''Mas mau? Jangan deh ... Aku cuma beli satu ....''
Aiden menelan ludahnya ketika melihat Deema yang asik memakan roti bakar yang mereka beli tadi. Bisa-bisanya Deema hanya membeli roti bakar untuk dirinya sendiri, tanpa memikirkan jika ada Aiden di sana.
Aiden pun tersenyum, dan mengusap kepala Deema dengan lembut. ''Makan ya yang banyak, biar keliatan seksi ....''
Refleks Deema membelalakkan matanya. Mana ada seorang guru berbicara seperti itu kepada muridnya? Sungguh Aiden tidak bisa menjaga etika. Tapi ... Merekakan saat ini bukan seorang guru dan murid, mereka adalah sepasang kekasih. Deema kadang sering lupa.
''Apaan sih, Mas ...'' kata Deema sambil melirik Aiden dengan sinis.
''Hahaha ... Kamu saya liat makan terus. Yauda lanjut aja makannya. ''
Mereka saat ini masih berjalan-jalan di tempat wisata yang sedang mereka kunjungi. Jam masih menunjukan pukul 11 siang, itu artinya masih banyak waktu mereka untuk berjalan-jalan, sebelum nanti berkumpul untuk acara barbeque.
''Aku tau, Mas Aiden belum makankan?'' tanya Deema. Ia menyuapi Aiden dengan roti bakarnya.
Aiden pun menerima suapan dari Deema, sebab ia merasa lapar. Apalagi di tempat dingin seperti ini. ''Kamu suka banget sama roti bakar ya?'' tanya Aiden. Ia perhatikan, Deema selalu saja membeli makanan seperti ini. Tidak pernah memilih yang lain.
Deema mengangguk. ''Enak banget tau, roti bakar itu makanan yang paling enak. Apalagi dimakannya waktu anget-anget, terus tengahnya itu lembut dan pinggir-pinggir rotinya itu garing. Emmm ... Enakkan, Mas? Kamu aja jadi suka.''
Aiden menarik tangan Deema untuk duduk di sebuah ayunan, dan Aiden pun duduk di sisi ayunan lainnya. ''Jadi kamu suka sama roti?'' tanya Aiden.
''Iya. Aku suka sama semua jenis roti. Roti apa pun. ''
Aiden mengangguk, ia kembali menerima suapan dari Deema. ''Mau beli lagi? Rasanya ternyata enak. Tapi jangan banyak-banyak. ''
Deema menghembuskan napasnya lelah. Aiden bagaimana sih, tadi menyuruhnya membeli lagi, sekarang bilang jangan banyak-banyak. Deema pun memutuskan untuk stop memakan roti bakar, ia ingin mencari jajanan lainnya. ''Emm ... Aku masih mau jajan yang lain. Biar perut gak terlalu kenyang. Kitakan mau makan-makan, Mas. Lupa ya, kamu?''
''Makan aja sesuka kamu. Saya suka kalau liat kamu banyak makan.''
''Bagus deh, kalau kamu suka ngeliat aku banyak makan. Aku suka makan soalnya. Hahaha ....''
Aiden tersenyum. Ia tidak pernah bosan berada di sisi Deema. Mungkin karena Deema yang jauh umurnya lebih muda darinya, jadi bisa mencairkan suasana yang ada. Sebelum bertemu degan Deema, ia tidak pernah terus tertawa seperti ini.
''Mau lanjut jalan cari oleh-oleh, atau di sini aja?''
''Emm ... Kayanya kalau beli oleh-oleh buat ibu dan Ratu nanti aja, bareng sama mbak Nomi dan Arin.''
Aiden mengangguk. ''Mau di sini dulu?''
''Iya, di sini bangus banget pemandangannya.''
Deema menghabiskan roti bakar yang ia beli tadi, lalu ia pun membuang bungkus roti itu ke tempat sampah. ''Mau kemana?''
''Buang sampah, Mas ....''
Mata Aiden tidak lepas dari Deema, kemana pun Deema pergi. ''Aish ... Aku gak kabur kok, mata kamu gak usah gitu juga,'' kata Deema yang saat ini sudah kembali.
''Biarin. Suka-suka saya.''
Deema merasa, Aiden sudah terkontaminasi virus anak SMA yang berbicara sangat gaul seperti itu. Entah ia belajar kepada siswanya atau ... Ia mendengar percakapan anak muridnya. Deema tidak tahu, yang pasti ia merasa semakin ke sini, Aiden semakin gaul. Gaya rambutnya pun cukup berubah.
''Mas besok ada kelas di SMA?'' tanya Deema.
''Emm ada, jam terakhir kelas sepuluh,'' ucap Aiden.
''Besok aku ada simulasi ujian, kayanya jam satu siang aja aku udah pulang. Dan besok hari senin, aku libur kerja ....''
''Kamu gak belajar? Atau sepulang dari sini kita belajar.''
Deema menggeleng. ''No. Aku gak suka belajar. Aku sukanya mendadak. Lagipun itu cuma simulasi, Mas.''
''Simulasi, tapi isinya yang benar.''
''Iya, Mas guru ....''
Aiden sedikit tertawa. ''Kamu punya janji sama saya,'' kata Aiden tiba-tiba.
Deema yang tidak ingat itu pun, mengerutkan dahinya. ''Janji? Janji apa, Mas?''
''Mau pergi ke kantor saya? Tidak ingat?''
''Ahh ... Janji kemarin itu. Tapi kamukan gak ada waktu. Besok kamu ada kelas di SMA.''
''Besok saya selesai ngajar jam dua belas tiga puluh, saya masih bisa nungguin kamu selama tiga puluh menit. Setelah itu kita pergi ke sana.''
Aiden selalu saja bisa mencari alasan dan cara. Jika sudah seperti itu, Deema tidak bisa mengelak.
''Tapi ... Aku malu. Nanti disangkanya anak SMA main sama om-om gimana? Terus nanti kalau dibilang aku simpanan kamu gimana?''
Aiden mengusap wajahnya. ''Siapa yang bilang seperti itu?''
''M--maksudnya kalau ada yang kaya gitu gimana, Mas?''
''Enggak ada yang berani.''
Deema menatap ragu ke arah Aiden. Antara percaya dan tidak. ''Bener? Aish ... Aku malu ....''
''Besok ya.''
''Aku pake baju apa? Terus sepatu apa? Warna apa? Aku pake make up gak? Gimana ya? aku kok jadi kepikiran.''
Aiden sudah tidak bisa menahan tawanya. ''Hahaha ... Masih besok sayang. Kamu gak perlu pakai baju apa-apa. Pulang sekolah langsung pergi ke kantor saya. Saya ada rapat jam dua siang.''
''Aku pake baju sekolah berarti, Mas?''
''Itu tempat punya saya. Jadi, suka-suka saya.''
''Okey. Siap.'' Deema tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Pasti panjang urusannya jika ia menolak ucapan Aiden.
''Sekalian saya mau menyiapkan ruangan buat ibu kamu. Dia pasti seneng.''
Deema baru teringat tentang janji Aiden semalam kepada ibunya. Sepulang dari acara makan malam, Kinanti sangat senang mendapat janji itu dari Aiden. Sungguh, Kinanti sangat-sangat senang. Sampai ia tidak berhenti tersenyum dan tidak berhenti bercerita tentang pekerjaannya dulu.
Deema merasa bahagia melihat ibunya yang kembali hidup, tidak seperti mayat berjalan. Ibunya kini lebih bertenaga dan wajahnya terus penuh dengan senyuman. Sampai-sampai, Kinanti membuka kembali buku-buku yang ia simpan untuk kembali belajar dan mempersiapkan diri kembali bekerja.
''Mas tau gak, ibu seneng banget semalam. Dia terus cerita, terus senyum pokonya dia seneng banget dapat janji itu dari kamu. Aku gak bisa larang dia, Mas.''
''Aku bahagia liat ibu kembali semangat, tapi ... Aku gak tega ngeliat ibu harus kembali bekerja.''
''Saya tidak akan memberi pekerjaan yang melelahkan buat ibu kamu, Deema ... Saya hanya meminta ibu kamu buat mantau pekerjaan di kantor.''
Deema mengangguk. ''Dulu, ibu memang enggak boleh kerja sama ayah. Tapi, anehnya ayah itu gak mau berusaha buat keluarganya. Setelah pekerjaannya bangkrut, yasudah. Dia tidak mau kembali berusaha. Dan ... Seperti inilah keadaannya.''
Aiden mengambil tangan Deema, ia mengusap tangan itu dengaj lembut. ''Ibu kamu kuat. Kasian dia kalau terus terpuruk seperti itu. Ibu kamu dari dulu sepertinya sudah biasa bekerja di kantor, jadi ... Biarkan dia kembali ke dunianya. Kamu mengizinkan?''
Deema pun mengangguk. ''Aku mau ibu bahagia. Biar ibu gak suntuk terus di rumah dan mikirin ayah yang gak ada gunanya itu. Andai aku udah lulus sekolah, aku pasti bisa cari kerja dan cari uang buat ibu dan Ratu.''
Aiden tersenyum ia mengusap kepala Deema dengan memanjangkan tangannya. ''Udah dewasa ya sekarang? Tugas kamu masih harus belajar. Urursan nanti, saya siap bantu kamu.''
Deema melihat ke arah Aiden. ''Terimakasih ya, Mas. Sudah mau membatu aku dan keluarga aku. Aku seneng banget, bisa ketemu sama kamu.''
Aiden menyentil dahi Deema. ''Lebay. '' katanya. ''Deema yang saya kenal itu gak lebay. Dia jiwanya pereman.'' lanjut Aiden.
Acara sedih-sedihannya itu harus ancur karena Aiden menyentil dahinya dan berkata seperti itu. Dengan cepat, Deema pun mencubit sisi perut Aiden. ''Apa? Mau aku cubit lebih dalem?''
''Aaa ... Sakit, sakit sayang ... Ampun ....''
''Minta maaf, gak?''
''Iya sayang, maaf ya ....''
Deema pun melepaskan tangannya. ''Padahal gak sakit. Hahaha ....''
Aiden pun berlari dan kabur dari sana. Deema yang kesal pun mengejar Aiden yang larinya sangat kencang. Apalagi jalanan di sini menanjak. Aiden benar-benar selalu menguras tenaga dan emosinya.
''Hahaha ... Gak kena gak kena ....''
''Mas Aiden! Sini gak! Awas ya kalau ketemu aku cubit sampai kulitnya warna biru.''
''Huft ... Huft ... Capek banget.'' Deema memilih berhenti berlari, ia menyimpan tangannya di pinggang.
''Sini gak, Mas? Aku marah nih ...'' kesal Deema.
Aiden pun berhenti berlari. Ia mendengar suara Deema yang sudah sangat kesal, ia pun memutuskan untuk menghampiri Deema. ''Ah, masa pereman kalah ...'' Aiden meledek Deema.
Deema masih menunjukan wajah kesalnya. Sampai, Aiden berhasil merangkul Deema, dan Deema pun langsung mencubit kedua pipi Aiden dengan kencang.
''Hahahaha ... Kena deh ... Wlee ....''
Kini giliran Deema yang berlari ke arah kiri. ''Hahaha ... Pantesan Kak Kaila suka cubit pipi kamu. Ternyata cubit pipi kamu enak juga,'' kata Deema sedikit berteriak karena ia berbicara sambil berlari.
Aiden pun langsung mengejar Deema. Memang pada dasarnya langkah Deema yang kecil, dengan cepat Aiden bisa meraih Deema ke dalam pelukannya.
''Ketangkep jugakan kamu kancil ....''
''Hahaha ... Mas lepas ... Ampun ... Lepas ... Hahaha ....''
Deema tak berhenti tertawa karena Aiden terus menggelitiki sisi perutnya. Apalagi posisi Aiden memeluknya dari belakang, sehingga Deema tidak bisa pergi kemana-mana.
''Aaaa ... Mas hahahaha ....''
Untung saja hanya mereka berdua yang ada di tempat ini. Jadi, tidak ada orang yang menganggap mereka aneh.