Bab 8. Aku Papanya

1024 Words
"Apa Rindu sudah cerita kalau Rafa itu anak kalian?" tanya Adrian untuk memastikan. "Iya, Om. Rindu sudah cerita tadi. Maaf ya, Om kalau selama ini saya enggak tahu soal itu." "Terus rencanamu gimana? Sebentar lagi kan kamu akan menikah." Adrian merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan Aksa pada Rafa setelah ini. "Boleh saya dekat sama Rafa, Om? Ya kan saya papanya. Mulai sekarang saya yang akan bertanggung jawab sama Rafa. Semoga dia mau menerima aku sebagai papanya." Asal Aksa tidak ada niatan membatalkan pernikahannya dan kembali pada Rindu, itu sudah cukup bagi Adrian. Yang penting mulai sekarang cucunya mengenal siapa papa kandungnya. "Baiklah kalau begitu, silakan saja. Toh kamu memang papanya, jadi Om kasih izin, tapi jangan lupa izin sama Rindu juga, supaya dia enggak marah." "Iya, Om, kalau gitu aku pamit pulang dulu, ya. Salam buat tante ya, Om." Aksa pun diantar ke depan oleh Adrian. Setelah memberikan minum untuk Aksa tadi, Utari menuju kamar Rindu untuk melihat keadaan cucunya. Aksa pun meninggalkan rumah Adrian kembali ke rumah orang tuanya. Sampai sekarang Adrian masih berhubungan baik dengan orang tua Aksa, meskipun mereka sempat menyayangkan perpisahan anaknya, tetapi tidak sampai membuat hubungan baik mereka berubah hanya karena anak mereka berpisah. Adrian masih bisa menerima Aksa masuk ke rumahnya. Tiba di rumah, Aska disambut oleh mamanya yang membukakan pintu. Perempuan paruh baya itu menatap heran pada penampilan anaknya yang terlihat berantakan karena memang sejak membawa Rafa ke rumah sakit dia tidak memikirkan penampilannya bahkan dia pun melewatkan makan malam. "Dari nganter anak ke rumah sakit, Ma." Aksa menjawab dengan santai. Jani semakin heran dengan anaknya yang tiba-tiba mengatakan anak. "Anak siapa, Sa?" tanya sang mama yang mengajak anaknya duduk bersama di ruang tengah karena merasa penasaran. "Anakku, Ma. Anak kandung aku." Jani mengerutkan dahi lalu memukul lengan Aksa dengan keras karena dia pikir tidur dengan perempuan tanpa ikatan pernikahan sampai memiliki anak. "Aduh! Mama kok mukul sih? Aku salah apa?" tanya Aksa yang heran pada mamanya. "Anak hasil zina kok dibanggakan? Katakan sama Mama siapa perempuan yang sudah kamu hamili sampai melahirkan anak?" Agar tidak membuat Jani semakin berpikiran negatif padanya, Aksa berkata jujur pada mamanya. "Aku enggak sembarangan tidur sama perempuan kayak yang Mama pikirin tuh. Itu anakku sama Rindu. Jadi, bukan anak hasil zina." Jani terdiam sejenak untuk mencerna ucapan Aksa. "Rindu?" Dia terdiam lagi. Lalu memukul lengan anaknya lagi dengan keras. Aksa protes pada mamanya lagi. "Mama kenapa sih?" tanya Aksa bingung. "Itu kan kenapa dulu Mama melarang kamu cerai sama Rindu. Mama khawatir bakalan kejadian kayak gini. Sekarang kan jadinya kasihan sama Rindu dan anak kalian. Kamu enggak mikir apa gimana Rindu harus melahirkan tanpa suami dan mengurus anak tanpa suami. Itu semua berat, Aksa. Kamu harus minta maaf sama Rindu terus balikan lagi sama dia. Dia belum nikah lagi, kan?" Aksa terdiam, dia memang salah, tetapi untuk saat itu dia sudah Terikat perjanjian akan menikah dengan Eliana dan tidak mungkin membatalkan rencana pernikahan mereka hanya karena Rindu dan anaknya. "Ma, kita enggak bisa membatalkan rencana pernikahan dengan Eliana loh." Utari hampir lupa jika anaknya akan segera Menikahi perempuan lain. "Iya juga ya? Ya sudah mulai sekarang kamu harus ikut mengurus anak itu dengan baik. Nanti bawa dia ke rumah, Mama pengen lihat kayak apa sih wajahnya cucu Mama." "Kalau Mama penasaran dengan wajah cucu Mama, lihat aja foto aku waktu masih kecil, wajahnya persis itu." Aksa bangkit dari sofa berjalan menuju kamarnya karena dia harus mandi dan berganti pakaian dan juga beristirahat karena besok dia masih harus bekerja. *** Besoknya, pada jam makan siang, Aska mendatangi toko kue Rindu karena mamanya. Tadi pagi dia berjanji akan mengambil foto bersama Rafa lalu dikirimkan pada sang mama. Namun, Aksa terpaksa harus kecewa setelah bertemu dengan karyawan Rindu. "Mbak Rindu hari ini enggak datang karena mau nemenin Rafa di rumah, Pak. Ada yang bisa dibantu?" Raut wajah Aksa berubah kecewa. Dia menggelengkan kepala lalu membeli beberapa pastry dari sana. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan datang ke rumah Rindu setelah pulang dari kantor. Sepulang kantor, Aksa melajukan mobilnya menuju rumah Adrian. Di jalan dia sempatkan membeli buah tangan yang akan dia berikan pada Rafa nanti. Perjalanan ke rumah orang tua Rindu agak terhambat karena jalanan padat. Aksa pun tiba di sana pada jam tujuh malam. Utari mengizinkan Aksa masuk ke rumah. Dia diminta menunggu di ruang tengah. Perempuan paruh baya itu memanggil Rindu dan Rafa untuk menemui Aksa. "Hai, jagoan kecil, udah baikan sekarang?" Aksa menyapa Rafa yang berjalan ke ruang tengah lalu duduk di sofa. "Om mau ngapain ke sini?" Aska terlihat canggung berada di antara Rindu dan Rafa. Dia pun memberikan semua yang dia beli untuk Rafa tadi di perjalanan. Lalu dia menjadi bingung harus menyebut dirinya apa pada Rafa. Dia bukan om, tetapi papa dari anak itu. "Aku punya sesuatu buat Rafa." Ya Aksa akhirnya menyebut dirinya aku. Dia mengeluarkan mainan mobil-mobilan lalu diberikan pada Rafa. "Wah, mobilan, makasih ya, Om." Rafa pun menerima mobilan itu dari Aksa lalu memainkannya di sofa. "Mobilannya bagus banget, Om." Rindu menatap Aksa dengan sorot mata tidak suka. Dia pun bangkit dari sofa. "Ikut aku ke depan, Sa!" Ada yang harus dia katakan pada pria itu. Sampai di teras depan, Rindu langsung bicara pada Aksa. "Mau ngapain kamu ketemu Rafa? Emang kamu peduli sama dia?" Rindu memalingkan wajah. Dia memang masih memilih perasaan pada Aksa, tetapi melihat pria itu ingin mendekati Rafa dia menjadi tidak setuju, padahal Aksa juga berhak atas anak itu. "Ya mau ketemu anakku lah, Rin. Kamu enggak berhak melarang aku ketemu dengan dia. Yang berpisah itu kita, tapi anak itu tetap anak kita." "Ok. Aku pun enggak bisa melarang kamu ketemu sama dia sih, tapi jangan pernah terpikir untuk mengambil Rafa dari sisiku. Aku yang melahirkan dan membesarkan dia sendiri. Jadi, aku lebih berhak atas Rafa." Rindu menahan rasa kesalnya pada pria itu. "Ya enggak. Aku enggak akan ngambil Rafa dari kamu, dia akan tetap tinggal di sini, aku cuma akan ketemu sama dia sesekali aja. Izinkan dia mengenal aku sebagai papanya, bukan orang lain. Boleh kan, Rin?" "Boleh. Nanti aku akan katakan pada Rafa kalau kamu adalah papanya, tapi enggak sekarang. Tolong berikan aku waktu untuk memberitahu Rafa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD