di jalanan sekitar hotel, mencari udara segar dan ingin memburu jajanan malam hari. Katanya, di sekitar sini banyak sekali jajanan malam.
"Dingin?" Tanya Aiden yang melihat Deema menggosok-gosokkan tangannya.
Deema mengangguk. "Iya, di sini dingin banget. Inikan termasuk daerah pegunungankan, Mas?"
"Iya. Kenapa kamu gak pakai jaket?" Tanya Aiden.
"Aku gak bawa jaket, Mas ...."
"Pegang payungnya," kata Aiden yang menyuruh Deema untuk memegang payungnya.
Deema pun memegang payung yang sedang mereka pakai, Aiden melepaskan jaket kulit yang sedang ia pakai. Lalu ia simpan di bahu Deema. "Mas? Kamu kedinginan nanti."
"Saya laki-laki. Kamu perempuan, kamu bisa sakit."
Jaket besar itu menutup badan Deema yang kecil. "Pret ...."
Aiden sedikit tersenyum dan kembali mengambil alih payung yang di pegang oleh Deema. "Kamu memangnya tau daerah sini?"
"Emmm ... Sedikit."
"Kok sedikit?" Tanya Deema.
"Saya sudah beberapa kali ke sini. Saya pernah melihat banyak sekali pedagang kaki lima yang berjajar di depan jalan sana," kata Aiden yang menunjuk jalan, yang diterangi banyak lampu.
"Kamu bahasanya baku banget sih. Ganti dong," protes Deema. Ketika mereka mengobrol Deema merasa seperti sedang mengobrol dengan direktur.
"Saya tidak terbiasa."
"Yeu, biar kaya anak gahoel, Mas."
Aiden mengacak-acak rambut Deema. "Gaul-gaul. Norak."
"Aish ... Berantakan dong rambut aku. Bukan norak tau, kamu aja yang ketuaan. Hahahha ...." Deema tertawa karena puas meledek Aiden.
"Saya tua? Bener saya tua?" Tanya Aiden lagi.
"Emmm ... Tua apa muda ya? Tua sih ...."
"Mau liat kalau saya muda gimana?" Tawar Aiden.
"Gimana, Mas?"
"Ayo kita balik lagi ke hotel. Kita bikin dedek bayi."
Di saat yang bersamaan, Deema memukul lengan Aiden tanpa ampun. "Om-om m***m!" Kesal Deema sambil terus memukuli Aiden.
"Hahaha ... Aduh-aduh ampun ... Ampun, bercanda, sayang ..." Aiden langsung memegang tangan Deema yang sedang memukulinya.
"Sayang-sayang!" Kesal Deema. Selain Aiden yang ternyata bawel, sekarang Deema tahu jika Aiden juga suka bercanda yang tidak-tidak. Contohnya saja seperti tadi.
"Gak boleh panggil sayang?"
Seluruh badan Deema merinding disaat Aiden memanggilnya seperti itu. "Geli, Mas. Hahaha ... Ih geli banget denger kamu kaya gitu."
"Gak suka?"
"Suka, Mas sayang ...."
Sungguh indah keromantisan ini, sampai tiba mereka di tempat jalan yang dipenuhi oleh pedagang kaki lima tersebut. Ternyata benar, di sini cukup ramai diisi oleh ABG-ABG kota ini. Tak hanya itu, tentunya di sini diisi oleh berbagai kalangan.
"Mas ... Kok ramai banget?"
"Memang ramai. Seru?"
"Emmm cukup seru."
"Kamu mau apa?"
Deema memilih untuk berhenti berjalan. Saking banyaknya para pedagang yang menjajakan dagangannya, ia semakin bingung harus memilih yang mana. Di sini tak hanya pedagang makanan saja. Di sini pun ada pedagang baju, sandal, elektronik sampai alat rumah tangga pun terpajang di sepanjang jalan raya ini.
"Mas, aku mau cari baju dulu di tempat itu. Aku udah gak betah pakai baju ini," kata Deema yang menunjuk toko baju yang cukup besar dengan banner diskon yang terpampang.
"Kamu mau beli di sana? Jangan, nanti saja."
"Kok jangan, Mas?"
Aiden menggeleng. "Itu baju bekas."
"Oh ya?"
"Kamu lihat saja banner itu."
Deema pun kembali membaca banner yang tercetak jelas di sana. Ternya benar, itu pakaian bekas yang di jual kembali.
"Saya bisa menyuruh pegawai hotel buat beli baju kamu untuk besok. Tapi tidak beli di tempat seperti ini, okey?"
Jika Aiden berbicara seperti ini, Deema harus ingat satu hal, jika ia berpacaran dengan Aiden yang notabenenya adalah seorang bos besar, hidupnya mewah dan tentunya ia kaya. Deema tidak bisa sembarang meminta membelikan sesuatu di tempat seperti ini. Aiden termasuk laki-laki yang sangat posesif.
Perlu kalian ketahui, mereka belum melanjutkan perjalanan mencari makanan. Aiden dan Deema hanya diam berdiri di ujung jalan ini melihat orang-orang yang berlalu-lalang. Dan tak lupa, lengan Aiden yang selalu tanggap menjaga Deema agar tidak jatuh, menabrak, tertabrak, ataupun tersenggol orang lain.
"Iya, Mas ... Gak jadi beli."
"Kamu sudah coba makanan itu?" Tanya Aiden yang menunjuk pedagang kakek-kakek yang menjual martabak mini.
Deema mengangguk. "Rasanya saja saja. Hanya ukuran yang berbeda."
"Di pakaikan topping?"
"Iya, seperti meses, keju, selai dan lain-lain. Mas mau? Aku beliin ya."
Mereka pun berjalan ke arah pedagang Kakek-kakek itu. Deema memesan satu porsi dengan topping yang ia pilih sendiri. Satu porsi ada 8 buah martabak mini dengan harga 12 ribu rupiah saja.
"Berapa harganya, sayang?" Tanya Aiden.
Alih-alih menjawab, Deema malah melipat bibirnya. Karena malu plus grogi di depan Aiden yang selalu memanggilnya dengan perkataan sayang itu.
"Kok diem?"
"Emm ... Dua belas ribu, Mas."
"Serius? Harganya segitu?"
Deema menghembuskan napasnya. Ia sangat lelah jika harus berbelanja di pinggir jalan bersama dengan Aiden. Ia memilih untuk pergi saja berbelanja di mall. Alih-alih terkejut dengan harga di kaki lima, Aiden tidak akan terkejut jika mungkin ia belanja berjuta-juta di Mall.
"Iya, Mas ...."
Deema melihat Aiden mengeluarkan dompetnya dari saku celana. "Kamu kasih saja semuanya," kata Aiden yang menyuruh Deema memberikan uang satu lembar berwarna merah muda itu kepada sang kakek.
"Ini, Dek. Pesanannya."
Deema menerima makanan itu. Dan membayar. "Kembaliannya ambil aja, Kek ... Terimakasih ..." Kata Deema sambil tersenyum ramah.
Kakek itu sempat menolak. Tapi Deema kembali meyakinkan sang kakek untuk menerima uang itu.
Aiden tersenyum melihat Deema yang sudah membiasakan dirinya dengan hal-hal baik. Aiden bisa melihat jika Deema tidak lagi membentak ataupun jahat kepada orang lain.
"Ayo, Mas. Kamu mau jajan apa lagi?"
"Kamu mau apa?"
"Emm ... Beli s**u hangat kayanya enak deh dingin-dingin gini."
"Oh ya? Dimana penjualnya?"
"Itu," tunjuk Deema sambil melihat ke arah pedagang yang jaraknya hanya beberapa meter dari dia.
"Boleh, Mas?" Jangan lupa, Deema harus bertanya kepada Aiden jika ia boleh membeli itu atau tidak? Kalian tidak perlu bertanya apa alasannya. Pasti kalian sudah tahu sendiri apa jawabannya.
"Emm ... Boleh. Hanya satu saja."
Deema berpikir untuk apa Aiden mengajaknya kemari jika ia masih memikirkan tentang kehigienisan tempat ini? Padahal Deema rasa, jananan abang-abang itu memang sangat enak.
"Iya, Mas."
Mereka berjalan dan Deema memesan s**u yang berasal dari kedelai itu. Selesai, Deema mengajak Aiden untuk duduk di tempat yang sudah di sediakan. Ada beberapa tempat duduk yang atasnya sudah diberi payung-payung besar agar mereka tetap terlindungi dari hujan ataupun panas matahari.
"Duduk di sebelah saya saja," ingat Aiden yang melihat Deema hendak duduk dihadapannya.
Jika sudah berbicara seperti itu, Deema tidak bisa menolak ataupun menghindar. Ia lebih baik mengikuti semua ucapan tuan besar.
Deema membersihkan tangannya menggunakan tissue basah yang ia bawa di tas kecilnya. Pertama, ia meminum minuman yang sudah ia beli barusan. Rasanya hangat dan manis.
"Mas mau? Enak tau," kata Deema yang menawarkan Aiden.
"Enak?"
Deema mengangguk untuk meyakinkan Aiden bahwa minuman itu sangatlah enak. Aiden pun mencoba sedikit minuman yang diberikan Deema.
"Gimana? Enakkan?"
Aiden mengangguk dan kembali meminum itu. Sampai, ia mengklaim bahwa s**u kedelai itu miliknya.
"Mas ... Kok diambil."
"Ini saya yang pegang. Kamu makan martabak dulu saja," alibinya yang membuat Deema sedikit kesal.
Kini Deema mencoba martabak mini yang ia beli tadi. Wah, mengapa jajanan di sini sangatlah enak-enak. Deema tidak mengerti.
Ia mengambil satu martabak yang berisi topping messes, Dan ia berikan kepada Aiden. "Cobain, Mas. Ini enak."
Aiden menerima suapan dari Deema. Melihat ada sedikit cokelat di bibir Aiden, Deema pun membersihkannya dengan tissue yang sedang ia genggam di tangan kirinya.
"Maaf ya aku bersihin."
Aiden yang sedang mengunyah itu pun terdiam. Ia tidak tahu mengapa jantungnya berdebar sangat kencang seperti ini. Tahan ... Tahan ... Aiden harus menahan semua hasratnya di depan Deema.
Melihat gadis cantik yang pintar dan perhatian itu, membuat Aiden selalu ingin berada di dekatnya dan ... Aiden sangat sayang kepada Deema.
"Gimana? Enak, Mas?"
"Ha? Emm ... Iya enak." Aiden kembali melanjutkan mengunyah makanannya, dan mengalihkan pandangannya agar ia tidak terus melihat ke arah Deema.
Aiden merasakan bahunya sedikit berat, ternyata kepala Deema sedang bersandar di sana. "Mas, Minggu depan sekolah kita ada pensi. Terus denger kejadian tadi pagi gimana acarnya?"
"Kekacauan tadi pagi sudah di selesaikan. Perbaikan bangunan akan secepatnya. Sepertinya pensi itu hanya di undur beberapa hari."
"Bagus deh. Aku belum hafal lagu yang harus aku bawakan."
"Suara kamu bagus. Nanti anak-anak saya juga suaranya bagus."
"H? Huk ... Uhuk ... Uhukk ...."
Aiden tidak punya otak. Deema sedang memakan martabak itu harus tersedak karena terkejut dengan ucapan Aiden yang tak masuk di akal.
"Eh ... Minum-minum ...."
Deema menerima minum yang diberikan oleh Aiden. Sungguh, Deema sangat kesal dengan laki-laki satu ini. Selalu saja mengeluarkan ucapan yang tidak masuk diakal.
"Kamu kaget kenapa?"
"Mas, kamu kalau ngomong bikin orang kaget aja. Kalau aku jantungan terus mati gimana?"
"Enggak sampai segitunya. Memangnya saya berbicara seperti itu mengejutkan kamu?"
Bukannya minta maaf, Aiden malah tidak ingin kalah.
"Mas tadi bilang apa?"
"Saya kalau punya anak, suaranya bagus seperti kamu," katanya dengan sangat polos.
"Memangnya Mas mau nikah sama aku?" Tanyanya sedikit bercanda.
"Mau," jawabnya cepat tanpa berpikir.
"Ekehm ... Ekhem ..." Deema tidak tahu harus menjawab apa.
Lebih baik ia menyuapi martabak itu kepada Aiden. "Mas kita pulang atau bagaimana?"
"Jajan lagi saja tapi tidak yang aneh-aneh ...."
Deema mengangguk. Mereka menghabiskan makanan yang mereka beli. Selang beberapa menit, Deema mengajak Aiden untuk membeli sate ayam yang banyak pembeli itu. Sepertinya enak. Ia akan membungkus dan membawanya ke hotel. Ia pun tergoda dengan berbagai aneka gorengan yang sangat menggiurkan.
Ketika meminta kepada Aiden. Aiden sempat melarangnya, tapi karena Deema terus meminta dan mengancamnya akan menangis, akhirnya Aiden mengizinkan Deema untuk membeli gorengan itu. Aiden melarang karena takut jika Deema memgalami radang tenggorokan yang akan berakibat fatal pada suaranya yang merdu itu.
Selesai membeli dua jenis makanan itu, mereka pun kembali berjalan ke hotel karena hari sudah malam dan udara semakin dingin.
....
Deema berjalan membawa tiga buah piring, saat ini ia memakai handuk hotel yang cukup menghangatkan tubuhnya. Duduk di meja makan berdua bersama Aiden sambil menikmati makanan yang sudah mereka beli tadi.
"Mas jangan pakai sambal ya. Aku tau kamu gak suka pedes."
Aiden yang sedang berhadapan dengan laptopnya itu hanya mengangguk. "Ayo, Mas makan ... Malah main laptop."
"Saya lagi periksa laporan-laporan anak buah saya."
Deema yang cepat peka dan mengerti itu memilih untuk kembali menyuapi Aiden si bayi besar. Mereka membeli dua porsi, satu untuk Deema, dan satu untuk Aiden. Tangan kiri Deema memegang piring makanan untuk Aiden, dan di hadapannya tersedia piring makanannya. Selesai menyuapi Aiden, ia menyuapi dirinya sendiri. Seperti itu terus sampai makanan mereka habis.
"Mas mau buat kopi atau cokelat?"
"Kopi saja."
Sambil membawa piring kotor bekas makanan mereka, Deema berjalan ke arah dapur untuk membuatkan Aiden secangkir kopi.
Memasukan serbuk kopi yang diberikan oleh Aiden, ia pun mencampur kopi itu dengan air panas. Deema membawa cangkir kopi berwarna hijau itu untuk diberikan kepada Aiden.
"Ini, Mas. Hati-hati masih panas."
Aiden mengangguk. "Terimakasih ...."
Selesai dengan kegiatan makan malamnya, Deema berencana untuk beristirahat dan pergi tertidur di atas kasur. Namun ketika ia hendak membalikan tubuhnya, tangan Aiden menahan tangan kanannya.
"Temani saya di sini."