6. Begini Amat Menghadapi Gadis Perawan

1027 Words
Tok tok tok Suara pintu kamarnya yang diketuk dari luar, mengejutkan Alina. "Er, bentar deh gue tutup teleponnya. Ada yang dateng." "Cie~ yang mau malam pertama. Ah, tapi kenapa harus buruh pabrik sih yang nikahin elu?" "Udah nggak usah sedih gitu. Gue baik-baik saja. Buruh pabrik yang ini beda. Cakep njir!" "Serius lu cari laki tipe-tipe mokondo?" "Ergi, entar deh kita sambung lagi. Bye!" Dan Alina tidak lagi menanggapi ocehan Ergi yang jika dibiarkan maka bisa jadi akan berakhir besok pagi. Ponsel Alina letakkan di atas meja samping ranjang. Perempuan itu berjalan ingin membuka pintu kamarnya karena pasti bukan ibunya yang ada di luar sana. Kalau ibunya, main nyelonong aja apalagi dia sendiri suka ceroboh lupa mengunci pintu kamarnya. Dan begitu pintu berhasil dia buka, Alina dibuat melongo saat mengetahui keberadaan Yudha yang berdiri sembari menyandang tas ransel di pundak. "Mbak Alin. Selamat malam. Maaf jika saya mengganggu. Itu ...." Lelaki itu nampak gugup. Pembawaannya sangat tegang seperti ingin uji nyali saja. Tangan Yudha mengusap tengkuknya karena mendadak diserang kegugupan hanya karena melihat penampilan Alina yang berbalut daster rumahan. Karena biasanya, jika berada di luar rumah, baju khas Alina adalah kaos dan celana. Entah itu celana pendek, celana panjang, celana cargo atau celana training. Hampir tidak pernah Yudha jumpai Alina pakai rok ketika berada di luar rumah. "Oh, Mas Yudha mau pindah ke sini?" "Bukan begitu. Itu ... saya diusir Nenek." Kedua mata Alina membola. Tumben sekali Nenek Mayang tega mengusir cucunya sendiri. Setau Alina, Nenek Mayang adalah orang yang baik. "Ah, masak sih Nenek tega ngusir cucunya sendiri? Palingan juga Mas Yudha kan yang berinisiatif ingin pindah ke sini? Nggak papa, Mas. Namanya juga sudah menikah. Dan kita ini sudah jadi suami istri. Jadi memang sewajarnya kita tinggal bersama. Kalau saya yang ikut Mas Yudha tinggal bareng Nenek ... kasihan ibu di rumah sendirian. Sudah paling bener memang dengan Mas Yudha mengalah dan mau tinggal bareng saya di sini. Dan menurut saya ini adalah keputusan yang paling tepat. Ayo masuk kalau begitu!" Alina membuka pintu kamarnya lebih lebar setelah mengoceh panjang lebar. Memberikan akses bagi Yudha agar lebih mudah masuk ke dalam. Sungguh ini diluar dari ekspektasi Yudha. Terlanjur dia gugup dan deg degan, takut andai kata Alina akan malu-malu dan enggan menerima kehadirannya. Ini malah perempuan itu terlihat sangat girang. Kepala Yudha menggeleng-geleng sebentar. Melirik pada Alina yang tersenyum lebar bahkan sama sekali tidak menunjukkan bahwa perempuan itu keberatan dengan kehadirannya. Membuat Yudha mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah kamar yang tidak bisa dikatakan luas. Ini lumayan sempit jika harus di tiduri berdua. "Sini tasnya Mas. Biar saya simpan " Belum sempat Yudha menolak, Alina sudah mengambil alih tas ransel dari tangannya. "Lemari yang ini kosong. Bisa Mas Yudha gunakan untuk menyimpan baju-bajunya " Saat Yudha tahu jika Alina hendak membuka tas ranselnya, pria itu refleks melarang. "Mbak Alin jangan dibuka." Alina menolehkan kepalanya. "Hah!" "Itu nggak papa biar saya sendiri saja yang nanti menatanya. Terima kasih sudah memberikan tempat untuk saya " "Oh iya Mas sama-sama." Yudha buru-buru mengambil alih tas ransel dari tangan Alina. Lalu memasukkan ke dalam lemari baju yang telah Alina sediakan. “Kalau sudah ngantuk langsung tidur saja, Mas. Pasti capek kan seharian tadi sudah disibukkan dengan acara kita.” "Iya. Eum ... apa Mbak Alin punya tikar?” Kening Alina mengernyit. "Tikar untuk apa ya?” “Untuk tidurnya saya.” “Hah? Kenapa harus pakai tikar. Tidur di ranjang saja, Mas. Kalau tidur di lantai takutnya masuk angin nanti.” “Rapi apa nggak papa jika saya dan Mbak Alina tidur di satu ranjang yang sama?” “Ya tidak apa-apa. Kita kan suami istri. Sudah sah juga.” Yudha menganggukkan kepalanya dengan senyuman malu-malu. Ia pikir Alina tidak akan mau tidur seranjang dengannya karena kebanyakan dari pasangan suami istri yang menikah tanpa cinta pasti ada rasa takut jika terjadi apa-apa misalnya. Ya meksi pun Yudha sendiri tak dapat menolak pesona Alina yang ternyata jauh lebih cantik dan seksi di matanya malam ini ni. Namun, Yudha cukup tau diri untuk tidak melakukan hal apapun pada sosok wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu. “Apa Mas Yudha keberatan jika tidur bareng saya di kamar dan di satu ranjang yang sama? Jika iya ... biar saya tidur di kamar sebelah saja.” Tawar Alina yang langsung mendapat gelengan kepala dari Yudha. “Tidak, bukan begitu maksud saya Mbak. Saya hanya tidak ingin membuat Mbak Alina merasa tidak nyaman saja dengan adanya saya.” “Saya tahu Mas jika pernikahan kita karena sebuah perjodohan dan di antara kita belum cukup saling mengenal. Tapi tidak ada salahnya kan jika kita berteman?” Yudha tersenyum lebar. “Iya. Kita bisa berteman kalau begitu.” “Ya sudah Mas Yudha tidur saja. Jika ada yang diinginkan, jangan segan mengatakannya pada saya.” “Iya Mbak.” Dalam hati Yudha menambahkan, Jika saya ingin Mbak Alina, apa boleh? Eh, .... Yudha merutuki otaknya yang mulai travelling ke mana-mana. “Satu lagi ... jangan panggil saya Mbak. Kesannya saya ini kok lebih tua dari Mas Yudha.” Yudha menggaruk rambutnya. “Terus saya harus panggil apa?” “Sayang juga boleh," jawab Alina asal berniat menggoda suaminya sekaligus untuk mencairkan suasana agar tidak lagi ada ketegangan di antara mereka. Namun, siapa sangka jika jawaban Alina justru membuat Yudha salting luar biasa. Blush Bahkan, pipi Yudha langsung bersemu merah karenanya. Alina tergelak melihat perubahan wajah suaminya. “Canda, Mas. Panggil Alina saja. Atau senyamannya Mas Yudha tapi jangan panggil saya Mbak. Bisa dimarahi Ibu saya nanti, Mas.” “Iya. Saya panggil Alina saja enggak apa-apa kan?” “Nggak papa lah. Ya sudah saya keluar sebentar mau ambil minum. Apa Mas Yudha mau saya buatkan teh hangat?" "Boleh jika tidak merepotkan." Alina tersenyum sangat manis sebelum keluar dari dalam kamar. Yudha mengembuskan napas panjang sembari menyentuh dadanya, yang mana jantungnya terasa berdebar sangat kencang. “Ya, Tuhan. Begini amat menghadapi gadis perawan. Eh, memangnya dia beneran masih perawan?” tanya pada dirinya sendiri. Yudha gelengkan kepalanya karena pikirannya jadi m***m begini karena Alina. Mungkin bisa dibuktikan apa dia beneran masih perawan? Yudha pukul kepalanya sendiri karena pikiran absurd-nya kali ini membuat hatinya awut-awutan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD