8. Nafkah Dua Juta

1133 Words
"Nek, boleh aku bertanya?" Nenek Mayang menghentikan aktifitasnya yang sedang memasukkan rendang ke dalam rantang. Beliau ingin menitipkannya pada Yudha untuk Alina dan ibunya. "Tanya apa?" Sebenarnya, ada rasa ragu dalam diri Yudha ingin menanyakan soalan uang pada sang Nenek. Takut jika Nenek marah padanya. Akan tetapi, jika Yudha tidak bertanya, maka dia tidak akan tenang karena dilanda rasa penasaran. "Eum ... Nek. Apa Nenek ada memberikan Alina uang untuk hajatan tempo hari?" Nenek Mayang bukannya menjawab malah ganti bertanya, "Uang apa? Bukankah kamu yang melarang kami untuk tidak memberikan uang tambahan pada keluarga Alina?" "Jadi memang beneran hanya sepuluh juta itu saja yang kita sumbangkan ke keluarganya Alina?" "Ya iya. Memangnya kamu ada kasih mereka lebih? Kan kamu yang mau seperti itu, Bar! Agar tidak mencolok dan meyakinkan bahwa kita hanyalah orang biasa. Kenapa kamu tanya hal itu?" Kepala Yudha menggeleng. "Nggak papa, Nek." "Kamu menyesal karena hanya memberikan sedikit uang pada Alina dan keluarganya? Padahal Nenek yakin sekali, uang segitu tidak akan cukup untuk menjamu para tamu. Tapi ya sudahlah. Ini juga maunya kamu, kan?" Yudha jadi tidak enak sendiri karenanya. Jika uang sepuluh juta saja tak akan cukup untuk konsumsi, lantas dari mana Alina mendapatkan uang untuk baju kebaya pengantin kala itu? Oh, atau jangan-jangan Alina hanya menyewa saja sehingga tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Ya. Batin Yudha meyakini demikian. "Aku pulang dulu, Nek." "Ini bawa sekalian untuk Alina dan ibunya." "Iya terima kasih." Baru saja Yudha akan beranjak dari ruang makan rumah neneknya, Kakek Guna masuk menghampiri cucunya. "Bar! Kata Ayah kamu, semua sudah clear ya?" Kepala Yudha mengangguk. Kakek Guna kembali bertanya. "Jadi apa yang akan kamu lakukan selanjutnya setelah tahu jika dalang di balik semua itu adalah keponakannya Halim? Apa akan langsung memecatnya?" "Nanti Ayah sendiri yang akan menanganinya. Lagipula, Om Halim juga banyak berjasa pada perusahaan. Tapi siapa sangka jika nama besar Om Halim malah dimanfaatkan untuk berbuat kejahatan." Halim Aksara adalah orang kepercayaan Surya Darma dan yang diserahi tugas mengembangkan perusahaan tekstil yang ada di kampung ini. Wajar jika orang-orang tahunya jika perusahaan adalah milik pria itu. Namun, sudah setahun belakangan kesehatan Halim Aksara sedikit terganggu. Sering sakit dan lebih banyak tugas-tugasnya di perusahaan diserahkan pada sang keponakan yang juga bekerja di perusahaan itu. Siapa sangka jika kepercayaan Halim malah disalahgunakan dan keberadaan Yudha di perusahaan itu juga sebab untuk menyelediki banyak sekali penyelewengan dana serta tidak terstrukturnya administrasi yang jika dibiarkan malah membuat perusahaan terus merugi. "Baiklah jika begitu. Lalu, setelah tugasmu selesai, kamu akan balik kota?" "Iya. Tapi tidak sekarang, Kek." "Lalu Alina?" "Ya terpaksa aku bawa." "Dan dia akan tau siapa kamu sebenarnya." "Itu semua bisa diatur belakangan." "Terserah kamu. Tapi jangan bawa-bawa nama kami jika sampai Alina tahu lalu dia marah sama kamu." "Lah, yang ngejodohin aku kan Kakek sama Nenek. Bisa-bisanya kalian mau lepas tangan." "Tapi yang punya ide jadi orang miskin kan kamu." Kakek Guna tidak mau kalah. "Iya ... iya. Itu akan jadi urusanku nantinya." Yudha pun memilih untuk pergi keluar dari dalam rumah kakek neneknya. ••• "Ini apa, Mas?" tanya Alina ketika malam ini saat dia mau bersiap tidur, tiba-tiba Yudha menyodorkan sebuah amplop coklat kepadanya. "Uang gajiku bulan ini." Kening Alina mengernyit. "Memangnya ini tanggal berapa kok sudah gajian saja?" "Tanggal dua lima. Gajiannya kan memang setiap akhir bulan." "Oh, begitu." Alina nyengir lalu menerima amplop tersebut dengan wajah berbinar. "Maaf ya jika saya baru bisa kasih uang segitu untuk nafkah. Saya janji akan kerja lebih giat lagi agar dapat membahagiakan kamu." Alina masih juga tersenyum lebar. "Mas Yudha. Kebahagiaan seseorang itu tidak dapat diukur dengan banyaknya uang. Insyallah selagi kita masih bisa bersyukur, uang seberapa pun pasti akan cukup." "Terima kasih ya karena kamu sudah mau mengerti." "Iya, Mas. Sama-sama." Alina membuka amlop tersebut. Menghitung lembaran uang seratus ribuan yang berjumlah dua puluh lembar. Lalu lima lembarnya dia berikan pada suaminya. "Ini untuk pegangan Mas Yudha." "Tidak usah. Kamu simpan semua saja. Saya tidak butuh pegangan. Lagipula kan sekarang saya makan dan numpang tinggal di sini. Jadi enggak butuh apa-apa lagi." "Jangan begitu, Mas. Siapa tahu saja kan Mas Yudha ada kebutuhan pribadi jadi simpan saja. Untukku ini saja cukup." Alina tetap memaksakan memberikannya lima ratus ribu pada suaminya dan Yudha tidak bisa menolak lagi. Dalam hati pria itu sampai bertanya-tanya kenapa masih ada wanita yang bisa menerima lelaki apa adanya seperti ini. "Ya sudah ini aku simpan. Kalau semisal Alin butuh apa-apa katakan saja. Atau mungkin uang itu tidak cukup untuk biaya hidup kita sebulan, nanti ambil lagi saja uang lima ratus ribu ini." "Iya Mas. Tenang saja. Insyaallah uang ini cukup. Lagipula kan ada uang hasil warung juga yang bisa kita gunakan untuk biaya hidup sehari-hari." "Tapi bukankah itu uang ibu?" "Enggak juga. Biasanya ibu hanya ambil seperlunya saja. Selebihnya dikasih ke saya untuk perputaran jualan di warung." "Oh, begitu. Ya sudah kalau gitu saya ke kamar mandi dulu. Kamu tidur duluan saja. Saya masih ada kerjaan yang harus diselesaikan." Sebenarnya Alina sedikit heran dan curiga dengan kebiasaan Yudha yang baru dia ketahui setelah menikah. Karena selama dua minggu menikah, setiap malam pasti Yudha akan sibuk di depan laptop dan entah di pukul berapa pria itu pada akhirnya tidur. Dan yang pasti karena hal itu pula dua minggu ini Alina masih tetap perawan. "Memangnya Mas Yudha di pabrik itu jadi apa sih?" "Kenapa tanya begitu?" "Ya penasaran saja. Masak ada buruh pabrik yang disuruh ngerjain banyak laporan. Mana dikasih laptop juga dari perusahaan." Yudha diam mencoba mencari jawaban. Awalnya dia memang beralasan jika mendapat tugas tambahan dari atasannya yang merupakan kepala bagian untuk membuat laporan hasil produksi. Tapi siapa sangka jika Alina masih juga menaruh curiga padanya. "Itu karena suami kamu ini pintar, Alina. Jadi meski saya ini hanya buruh pabrik, tapi karena atasan tahu jika saya ini bisa mengerjakan apapun juga ... jadilah saya diberikan tugas tambahan. Dan yang pasti nanti juga akan dapat bonus. Lumayan kan untuk tambahan penghasilan. "Jangan bekerja terlalu keras Mas. Apalagi sampai larut malam dan paginya masih harus kerja di pabrik. Jangan terlalu diforsir. Insyaallah saya juga tidak akan banyak menuntut nafkah materi karena saya juga akan bantu Mas Yudha buat kerja." Jujur, Alina patut memberikan acungan jempol untuk Yudha. Setidaknya Alina tau jika Yudha adalah lelaki yang bertanggung jawab dan mau berusaha untuk memberi nafkah yang layak buatnya. Bagi Alina, gaji dua juta yang Yudha berikan, nilainya tidak seberapa karena setara dengan penghasilannya dalam satu hari. Meski Alina tinggal di kampung, namun uangnya tetap mengalir dari hasil beberapa bisnis yang dia miliki. Tentunya tanpa sepengetahuan Yudha. Dan Alina merasa nyaman dengan menjadi dirinya yang sekarang. Biarlah suatu hari nanti Yudha tau dengan sendirinya akan siapa dia yang sesungguhnya. Sebagai seorang istri, Alina tidak ingin membanggakan kehebatannya di depan sang suami karena bagaimana pun derajat Yudha sebagai seorang suami, lebih tinggi darinya yang seorang istri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD