''Aku mau tanya sesuatu sama kamu, Mas ....''
Di dalam perjalanan, Deema mulai membuka suaranya tentang jawaban yang belum ia temukan sampai saat ini. Kalian masih ingat tentang tadi pagi, sewaktu Deema hendak membayar uang sekolahnya, tapi ternyata biaya sekolahnya itu sudah di bayar oleh orang lain, yang Deema belum ketahui sampai saat ini.
Deema tidak perlu menduga-duga, ia sudah sangat yakin jika yang membayar biaya sekolahnya adalah Aiden. Tapi ... Deema hanya ingin meminta kejelasan, sejelas-jelasnya dari Aiden.
''Apa?'' tanya Aiden yang tengah fokus menyetir itu.
''Emmm ... Kamu harus janji dulu satu hal sama aku. Siap?''
Aiden melihat ke arah Deema. ''Kenapa, sayang? Saya jadi grogi,'' kata Aiden yang merasa dirinya sedang diintimidasi oleh Deema.
''Santai aja ... Tapi kamu janji harus jujur sama aku. Iya enggak, Mas?'' tanya Deema lagi.
Aiden pun mengangguk. ''Iya.''
''Iya apa? Yang bener dong jawabnya ....''
''Iya sayang ... Saya janji ....''
Deema pun tersenyum. ''Nah ... Gitu dong ....''
''Ada apa? Ada hal aneh?''
Deema mengangguk. ''Tadi pagi, aku ke ruangan tata usaha buat nyicil biaya sekolah aku. Tapi ... Kata Mbak-mbak tata usaha uang sekolah aku udah lunas semua ....''
''Aku gak tau siapa yang bayar. Dan gak mungkin yang bayar itu ibu atau ayah aku ... Lagipun jumlah uangnya banyak banget loh ....''
Aiden mendengarkan ucapan Deema dengan serius. Ia baru teringat akan satu hal, beberapa hari yang lalu, ia menyuruh sekretarisnya untuk mentransfer beberapa jumlah uang atas nama Deema, yang bertujuan untuk pelunasan pembiayaan sekolah. Dan kenapa Aiden harus lupa akan hal itu?
''Kenapa kamu gak tanya ke mbak tata usahanya?'' tanya Aiden, yang belum mau memberitahu Deema.
''Emm ... Dia juga gak tau siapa yang bayar. Yang jelas aku liat tadi, biaya uang sekolah aku udah lunas semua.''
''Serius dia gak tau?'' tanya Aiden lagi.
''Enggak, Mas ... Aish ... Aku tanya kamu loh ... Kamu malah jadi terus tanya-tanya aku.''
Aiden pun tertawa karena melihat wajah Deema yang sedang kesal itu, sangat gemas. ''Kamu ya yang bayar? Jangan banyak ketawa terus ...'' kesal Deema.
Aiden pun menghentikan tawanya. ''Bukan saya yang bayar.''
Deema mengangkat alisnya. ''Serius? Gak mungkin sih ... Siapa lagi dong selain kamu?''
Aiden mengangguk. ''Serius bukan saya.''
''Tadi udah janji loh, Mas ... Katanya kamu mau jujur. Bohong dosanya nambah loh ....''
''Bukan saya yang bayar, tapi sekretaris saya ....''
''Tuhkan! Kamu kenapa harus bayarin sih? Akukan udah kerja, Mas. Udah bisa bayar sendiri walaupun nyicil.''
Aiden melihat ke arah Deema. ''Kamu gak suka?''
Deema yang melihat ekspresi wajah Aiden seperti itu pun menjadi tak enak hati. ''Bukan aku gak suka, Mas ... Seenggaknya kamu bilang dulu sama aku. Aku jadi ngerasa gak enak. Itu bukan uang yang sedikit, Mas ....''
''Deema ...'' panggil Aiden, yang membuat Deema langsung mengerti arti dari panggilan itu.
Ia pun lebih memilih untuk mengangguk. ''Iya, Mas ... Terimakasih ya ... Maaf aku terus ngerepotin kamu ....''
''Deema ...'' Aiden kembali memanggil nama Deema dengan nada yang sama.
''Iya, iya ... Gak jadi minta maafnya ... Tapi aku mau bilang makasih ya, Mas ....''
Setelah mendengar ucapan Deema seperti itu, Aiden pun tersenyum dan mengangguk. ''Sama-sama, Deema ... Saya mau membantu kamu untuk meringankan beban yang ada di pundak kamu.''
''Uangnya kamu bisa tabung buat beli sesuatu yang kamu mau.''
Deema menggeleng. ''Semua yang aku mau, udah kamu beliin, Mas ....''
''Oh ya? Perasaan saya enggak beliin kamu apa-apa ....''
''Enggak apa-apa gimana, Mas? Sepatu mahal, baju mahal, perhiasan, make up, skincare ... Itu semua kamu yang beliinkan?''
''Uangnya kamu tabung saja. Ingat, kalau butuh sesuatu bilang ke saya.''
''Kalau bilang dan gak bilang kenapa, Mas?''
''Kalau bilang, saya kabulin saat itu juga. Kalau gak bilang, saya kabulin beberapa saat yang lebih lama dari saat itu.''
''Hahaha ... Sama aja dong, Mas?''
Aiden pun mengangguk sambik tersenyum. ''Iya, sama saja.''
Deema bisa melihat Aiden membelokan mobilnya ke sebuah gedung yang cukup besar dan tinggi. Gedung ini sama besarnya seperti mall-mall.
Aiden menghentikan mobilnya di depan gedung itu, ada dua orang penjaga yang sudah siap membukakan pintu mobilnya.
''Mas, keluar?'' tanya Deema yang melihat pintunya pun sudah di bukakan oleh penjaga itu.
Aiden pun mengangguk, dan ia keluar mobil terlebih dahulu. Deema pun ikut keluar, dan mengucapkan terimakasih kepada penjaga itu.
Setelah Aiden memberikan kunci mobilnya, kepada penjaga itu, ia mengajak Deema untuk masuk ke dalam gedung besar yang diyakini bahawa ini adalah perusahaan Aiden.
Deema tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa mengikuti kemana Aiden berjalan. Sepanjang perjalanan menuju lift, banyak sekali orang yang menyapa sambil menunduk kepada Aiden dan dirinya. Deema merasa sedikit malu ada di sini, tak sedikit juga orang yang menatap Deema dengan heran, karena ia masih menggunakan seragam sekolahnya.
Lift sudah terbuka, Aiden mempersilahkan Deema untuk masuk terlebih dahulu. Diam-diam, banyak sekali karyawan yang menatap kagum ke arah Aiden dan Deema. Dan tak sedikit diantara mereka juga bergosip tentang bosnya itu. Bagaimana tidak, bosnya yang mereka kenal tidak memiliki adik perempuan dan pacar, kini bosnya itu datang bersama perempuan berseragam SMA dan perlakuan Aiden yang mereka lihat sangatlah manis.
Banyak dari mereka yang melihat itu, menyimpulkan jika gadis yang Aiden bawa tadi adalah kekasihnya.
''Kenapa diem aja?'' tanya Aiden yang saat ini mereka tengah berada di dalam lift.
''Mereka ngeliatin aku gitu banget, Mas ... Apa mereka mikir kalau aku simpanan kamu ya?''
Seketika Aiden tertawa sangat kencang. ''Oh ya? Kamu berpikir seperti itu?'' tanya Aiden.
Deema dengan polosnya mengangguk. ''Iya, lagian mereka ngeliatin aku kaya aneh gitu ... Aku jadi malu ....''
Tak lama mereka sudah sampai di lantai 8, dimana ruangan Aiden berada. Aiden pun mempersilahkan Deema untuk keluar terlebih dahulu.
''Enggak apa-apa ... Mereka cuma aneh aja. Ruangan saya ada di sana,'' kata Aiden sambil menunjuk sebuah pintu berwarna cokelat tua.
Deema bisa melihat jika keadaan di sini lebih sepi dari pada di bawah tadi. Tapi tetap, masih ada beberapa orang yang tengah bekerja di balik komputernya.
Tak lama, ada seorang laki-laki yang sepertinya seumuran dengan Aiden. Deema melihat laki-laki itu memakai kameja berwarna ungu muda, dan ... Laki-laki itu cukup tampan.
''Siang, Pak ... Ada rapat sepuluh menit lagi di lantai tiga,'' katanya yang langsung menyapa Aiden lalu memberikan Aiden tab, yang Aiden terima.
Aiden melihat jadwalnya yang sudah tersusun rapi di sana. ''Saya siap-siap terlebih dahulu.''
Laki-laki itu pun mengangguk. Ia mengikuti Aiden yang berjalan masuk ke dalam ruangannya, begitupun dengan Deema.
Sesampainya di dalam ruangan Aiden, Deema sangat terkejut dengan kemewahan ruangan Aiden ini. Interior yang di buat dengan sederhana namun masih terlihat mewah. Dengan barang-barang mahal yang terdapat di dalamnya.
Aiden langsung berjalan menuju kursi kebesarannya. Mengambil jas yang sudah ia siapkan dan ia pakai. Deema yang tak tau melakukan apa pun bingung.
Ia hanya bisa diam, seperti orang yang tak tau arah jalan. Aiden yang melihat itu tersenyum. ''Saya mau ada rapat. Kamu diem di sini atau di luar sama karyawan saya?''
''A--aku di sini aja, M--mas ...'' kata Deema yang sempat ragu memanggil Aiden dengan sebutan Mas, karena di sini ada orang lain selain mereka.
''Santai saja ... Deema, kenalkan ini Zaffran, sekretaris saya. Sekaligus teman saya sejak kuliah.''
Zaffran pun tersenyum sambil membungkuk untuk menyapa Deema. Deema membalas senyuman Zaffran dengan senyum canggung yang ia punya.
''Saya rapat dulu ya. Nanti ada OB, kamu minta saja mau makan apa.''
Belum sempat Aiden melangkah keluar, Deema menarik lengan Aiden agar Aiden mendengarkan dulu ucapannya.
''Aku takut, Mas ... Aku boleh ikut gak?'' kata Deema sambil berbisik. Padahal suaranya terdengar kemana-mana.
Aiden dan Zaffran pun sedikit tertawa. ''Hanya sebentar. Nanti saya minta orang buat temenin kamu.''
''Aku mau pipis ...'' kini Deema kembali berbisik.
''Di dalam situ ada kamar dan ada toilet, sayang ... Kamu bebas kemana saja. Mainkan komputer saya juga tidak apa-apa. ''
Deema pun melihat kemana arah tempat yang di tunjukan oleh Aiden. Ia rasa tidak ada ruangan lagi selain tempat ini, ternyata ada ruangan tersembunyi yang baru ia ketahui. Ruangan itu berada di balik sebuah tembok yang berwarna hitam.
Deema pun melepaskan tangan Aiden. ''Nanti saya balik lagi. Kalau ada apa-apa, telpon, oke?''
Deema saat ini sudah seperti anak yang berumur lima tahun, yang ditinggalkan oleh ayahnya. Ia pun mengangguk. ''Iya, Mas ....''
Sebelum pergi, Aiden mengusap rambut Deema dengan lembut. Sebelum akhirnya ia keluar dari ruangannya.