''Mas, kamu belum cerita tentang masalah kamu tadi.''
Aiden melirik sebentar ke arah Deema sebelum ia meminum minumannya. ''Hem? Kamu mau denger?''
Dengan semangat, Deema pun mengangguk. ''Mau dong, Mas. Masa enggak aku dengerin.''
Mereka masih di tempat yang sama. Makanan mereka sudah habis tak tersisa, tinggallah es teh manis yang menemani mereka malam ini. Langit tidak sedang berduka malam ini, ia malah menunjukan bintang-bintangnya yang sangat indah.
Walaupun waktu sudah malam, tempat ini malah semakin ramai di kunjungi. Padahal saat ini jam sudah menunjukan pukul 21:35 seharusnya Deema sudah pulang saat ini, tapi ia sudah nyaman berada di dekat Aiden.
''Ada sedikit masalah di kantor.''
''Masalah besar? Aku gak tau tentang masalah perusahaan kamu. Tapi, kalau kamu jelasin aku bakal ngerti kok.''
Aiden bisa melihat ketulusan dari mata Deema yang teduh. Tidak seperti mata yang ia lihat pertama kali bertemu, mata yang penuh amarah dan kekesalan. Kadang Aiden tidak menyangka dirinya bisa mengubah sikap seseorang seperti Deema ini.
''Saya mencoba bekerja sama dengan beberapa rekan saya yang berada di luar negri untuk pembelian barang yang akan di gunakan nanti. Tapi ternyata, uang saya dibawa kabur dan saya gak nerima apapun dari uang yang saya berikan.''
Dengan refleks Deema langsung memegang lengan Aiden. Pasti Aiden saat ini sedang menyesal, walaupun uang sangat mudah di cari bagi Aiden, tapi Deema mengerti pasti tak sedikit uang yang Aiden keluarkan dalam masalah ini.
''Untuk pembangunan resort di sana?'' tanya Deema, mencoba lebih tau agar ia bisa lebih dekat dengan Aiden.
Aiden pun mengangguk dengan lesu. Kini ia lebih menunjukan wajahnya yang sedang lelah itu. ''Iya,'' jawabnya seadanya.
''Terus, Mas? Kamu harus gimana?'' tanya Deema, ia memang benar-benar tidak paham dengan hal seperti ini.
''Karyawan saya sedang menyelidiki. Sepertinya ada orang dalam yang juga membantu.''
''Mas rugi berapa?'' tanya Deema dengan hati-hati. Ia harus menyiapkan telinganya agar tidak terkejut dengan ucapan Aiden.
''Tiga puluh tiga miliar.''
Deema semakin terkejut mendengar itu. Ia tidak tahu seberapa kayanya Aiden. Sesudah mendengar akan hal ini, nyalinya menjadi sedikit ciut.
''Mas ...'' Deema meringis tidak tahu harus berbicara apa.
''Kenapa? Tidak apa-apa,'' kata Aiden yang berusaha tersenyum.
''Kita pulang yuk, Mas. Aku tau kamu capek.''
Aiden mengangguk, dan berjalan menuju parkiran. Deema baru tersadar dengan mobil baru Aiden yang berwarna kuning itu. Bagaimana ia baru tahu, padahal sore tadi ia menaiki mobil ini.
Selesai membayar parkir, Deema memakai sabuk pengamannya. ''Mas, aku baru sadar mobil kamu baru.''
''Ini mobil ayah. Enggak pernah dia pakai.''
Deema kembali menganggukkan kepalanya. Saat ini, keadaan diantara mereka pun hening dan sepi. Deema tidak tahu harus mencari topik pembicaraan apa, sebab ia saat ini tidak ingin mengusik Aiden.
Keheningan mereka dipecahkan oleh suara ponsel Aiden yang berdering. ''Mas, angkat dulu. Telpon dari ayah,'' kata Deema yang terlebih dahulu melihat layar ponsel Aiden.
''Biar saja.''
''Enggak biasanya ayah kamu telpon, Mas. Angkat saja dulu, siapa tau penting.''
Aiden akhirnya mengangkat telpon itu. Ia sambungkan dengan earphonennya. Aiden sudah tau ayahnya akan membicarakan apa.
''Iya, Yah ....''
''Dimana kamu? Sekertaris kamu bilang, kamu sudah pulang beberapa jam yang lalu.''
''Aiden lagi di jalan.''
Aiden bisa mendengar nada bicara ayahnya kali ini seperti sedang menahan amarah. Ia mengerti mengapa ayahnya marah. Pasti karena kejadian yang terjadi di kantornya. Karena sebagian uang itu, adalah suntikan dana dari ayahnya sendiri.
''Pulang. Ayah perlu ngomong sama kamu.''
''Iya.''
''Ayah tunggu dalam dua puluh lima menit.''
Sambungan itu pun terputus. Aiden yang sangat kesal, mencabut earphone bluetoothnya, dan ia lempar dengan sangat kencang.
Deema yang serius memperhatikan Aiden itu, sangat terkejut dengan amarah Aiden yang baru saja ia lihat. Benarkah itu Aiden?
Deema buru-buru mengalihkan perhatiannya, ia mencengkram erat sabuk pengaman yang sedang ia pakai. Karena amarah Aiden membuat laju kendaraan mobil yang sedang mereka naiki semakin tinggi kecepatannya.
''Mas ... Mas ...'' Deema memberanikan diri agar bisa menenangkan Aiden yang sepertinya amarahnya akan meledak itu.
Aiden tidak mendengarkan ucpan Deema, sampai ia terkejut dengan sebuah motor yang tiba-tiba melintas di hadapan mobil mereka. Dengan cepat, Aiden pun menginjak pedal remnya. Sampai decitan mobil itu berbunyi dan kepala Deema terbentur dengan dash board mobil.
''Aw!''
''Sayang!''
Betapa terkejutnya Aiden melihat Deema yang terus menunduk.
''s**t!'' ia mengumpat dan memukul stir dengan tangannya sendiri. Ingin rasanya ia memaki pengendara motor tadi.
Aiden melepaskan sabuk pengamannya, ia pun membuka sabuk pengaman Deema dengan pelan, dan menahan tubuh Deema yang sepertinya kesakitan karena dahinya terbentur dengan sangat kencang.
''Maaf, sayang ... Maaf ...''
Aiden langsung membawa Deema kedalam pelukannya. Ia merasa sangat bersalah kali ini. ''Maaf, Deema ... Saya salah.''
''Hiks ... Hiks ...'' suara tangis Deema pun terdengar.
Aiden mengepalkan tangannya dengan kencang. Ia sangat kesal dengan dirinya hari ini. Mengapa ayahnya itu harus menelpon di saat-saat seperti ini. Aiden butuh ketenangan, bukan tekanan yang terus ayahnya berikan kepadanya.
''Maaf, sayang ...'' Aiden terus mengucapkan kata maaf dari mulutnya. Jantungnya berdetak lebih cepat karena mendengar suara Deema yang menangis.
Aiden melepaskan pelukannya, dan memegang wajah Deema, untuk melihat bahwa semuanya baik-baik saja.
''Hiks ... Hiks ... Takut ....''
Aiden mengusap jidat sebelah kanan Deema yang berwarna biru. Ia sangat menyesal karena tidak benar dalam berkendara. Untung saja jalanan sepi, dan posisi mobil mereka sedang di pinggir jalan.
''Maaf, Deema. Saya salah ....''
Aiden dengan lembut mengusap jidat Deema yang memar itu. Pasti esok hari dahinya akan sedikit mengembung atau bisa di bilang adanya benjolan.
''Kita ke rumah sakit ya?'' tanya Aiden.
Deema menggeleng, ia mencoba menjauhkan dirinya dari Aiden. Namun Aiden menahan tangannya dengan kencang. ''Saya minta maaf. Kita ke rumah sakit sekarang.''
Aiden memakaikan Deema sabuk pengaman, dan sama dengan dirinya. Ternyata sabuk pengaman Deema sedikit longgar, sehingga ketika mengerem mendadak tadi, tubuhnya kepalanya terlempar ke depan.
Sambil menyetir, tangan kirinya ia gunakan untuk memegang tangan kanan Deema. Saat ini ia sangat hati-hati membawa Deema karena tidak ingin menyakiti kekasihnya untuk kedua kalinya. Ia harus benar-benar minta maaf, setelah kejadian membaik nanti.
''La--langsung pulang aja, Mas ... Aku mau pulang. Hiks ... Hiks ....''
''Sebantar ya, sayang. Kita ke rumah sakit dulu. Saya salah. Saya harus tanggung jawab.''
Aiden bisa melihat jika Deema menggelengkan kepalanya. ''Enggak, Mas. Aku mau pulang.''
Aiden tidak menjawab ucapan Deema. Ia memilih fokus menyetir untuk bisa sampai ke rumah sakit. Hanya butuh waktu beberapa menit, akhirnya ia sampai di UGD.
Aiden turun dari mobilnya, menyuruh perawat untuk membawakan Deema kursi roda.
Kursi roda sudah tersedia, Aiden membuka pintu mobil, dan memindahkan tubuh Deema untuk berada di atas kursi roda. Suster yang hendak mendorong kursi roda Deema itu, ia tahan. Dan ia lebih memilih mendorong kursi roda Deema sendiri.
Aiden diarahkan untuk masuk ke sebuah bilik dan memindahkan Deema ke atas brankar. Deema terus saja menunduk. Ia menahan tangis dan rasa sakitnya, juga ... Menahan rasa takutnya karena kejadian tadi. Ia tidak berani menatap wajah Aiden, karena menurutnya itu sangatlah menyeramkan.
Hendak memegang wajah Deema, tak lama, satu orang dokter perempuan datang menghampiri Deema.
''Saya lihat terlebih dahulu ya, Mbak.'' Dokter itu mengecek kondisi dahi Deema yang berwarna biru keunguan.
Aiden sedikit meringis melihat itu. Dokter selesai memeriksa. Ia pun pergi, sisalah satu orang suster yang sedang memberikan sebuah gel di dahi Deema, lalu di tutup oleh kain kasa dan beberapa plester.
''Pak, bisa ikut saya?'' tanya suster itu.
Aiden mengangguk dan mengikuti kemana suster itu pergi. Tenyata menuju ke arah meja administrasi.
''Cideranya tidak terlalu parah, karena dengan cepat diobati. Jika tidak, cidera itu akan lebih serius. Dokter sudah meresepkan beberapa obat, dan nanti akan saya antarkan ke Bapak.''
''Tidak parahkan?''
Suster itu menggeleng dan tersenyum. ''Tidak terlalu parah, karena cepat di obati. Silahkan untuk ke administrasi dulu, Pak.''
Aiden mengangguk dan mengucapkan banyak terimakasih. Ia pun langsung membayar administrasi rumah sakit Deema. Setelah itu, Aiden pun kembali menghampiri Deema yang masih menunduk.
Dengan lembut, Aiden merapihkan rambut Deema yang menutupi wajahnya. Dan ia duduk di hadapan Deema sambil tersenyum. ''Maaf, sayang ... Saya salah.''
Deema hanya bisa mengangguk. Ia tidak berani berbicara apapun.
''Sakit banget? Kamu boleh pukul saya sekarang. Biar impas.''
Deema pun menggeleng. ''Jawab. Saya bicara dari tadi.''
Deema mengangkat kepalanya. ''Mas pulang saja. Aku bisa pulang sendiri.''
Deema hendak turun dari brankar, tapi dengan cepat Aiden menahan tangan Deema agar tetap di tempatnya. ''Kamu tanggung jawab saya.''
''Lepas, Mas. Kamu gak usah pura-pura peduli sama aku.''
Emosi Aiden sedikit terpancing, namun ia tahan. Ia tahu dengan siapa ia sedang berhadapan. Gadis SMA yang egonya masih sangat tinggi. Harusnya Aiden bisa lebih sabar agar tidak terjadi hal seperti ini.
''Tidak seperti itu, Deema. Saya tidak sengaja. Saya sedang emosi tadi.''
Deema mengangguk membenarkan ucapan Aiden. ''Ya. Kamu boleh emosi. Tapi jangan sampai mencelakakan orang juga.''
Rasa bersalahnya semakin besar melihat Deema seperti ini. Ia ingin memeluk Deema, tapi ini adalah tempat umum. Aiden hanya bisa mengusap rambut Deema dengan lembut. ''Aku minta maaf ya, sayang ... Aku gak tau kalau kejadiannya bakal seperti ini.''
Deema melihat ke arah Aiden. Ia baru saja mendengar Aiden yang menyebut dirinya sendiri dengan sebutan 'aku' betapa terkejutnya Deema di sana.
Aiden sedikit merendahkan kepalanya, untuk bisa berbicara dengan Deema. ''Aku salah ... Kamu boleh mar--''
Tanpa aba-aba, Deema langsung memeluk tubuh Aiden.