Iringan nada piano mengiringi langkah Deema, Aiden, Kinanti dan Ratu. Mereka berjalan ke sebuah meja yang sudah di sulap menjadi cantik dan tentunya mewah.
Mereka juga diantarkan oleh satu pelayan wanita dan satu pelayan pria, untuk menuju meja yang berada di tengah-tengah restoran mewah ini.
Deema sudah menduga jika Aiden menyewa tempat ini untuk beberapa jam kedepan.
Kinanti yang dulunya hidup dengan mewah, sudah tidak heran dengan tempat seperti ini. Namun, hidup susah selama bertahun-tahun, membuat dirinya sangat bersyukur bisa merasakan ketempat mewah seperti ini lagi.
Aiden mempersilahkan Kinanti untuk duduk di sebelah kanan bersama Ratu, dan ia mempersilahkan Deema untuk duduk di sebelahnya.
Sedari tadi, Deema tidak henti-hentinya tersenyum karena merasa sangat senang kali ini.
''Mas, udah aku duga kalau kamu sewa tempat ini.''
Aiden hanya tersenyum menjawab ucapan Deema. ''Bukan saya yang menyewa, tapi sekertaris saya,'' kata Aiden sambil berbisik.
''Maaf saya hanya bisa mengajak ke tempat seperti ini, Tante,'' ucap Aiden untuk merendahkan dirinya serendah-rendah mungkin.
''Aiden, panggil saya Ibu saya,'' ucap Kinanti. Aiden pun tersenyum dan mengangguk. ''Ini sudah sangat-sangat cukup, rumah saya pun tak semewah gelas di sini,'' lanjut Kinanti.
''Terimakasih sudah mengajak makan malam di sini, Nak,.''
''Terimakasih kembali sudah mau makan malam bersama saya.''
Dari sini, Deema bisa melihat karismatik Aiden sesungguhnya. Tidak ada lagi bercandaan yang Aiden lontarkan ketika sedang berada di depan ibunya seperti ini. Dan ... Tidak hanya karismatiknya yang muncul, ketampanannya pun sangat-sangat menonjol di sana.
Tak lama, tiga orang pelayan datang membawa makanan pembuka untuk mereka makan.
''Ada beberapa menu pilihan, Bu. Ini sudah di pesan oleh sekertaris saya. Katanya ini masakan yang paling best seller di sini. Ibu, Ratu mau ganti makanan? Atau kamu mau ganti?'' Aiden menjelaskan dan bertanya, takut jika mereka tidak suka dengan makanan yang di sajikan.
''Aku suka apa aja, Kak. Hehehe ...'' ucap Ratu sambil tersenyum.
''Aku suka, Mas. Kita nikmati aja. Jangan grogi,'' ucap Deema sambil diakhiri dengan berbisik di akhir kalimatnya.
Aiden sedikit tertawa. Ia memang sedikit gugup karena malam ini ia sedang berada di hadapan ibu dari kekasihnya. Bagaimana pun, Aiden harus mendapatkan hati ibu dan adiknya Deema terlebih dahulu.
''Ini sudah lebih dari cukup.'' Jawab Kinanti.
Mereka mulai memakan makanan pembuka mereka. Deema pun tak lupa untuk mengobrol dan mencairkan suasana di sana, agar tidak terlalu tegang.
Tapi, melihat Aiden yang sudah nyaman mengobrol dengan ibu dan Adiknya, hati Deema sedikit menghangat. Ternyata Aiden bisa menerima keluarganya.
''Kamu kerja di perusahaan hotel dan pariwisata? '' tanya Kinanti yang belum tahu pasti.
Aiden melirik sebentar ke arah Deema, padahal ia belum memberitahu apa pekerjaannya. Aiden kira, Kinanti hanya tau profesinya sebagai guru, ternyata Kinanti sepertinya tahu jika ia juga pengusaha.
''Mas Aiden guru olahraga di sekolah aku, Bu.'' Deema membantu Aiden untuk menjawab.
''Emm ... Kenapa kamu harus jadi guru kalau sudah punya perusahaan?'' Deema membelalakkan matanya, ibunya ini sungguh sangat polos.
Aiden pun menahan senyumnya karena lucu dan gemas melihat ekspresi Deema. Sebenarnya ia tidak menyembunyikan status pekerjaannya, tapi ia hanya ingin orang tua Deema tahu jika ia hanyalah seorang guru. Tapi ... Sepertinya Aiden harus berbicara jujur.
''Ayah saya pengusaha. Mau tidak mau saya harus menjadi penerusnya, Bu. Tentang profesi saya menjadi guru ... Itu cita-cita saya sejak kecil.''
''Masyaallah, Nak. Udah pintar, baik, sopan, ramah. Kamu bener-bener laki-laki sejati,'' kata Kinanti dengan diiringi tawa. Deema dan Aiden pun ikut tertawa.
''Jadi pengusaha itu sibuk, Nak. Kamu pasti capek banget, ditambah dengan profesi kamu sebagai guru.''
Aiden hendak menjawab, tapi suara Deema sudah terdengar. ''Ibu, dia bukan karyawannya. Dia yang punyanya, Bu ...'' kata Deema sambil berbisik, tapi masih terdengar jelas oleh Aiden.
''Oh ya? Kamu ternyata CEO-nya?'' mau tak mau, Aiden pun mengangguk sambil tersenyum canggung. Deema benar-benar ....
''Dulu, saya pernah kerja sama CEO yang galak banget. Kerjaannya suka marah-marah dan nyuruh-nyuruh karyawannya. Saya cuma bisa bertahan kerja dua tahun di sana, karena melahirkan Deema.''
''Ibu pegawai kantor?'' tanya Aiden yang cukup terkejut.
''Ya, dulu saya bekerja sebagai sekertaris. Tapi pendidikan saya tidak tinggi, hanya D3 saja.''
Aiden menatap kagum ke arah Kinanti. Ia tidak menyangka jika ibu dari kekasihnya ternyata seorang sekertaris, dulunya.
Tak lama, beberapa pelayan kembali datang menyajikan makanan utama malam ini. Sampai-sampai, meja yang begitu besar penuh dengan berbagai macam makanan.
''Mas, di makan sayurannya,'' ingat Deema disaat ia menyingkirkan mangkuk sup.
''Mas ...'' ingat Deema.
Aiden yang sedikit takut pun, kembali menarik mangkuk supnya untuk mendekat.
Deema baru tahu jika Aiden sesuka itu dengan makanan laut. Bahkan menu makan malam kali ini pun, seafood turut hadir di sana. Deema yang ingin menjadi pacar yang berbakti, ia mengambil beberapa kerang dan udang, ia pun membersihkan udang dari kulit dan kepalanya, lalu mengeluarkan kerang dari cangkangnya. Setelah bersih, Deema memberikan piring itu kepada Aiden.
''Terimakasih, sayang ...'' ucap Aiden.
Deema dan Aiden bisa melihat jika di ujung sana Ratu sudah menahan tawanya.
''Dia memang gitu, Mas. Diem-diem suka julid.'' Aiden tertawa mendengar ucapan Deema.
Makan malam terasa sangat nikmat dengan obralan-obrolan santai yang kembali mereka lontarkan. Ada sedikit penasaran di hati Aiden, tentang mengapa Kinanti tidak kembali bekerja di kantor dan memilih untuk hidup susah seperti itu. Namun ia tidak akan mengatakannya secara gamblang.
''Kalau boleh tau Bu, selain alasan Ibu melahirkan Deema, ada alasan lain yang buat Ibu berhenti bekerja?'' tanya Aiden dengan hati-hati.
''Saya melahirkan Deema, dan suami saya tidak mengizinkan saya berkeja. Sampai akhirnya, ketika Deema masuk ke sekolah menengah pertama suami saya bangkrut karena di tipu orang, dan orang tua saya meninggal. Itu yang membuat hidup saya menjadi susah seperti ini.''
''Semua aset yang saya punya habis, karena dipakai untuk membayar hutang ayahnya Deema.''
Dengan seksama Aiden mendengarkan cerita Kinanti. ''Maaf, Bu, saya sudah lancang.'' ucap Aiden yang merasa tidak enak hati karena sudah membuat Kinanti menjadi menceritakan masa lalunya.
Kinanti tersenyum sangat tulus ke arah Aiden. ''Tidak apa-apa, Nak. Saya hanya ingin memberitahu kamu, seperti inilah kondisi kita. Jika ingin bersama Deema, kamu juga harus menerima hidupnya.''
''Saya tidak memandang perempuan dari keberadaan materilnya, Bu. Saya hanya mencari perempuan yang baik, sopan dan pintar. Deema sudah lebih dari cukup buat saya.''
Deema melipat bibirnya, ia tidak tahu jika Aiden akan mengucapkan kata-kata yang sangat manis itu kepada ibunya.
''Ibu dengerkan? Mas Aiden baik. Dia bukan orang jahat yang selalu Ibu bayangkan.''
''Bukan seperti itu, Nak. Ibu hanya takut jika kamu dimanfaatkan. Kamu mengerti maksud Ibu?''
''Deema ngerti, Bu. Tapi Mas Aiden baik, Kok. Dia selalu jaga Deema.''
Kinanti mengangguk. ''Ibu percaya dengan kalian.''
''Ibu cepat sembuh ya. Kalau Ibu sudah sembuh dan siap bekerja, saya punya sesuatu untuk Ibu,'' ucap Aiden.
Deema melihat ke arah Aiden untuk bertanya. ''Apa, Mas? Ibu udah enggak kerja loh ....''
''Ibu sepertinya cocok menjadi HRD di perusahaan saya. Saya tidak akan memberi pekerjaan yang berat. Saya akan memberi Ibu beberapa anak buah dan asisten.''
''Mas ...'' ingat Deema, ia tidak mau ibunya kembali bekerja.
Walupun ibunya terlihat masih muda, tapi ... Deema tidak mengizinkan ibunya untuk kembali bekerja.
''Ibu punya kehidupannya sendiri, sayang. Kamu gak boleh ngelarang. Saya liat Ibu seperti ingin kembali ke dunianya.''
Kinanti terdiam sebentar. Penantiannya selama ini, akankah terbayarkan?
''Tidak ada perusahaan yang mau menerima Ibu dua orang anak seperti saya, Nak. Saya masih sangat ingin bekerja, tapi ....''
''Ibu hanya perlu datang ke kantor dan mengawasi pekerjaan karyawan. Ibu bisa? Saya tidak memaksa, tapi saya hanya ingin menawarkan saja. Maaf jika saya tidak sopan.''
Kinanti melihat ke arah Deema, Deema yang melihat kebahagian ibunya itu, mau tak mau ia pun mengangguk, mengizinkan ibunya untuk kembali bekerja. Kinanti pun melihat ke arah Ratu yang juga mengangguk.
''Kapanpun Ibu mau, jangan sungkan untuk bilang ke saya.''
Kinanti mengangguk dengan senang. ''Terimakasih banyak, Nak. Sudah memberikan saya kesempatan yang sangat lebar.''
...
Makanan penutup sudah disajikan beberapa menit yang lalu, saat ini, Aiden tengah mengajak Deema untuk pergi ke lantai dua, dimana dari atas kita bisa melihat pemandangan kota yang sangat indah.
Aiden memberikan lengannya, untuk Deema gandeng. Deema yang mengerti kode itu pun, langsung menggandeng lengan Aiden. Bukan, Deema bukan menggandeng, melainkan memeluk lengan Aiden.
''Dingin?'' tanya Aiden. Ia baru tersadar dengan pakaian Deema yang memakai baju lengan pendek.
''Perasaan saya pesan lengan panjang, kenapa kamu pakai jadi pendek?''
Deema yang tengah memeluk lengan Aiden pun menjadi bingung, ia melepaskan pelukannya dan melihat ke arah baju yang ia pakai. Aiden ada-ada saja, jelas-jelas ia memakai baju ini berasal dari kotak yang Aiden berikan. Dan bagaimana bisa baju ini berubah begitu saja.
''Memang seperti ini kok, Mas. Kamu aneh-aneh aja deh ....''
''Saya pesan semua lengan panjang, Deema. Saya harus protes.'' Aiden hendak mengambil ponselnya yang ada di kantung celana, namun Deema tahan.
''Mas, jangan protes. Udah enggak apa-apa, aku suka kok bajunya.''
Aiden pun menjadi mengurungkan niatnya. ''Kamu tidak apa-apa? ''
Deema pun mengangguk sambil tersenyum, agar Aiden percaya jika ia tidak apa-apa.
Aiden pun ikut tersenyum, ia merangkul bau Deema dan merapatkan ke tubuhnya, agar Deema tidak kedinginan.
''Ibu di bawah berdua loh, Mas sama Ratu.''
''Biarin, Ibu kayanya suka dengerin piano. Saya tau Ibu kamu itu kelasnya sosialita.''
Deema melihat ke arah wajah Aiden. ''K--kok Mas tau?''
Aiden mengangguk. ''Dia kayanya udah biasa hidup mewah dari kecil. Jadi enggak canggung. Keliatan dari penampilan dan sikap, sayang ....''
''Tapi Ibu gak matre kok, dia hidupnya sederhana tapi dulu memang kelas atas mainnya. Apesnya dia ketemu sama ayah yang bikin hidup kita jadi susah kaya gini.''
Aiden mencubit hidung Deema agar tidak sembarangan berbicara. ''Mulut kamu dijaga. Kalau gak ada ayah kamu, saya enggak akan kenal sama kamu. Agama kita mengajarkan, apapun kondisi kita, harus tetap kita syukuri, oke sayang?''
''Siap, Pak guru ....''
''Nah gitu ... Baru namanya murid pintar.''
Aiden mengajak Deema untuk lebih dekat ke pagar pembatas tempat ini, agar mereka bisa semakin melihat dengan jelas lampu-lampu kota yang sangat cantik.
''Kamu jangan tersinggung dengan tawaran yang aku berikan ke ibu tadi. Saya tidak asal berbicara ke orang, saya berbicara seperti itu karena saya melihat ibu kamu yang sepertinya ingin kembali ke dunianya.''
Deema terdiam dan mengangguk. ''Berbulan-bulan lalu, ibu sempet bilang kalau dia mau izin kerja. Setelah membuat lamaran, mungkin ibu engak keterima karena ibu udah tua, tubuhnya kurus banget dan tidak terurus. Aku kasian liat ibu yang harus rela membuang jauh-jauh kehidupannya cuma buat hidup susah seperti ini bersama anak-anaknya.''
Deema dengan cepat mengusap air matanya yang tiba-tiba terjatuh begitu saja.
''Saya akan membantu sepenuh hati saya agar kalian hidup kembali seperti semula. Kamu mau?'' tanya Aiden dengan suara lembutnya.
Deema pun mengangguk dan air matanya semakin keluar dengan deras. ''Terimakasih, Mas sudah sudi hadir di dalam hidup aku.''
Aiden mengangguk sambil tersenyum. Ia mengusap air mata Deema, dan membiarkan Deema memeluk tubuhnya dengan erat.
''Udah ... Nanti make up-nya luntur, sayang ....''
''Aish ... Mas ....''