Tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan di rumah neneknya setiap pagi hari. Meski pun semalaman Yudha kesusahan tidur lantaran harus berada seranjang dengan Alina, Yudha yang memang memiliki postur tubuh lebih tinggi dan lebih besar dari Alina, kesusahan bergerak karena takut membangunkan tidur Alina yang pulas. Jadilah Yudha yang untuk bergerak saja takut, memilih untuk tidur telentang menatap langit-langit kamar sembari menahan debaran dalam hatinya hingga entah di pukul berapa dia pada akhirnya tertidur juga dan baru memejam belum lama ketika Alina sudah membangunkannya di pagi harinya.
“Mas Yudha!” panggilan Alina ketika membuka pintu kamar. Namun, detik selanjutnya perempuan itu dibuat terpana dengan tubuh membeku lantaran melihat penampakan Yudha yang hanya mengenakan kaos kutang tengah berdiri memunggunginya.
Hanya melihat bagian punggung dan lengan Yudha dari belakang saja yang terlihat begitu kekar, sudah membuat Alina kesusahan menelan salivanya.
“Iya,” jawab Yudha menolehkan kepalanya. Fokusnya pada ponsel teralihkan dengan kehadiran Alina.
“Alina!” panggil Yudha lagi karena sang istri malah diam mematung tak merespon pertanyaannya.
Alina tergagap malu karena ketahuan tengah mengagumi lelaki itu. "Ah, anu itu. Aduh!” Alina menepuk bibirnya sendiri dan Yudha sudah terkikik geli melihat tingkah laku sang istri.
“Anu kenapa?’ tanya Yudha mulai berani jail menggoda.
“Itu Ibu menyuruh Mas Yudha sarapan. Bukankah Mas Yudha harus bekerja pagi ini?"
"Iya. Sebentar lagi saya keluar. Saya pakai baju dulu.”
“Eh, nggak usah.” Alina lagi-lagi keceplosan membuat Yudha mengernyit heran.
“Hah?”
“Iya itu ... ya, Tuhan. Kenapa ngomong saja jadi belibet begini. Ya sudah pokoknya saya dan ibu tunggu Mas Yudha di meja makan."
Setelah mengatakan itu Alina berbalik badan meninggalkan kamar memegangi jantungnya yang berdebar debar. Wajahnya sudah memanas karena malu. Untuk pertama kalinya Alina melihat sebagian tubuh Yudha yang ternyata sangat jauh dari perkiraannya. Alina seperti mendapatkan jackpot. Betapa tidak. Memiliki suami dengan cara random. Hanya buruh pabrik yang selama ini dia lihat wajahnya saja yang terlihat tampan. Tidak tahunya, Yudha juga memiliki bentuk tubuh yang ideal. Sangat memanjakan matanya yang suka jelalatan.
Jika dipikir-pikir lagi dari warna kulit Yudha yang bersih, rasanya tidak cocok saja jika pria itu hanyalah seorang buruh pabrik biasa. Tapi mungkin juga karena Yudha berasal dari kota, oleh karena itulah pria itu memiliki warna kulit yang bersih dan tampan tidak selayaknya para pemuda kampung yang juga sama-sama menjadi buruh pabrik seperti Yudha, tapi memiliki warna kulit kecoklatan.
“Gil4! gue aja kalah putih darinya.” Alina berdecak dan gumaman sang putri tentu didengar oleh Bu Lili.
“Apanya yang putih, Lin?’”
"Anunya Bu, eh!” Alina menutup mulutnya dan Bu Lili sudah tergelak.
“Gimana? Nggak nyesel kan nikah sama Yudha? Sudah ganteng, putih lagi kan?”
Alina hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Dalam hati Bu Lili sudah tertawa bahagia. Akhirnya dia mendapatkan mantu ganteng dan cocok dengan anaknya yang juga cantik.
•••
"Gimana semalem, Mbak? Mentok sampe ke ubun-ubun nggak?" tanya Sari menggoda.
Yanti yang juga sedang ada di sana menimpali, "Tapi kalau dilihat-lihat ... dari cara berjalan Mbak Alina yang tidak berbeda, sepertinya semalam gagal tanding. Aduh!"
Yanti mengaduh lantaran Alina menggeplak lengan gadis itu. "Lambemu, Ti! Memange kowe wes pengalaman kok isone loh ngomong gagal!" Alina tidak terima jika ditertawakan lantaran semalam dia dianggurin oleh Yudha.
Padahal Alina sudah terlanjur deg-deg an tapi sampai dia ketiduran, tidak terjadi hal yang iya iya Yudha lakukan. Apa iya Yudha takut padanya? Atau mungkin tidak enak hati ingin memulainya?
Alina garuk-garuk kepala. Tidak mungkin juga perempuan yang minta duluan. Bisa turunlah harga dirinya.
"Heleh, Mbak. Ndak usah galau. Nanti malam bisa dicoba lagi," ujar Sari lalu terkikik geli melihat raut wajah Alina yang sama sekali tidak berseri-seri.
"Kalau aku jadi Mbak Alin ... punya bojo ganteng seperti Mas Yudha, sudah aku terkam duluan."
"Iya kuwi ngunu kowe, Ti. Wajah-wajah hyper-mu kuat banget."
"Ehem ... ehem!"
Deheman dengan suara berat, menghentikan ghibahan para perawan yang sedang bersiap membuka warung angkringan.
Alina memutar badannya ke belakang. Terkejut ketika melihat keberadaan Yudha yang sudah berdiri tak jauh darinya.
"Loh, Mas Yudha. Kok sudah pulang? Ini belum ada jam satu siang loh?" tanya Alina yang kebingungan karena seharusnya jam kerja Yudha selesai di pukul empat sore.
Meski baru saja menikah kemarin, tapi Yudha memang tetap harus bekerja karena tidak ada cuti untuknya.
Yudha tetap memposisikan diri sebagai seorang buruh pabrik pada umumnya. Bekerja belum genap enam bulan, dilarang ambil cuti.
Yudha mengusap belakang kepalanya, kebiasaan baru yang mulai Alina hafal dari sosok suaminya. "Itu, saya sengaja pulang karena istirahat."
"Cie~ yang sudah kangen. Sampe nggak konsen kerja. Maunya pulang saja."
"Iya loh. Jarang-jarang kan kita lihat Mas Yudha pulang ketika jam istirahat."
Yanti dan Sari kompak menggoda membuat Yudha makin salting dibuatnya.
Alina lekas menyela, "Nggak usah dengerin mereka. Mas Yudha mau makan siang? Kita ke rumah saja. Ayo!" Alina menarik lengan Yudha, mengapitnya dan membawa masuk ke dalam rumah.
Menyisakan Sari dan Yanti yang menggigit serbet lantaran iri.
"Eum, Alin. Sebenarnya tadi saya mau pulang ke rumah Nenek. Karena ada barang yang mau kuambil. Tapi pas lihat kamu ada di warung, jadinya saya mampir."
"Oh, nggak papa. Mas Yudha makan dulu saja. Nanti saya temenin pulang ke rumah neneknya."
Dengan antusias Alina memaksa Yudha duduk di kursi makan. Mengabaikan suaminya yang lagi-lagi dilanda kegugupan.
Apalagi saat Alina dengan cekatan mengisi piringnya dengan makanan.
"Dihabiskan ya, Mas. Kerjanya Mas Yudha pasti berat ya di pabrik. Jadi Mas Yudha harus banyak makan agar memiliki banyak energi. Kalau mau nambah jangan sungkan. Nanti saya ambilkan lagi."
"Iya," jawab pria itu mulai menyendok makanannya. Namun, Yudha kesusahan menelan makanannya lantaran Alina yang terus memperhatikannya.
Wanita itu bertopang dagu, senyum-senyum tidak jelas karena sibuk mengagumi ketampanann Yudha.
Harusnya Yudha berkeringat karena setengah hari bekerja keras. Namun, yang Alina lihat tidak demikian. Baju Yudha masih rapi. Wajahnya tidak dekil sama sekali. Jangankan bau keringat, justru yang tercium oleh Alina adalah parfum Yudha yang menggelitik membuat wanita itu tak berhenti mengendusnya.
"Alina tidak makan sekalian?" tawar Yudha basa basi. Setidaknya dengan Alina ikut makan, wanita itu tidak lagi menatapnya brutal.
Namun, justru gelengan kepala Alina sebagai jawaban. "Saya sudah makan tadi."
"Oh," jawab Yudha manggut-manggut. Memilih menundukkan kepala berusaha hanya fokus pada makanannya.