5. Hanya Buruh Pabrik

1004 Words
“Nek, kenapa nenek tega sekali mengusirku!” Yudha berusaha menghalau dorongan Nenek Mayang pada punggungnya. Namun, Nenek Mayang masih juga semangat mendorong sang cucu agar keluar dari dalam rumah. Tidak lupa tas ransel berisikan baju milik pemuda itu juga ikut serta dibawakan oleh neneknya. "Kamu ini sudah menikah, Bara. Sudah sepantasnya mulai hari ini kamu tinggal bersama Alina.” “Ya Tuhan, Nek. Bahkan kita tinggal juga berdekatan. Apa bedanya tinggal di sini dan di sana,” jawab Yudha tidak mau kalah. “Jelas saja berbeda. Kamu dan Alina sudah menikah. Dan yang namanya suami istri sudah seharusnya tinggal bersama.” “Tapi, Nek?” “Nggak ada tapi-tapian. Sudah sebaiknya kamu segera ke rumah Alina kasihan dia menunggu kamu.” Nenek Mayang memberikan tas ransel tersebut kepada Yudha, mendorong bahu sang cucu hingga keluar melewati pintu. Setelahnya Nenek mayang menutup begitu saja pintu rumahnya dan tak lupa juga menguncinya. Membuat Yudha yang berada di luar rumah melongo tak percaya dengan pengusiran yang dilakukan neneknya. “Nek!" Yudha mencoba menggedor-gedor pintu tersebut. “Jangan melewatkan malam pertama kalian, Bara! Sudah sana pergi kamu anak nakal!” hardik sang nenek dari balik pintu yang masih tertutup. Dan teriakan Nenek Mayang membuatnya bungkam dan menyerah. Pria itu mendesah frustasi. Memang benar ini adalah malam pengantinnya, tapi Yudha tidak yakin jika dia dan Alina akan menghabiskan malam ini untuk bermalam pertama. Bagaimana mungkin dia yang belum begitu mengenal Alina, akan meniduri gadis itu. Yang benar saja. Iya kalau Alina nya mau. Kalau tidak? Mau ditaruh dimana muka tampannya ini. Ah, sudahlah percuma juga dia tetap bertahan berdiri dalam diam diluar rumah. Yang ada malah dia akan ditertawakan oleh tetangga yang bisa saja kebetulan lewat dan melihatnya dengan mengenaskan di teras rumah. Berjalan gontai Yudha memutuskan untuk pergi ke rumah Alina. Dengan menahan rasa malu yang luar biasa. Sementara itu, Nenek Mayang dan Kakek Guna yang masih berdiri di balik pintu, menempelkan telinga mereka. Tak ada tanda-tanda suara berisik sang cucu. Keduanya mengintip melalui cel4h gorden yang dibuka sedikit tirainya. Tersenyum sumringah melihat punggung Yudha yang menjauh meninggalkan rumah. “Apa kita terlalu berlebihan, sayang?” tanya Kakek Guna pada sang istri tercinta. "Tentu saja tidak. Memangnya kamu tidak mau punya cicit?” “Ya, mau lah.” "Ya sudah. Biarkan saja Bara pergi ke rumah Alina untuk menunaikan tugasnya.” “Iya juga. Ya sudah ayo kita istirahat. Lagipula Bara sudah besar. Dia pasti paham apa yang harus dilakukannya.” Nenek Mayang dan Kakek Guna pun terkekeh berdua. ** Dengan masih menggerutu, Yudha berjalan melewati satu rumah tetangga untuk bisa mencapai keberadaan rumah keluarga Alina. Hari sudah beranjak malam tepatnya di pukul delapan. Acara hajatan yang dikira Yudha hanya sederhana dan kecil kecilan nyatanya banyak sekali para tetangga dan kerabat Alina yang datang sehingga acara tersebut baru selesai di petang menjelang. Kedua orang tua Yudha sendiri juga memutuskan pulang sekitar satu jam yang lalu. Itu sebab Berlian yang tidak mau menginap lantaran merasa tidak betah hidup di kampung yang mana tidak ada AC ataupun fasilitas mendukung lainnya, sehingga adik perempuannya itu merengek manja pada sang Ayah dan Ibu agar saat itu juga langsung balik ke kota. Beruntung mereka ada sopir keluarga yang mengantar sehingga tidak perlu kepayahan membawa mobil sendiri. “Akhirnya datang juga yang ditunggu-tunggu." Sambutan dari Bu Lili yang merupakan ibunda Alina dan otomatis mulai hari ini telah menjadi mertua Yudha. “Ayo masuk. Jangan malu-malu. Sekarang Nak Yudha sudah jadi mantunya ibu. Jadi jangan sungkan. Karena di sini adalah rumah Nak Yudha juga mulai hari ini. Yudha tak tahu harus menjawab apa selain, "Iya, Bu." “Ya wes masuk kamar sana. Pasti Nak Yudha sudah capek, kan? Istirahat lah.” “Masuk kamar, Bu?" “Iya, Ah ... ibu lupa. Nak Yudha belum tau kamarnya Alina yang mana. Sini ibu tunjukkan.” Dan Bu Lili sudah menyeret lengan Yudha menuju ruang tengah yang mana di sana terdapat dua buah kamar. “Yang pintu putih ini kamarnya Alina dan yang satu lagi ini kosong. Biasanya digunakan kalau ada tamu yang datang untuk menginap. Tapi karena tadi semua keluarga memilih pulang, jadi rumah ini kembali sepi dan tidak ada yang menginap di sini.” “Oh," jawab Yudha hanya singkat membuat Bu Li gemas sendiri dengan menantunya yang masih malu-malu. “Sudah sana masuk. Seperti yang tadi ibu bilang. Anggap saja rumah sendiri.” Yudha mengangguk. "Iya, Bu." “Ibu tinggal dulu ke belakang. Mau beres-beres sisa makanan.” Tanpa menunggu Yudha menjawab, Bu Lili ngacir meninggalkan sang menantu yang masih berdiri membeku di depan pintu kamar Alina. Yudha gugup luar biasa. Pria itu bahkan tak lekas masuk, tapi malah berjalan mondar mandir sambil mengusap tengkuknya kebingungan. ••• Sementara itu di dalam kamarnya, Alina malah cekikikan mendengar setiap kata yang Ergi ucapkan. Iya. Keduanya memang sedang bertelepon sekarang. "Sumpah ya, Lo, Alien! Beneran elu nikah?" "Lah, mana ada gue bohong." "Jadi baju yang elu minta harus ready dalam tiga minggu itu elu sendiri yang pake?" "Iya. Kan udah gue bilang ke elu, Ergi. Pakai ukuran tubuh gue. Ya jelas gue lah yang bakalan pake." "Tapi tunggu dulu. Memangnya siapa lelaki yang mau nikahin elu? Secara elu bisa secepat itu move on? Langsung nikah loh. Enggak main-main. Pacaran dulu kek atau tunangan gitu." "Jaman sekarang itu harus sat set. Gue trauma ditikung sama orang. Jadi ya udah. Mumpung ada yang mau sama gue, ya gue embat aja lah." "By the way ... elu belum kasih tahu gue siapa laki lu? Cakep nggak? Kerjanya apa? Eh, tapi kalau orang kampung kek gitu biasanya kan juragan ya? Laki lu juragan juga bukan sih!" Ergi, seorang desainer papan atas yang memiliki nama lengkap Erwin Gideon, merupakan sahabat baik Alina di kota. Meksi Alina memutuskan kembali pulang kampung, tapi persahabatan mereka tetap terjalin dengan baik. Jadi wajar jika Ergi seingin tahu itu dengan kehidupan baru yang dijalani oleh Alina. Apalagi tentang siapa sosok lelaki beruntung yang telah berhasil menikahi Alina. "Bukan juragan, Ergi!" "Terus? Halo dek? Tentara, polisi?" "Bukan juga. Dia hanya buruh pabrik biasa." "What!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD