Mas Bima jadi menjengkelkan. Setiap barang yang kusentuh, dia berpikiran aku ingin. Jadi, tanpa kata dia mengambil, menggabungkan dengan barang sebelumnya kupegang untuk nanti dihitung di kasir. Beruntung aku bisa mencegah, menarik lengannya untuk berhenti. “Mas, aku cuma lihat. Kamu kenapa, sih? Mentang-mentang ada uang, jadi sesukanya. Padahal kamu tidak akan tahu, bisa jadi besok sudah jatuh miskin.” Dia sampai melebarkan mata, kemudian mendekat untuk berbisik, “Asha, itu doa. Kau ingin kita hidup miskin? Membayangkannya saja Mas tidak sanggup.” Kemudian dengan tanpa merasa bersalah, dia mengembalikan pakaian ke tempat asal. Berbalik lagi. “Kalau tidak ingin Mas seperti tadi, cepat tentukan pilihan. Sudah satu jam di sini, barang yang benar-benar kau pilih cuma satu. Terlalu sedikit it

