Mey, meminta Ahsan untuk langsung pergi ke ruang baca, begitu ia sampai di rumah. Dilihatnya Shanum, yang tengah mencuci piring di dapur. Tanpa ada niat sedikitpun untuk menyapa, Ahsan terus berjalan menuju ruang baca. Shanum, yang merasa ada seseorang lewat di belakangnya, sontak menengok. Dilihatnya, tubuh sang suami yang melewatinya begitu saja.
Sedih, tentu saja. Tapi, dia sudah terbiasa dengan sikap Ahsan yang seperti itu. Berbulan-bulan menghadapi sikap Ahsan yang begitu dingin, membuat dia sedikit kebal karnanya.
Sementara, di ruang baca, Mey menatap Ahsan sedih.
"Mas." Mey, meraih tangan Ahsan kedalam genggamannya. "Jawab jujur, pertanyaan Mamah." ditatapnya sang Anak penuh harap.
Seketika, Ahsan merasa ada sesuatu yang tak beres saat ini. Hingga, Mamahnya sampai seperti ini.
"Mamah kenapa, sih?" tanyanya lembut mengelus tangan Mey.
Mey, terisak. Rasanya, ia tak kuat jika jawaban yang Ahsan berikan nantinya sesuai dengan prasangka buruknya. Dia, merasa ini adalah kesalahan dirinya. Mey, yang pernah merasakan terpaksa menikahi Arslan dulu, nyatanya sulit menerima Arslan untuk beberapa waktu. Bahkan, ia sampai mengabaikan hak Arslan,yang harusnya dia berikan sejak ijab dan qabul terucap.
Bodohnya, dia tidak memikirkan jika Ahsan mungkin akan merasakan hal yang sama dengan yang dia rasakan dulu. Menjalani pernikahan secara terpaksa, hingga sulit menerima kehadiran Shanum dalam hidupnya. Dia berpikir, hubungan Ahsan dan Shanum yang terjalin sejak kecil, akan memudahkan mereka saling menerima satu sama lain. Tapi, ternyata semua tak sesuai harapannya. Empat bulan berumah tangga, namun Shanum dinyatakan masih perawan.
Arslan membawa Mey dalam pelukannya.
"Sstt ... Mamah doa, aja. Semoga, keadaannya ga seperti yang kita bayangkan," ucapnya menenangkan.
Mey mengangguk, lalu mengusap air matanya. Sedangkan Ahsan, dia sendiri masih dilanda kebingungan melihat mamahnya yang bersedih.
"Mas," panggil Mey lagi.
"Iya, Mah," cepat Ahsan menjawab.
"Apa, kamu belum menyentuh Shanum sama sekali?"
Ahsan, menegang mendengar pertanyaan Mey. Darimana Mey tau, jika dia belum menyentuh Shanum sama sekali.
"Mas."
"Kok, Mamah tanya kaya gitu, sih?" Ahsan mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Jawab aja, Mas," todong Mey.
Ahsan, dilema. Harus seperti apa, dia menjawab pertanyaan Mey. Jujur saja, sangat sulit untuknya berbohong pada Mey. Hingga, jika dia berbohong maka, Mey akan langsung mengetahuinya.
Namun, kali ini sepertinya Ahsan terpaksa harus berbohong. Dia, tak ingin Mey mengkhawatirkan hubungannya yang dingin dengan Shanum.
"Ya, pasti udah dong, Mah." Sebisa mungkin, Ahsan berusaha agar tak ketahuan bohong.
"Sungguh?" Mey menatap Ahsan dengan pandangan tak percaya.
"Beneran, Mah," yakin Ahsan.
"Kalau gitu. Bisa kamu jelaskan, pada Mamah. Kenapa istri yang sudah disentuh suaminya, selaput daranya masih utuh dan dia dinyatakan masih perawan?" cecar Mey yang membuat Ahsan mati kutu.
Tangan yang menggenggam itu berubah dingin, Mey bisa merasakan perubahan itu. Keringat pun, mengalir di dahi Ahsan.
"Coba Mas, tolong jelaskan pada Mamah."
Ahsan bergeming. Tak sanggup menjawab pertanyaan mamahnya.
"Jawab, Mas." Ahsan tersentak, karna Mey membentaknya.
"Sabar, Mah. Papah yakin, Ahsan pasti punya jawabannya." Arslan mengelus punggung Mey, untuk menenangkan istrinya itu.
"Coba, sekarang kamu jawab pertanyaan Mamah kamu, Mas." pinta Arslan.
Ahsan, menundukkan kepalanya. Dia merasa, bahwa kedua orang tuanya sudah mengetahui hubungannya dengan Shanum. Tak akan mungkin lagi, dia bisa berbohong.
"Maaf, Mah." Hanya itu, yang sanggup Ahsan katakan pada mamahnya.
Mey, yang terlalu terkejut dengan kenyataan, berlalu begitu saja dari hadapan Ahsan.
"Mah." Arslan memanggil istrinya yang berjalan menuju ruang tengah, di mana Shanum tengah memantau butiknya melalui laptop.
Kedua anak ayah itu pun, mengikuti langkah Mey.
Tanpa aba-aba, Mey langsung menarik Shanum. Hingga Shanum, hampir oleng karna tak siap.
"Mah," panggil Shanum yang terkejut dengan aksi Mey barusan.
"Mah. Mas, bisa jelasin semua secara baik-baik ke Mamah. Ga perlu Mamah tanya ke Shanum." Ahsan berusaha melepaskan tangan Shanum dari cekalan Mey.
"Ga bisa. Mamah, ingin dengar dari mulut Shanum juga." Ahsan memandang Mey dengan tatapan memohon. Namun, sangat disayangkan Mey tak bisa dibantah.
"Mah, ada apa ini?" tanya Shanum bingung.
Tanpa basa-basi, Mey langsung bertanya pada Shanum. "Kenapa, sampai sekarang kamu masih perawan, Cha?"
Shanum tersentak kaget, mendengar pertanyaan Mey barusan. Dia melirik Ahsan, berharap lelaki itu bisa membantunya menjawab. Tapi, Ahsan hanya membuang muka enggan membantu Shanum.
"Jawab, Cha!" titahnya.
Shanum menunduk dan tetap diam. Ia, takut untuk berbicara jujur.
"Cha." Mey mengangkat wajah Shanum untuk menatapnya. "Bicara aja, yang jujur sama Mamah. Mamah janji, ga akan marah sama kamu," lanjutnya bicara dengan lembut.
"Apa, kamu masih belum menerima Ahsan sebagai suami kamu? Hingga, kamu belum mengijinkan Ahsan untuk menyentuh kamu?"
"Ga, Mah. Aku, udah menerima mas Ahsan sebagai suami aku sepenuhnya," jawab Shanum jujur.
"Lalu, kenapa kamu masih suci?" lagi, Mey mengulang pertanyaan yang sama.
Shanum, merasa sungkan untuk menjawab. Tak mungkin rasanya, jika dia berkata jujur bahwa Ahsan lah yang menolak kehadirannya dalam hidupnya. Tak mungkin dia menceritakan, semua perjuangannya untuk bisa meluluhkan hati suaminya itu.
Bahkan, dia pernah membuang jauh semua harga dirinya demi bisa menggoda suaminya itu pada satu malam. Berharap, lingerie tipis yang ia kenakan bisa membuat suaminya bersedia menyentuhnya. Namun nyatanya, Ahsan melewatinya begitu saja. Hanya melirik sekilas, tanpa ada minat untuk menyentuh barang sedikit saja. Sakit, tapi tak berdarah.
Merasa gusar karna tak kunjung mendapatkan jawaban dari menantunya, Mey memilih menarik Ahsan ke kamarnya. Berbicara dari hati ke hati, adalah pilihan yang tepat untuk saat ini.
Suara berdebum, terdengar di sana.
Pintu, ditutup tanpa Arslan sempat ikut masuk ke dalamnya. Ia, yang mengerti perasaan sang istri, memilih membiarkan istrinya yang menyelesaikan ini sendiri. Ia yakin, Mey pasti bisa menemukan jalan terbaik untuk permasalahan rumah tangga anak mereka. Ia pun, meminta Shanum untuk beristirahat di kamar.
Kini, Mey sudah lebih menguasai emosinya. Dia pun, telah siap untuk mendengarkan semua penjelasan dari sang anak.
"Apa, kamu belum bisa menerima Shanum sebagai istri kamu, Mas? Apa kamu, tak ikhlas menjalankan rumah tangga kalian?" Sebisa mungkin, Mey berbicara dengan nada lembut meski hati ingin berteriak memarahi anaknya.
"Bukan begitu, Mah," elak Ahsan.
"Lalu, apa?" tanyanya tak mengerti.
"Hahh ... " Berat, Ahsan membuang napasnya.
"Mas, hanya belum siap, Mah," jawabnya singkat.
Kini, giliran Mey yang membuang napasnya berat. Dia, merasa bersalah pada Shanum. Harusnya, dia tak perlu meminta Ahsan untuk menikahi Shanum. Jadi, dia tak perlu membuat mereka berdua merasa terpaksa menjalani biduk rumah tangga ini. Dan, Shanum tak perlu merasa terluka karna diabaikan suaminya.
"Baik, lepaskan Shanum kalau begitu." Ahsan, membolakan matanya. Tak menyangka, jika sang mamah meminta dia melepaskan Shanum.
"Mah. Pernikahan, bukan sebuah permainanan yang bisa dengan bebas Mamah pinta untuk memulai dan mengakhiri," tolak Ahsan halus.
"Jika kamu tau, kalau pernikahan itu bukanlah sebuah permainan, mengapa kamu sendiri mempermainkan hubungan suci itu, Mas?" hardik Mey.
"Dengan kamu mengabaikan Shanum, itu sama artinya dengan kamu mempermainkan ikatan suci kalian, Mas. Kamu mengabaikan hak yang harusnya dia dapatkan." Begitu menusuk ucapan Mey barusan, hingga sulit untuk Ahsan membantahnya.
"Sekarang, jawab pertanyaan Mamah. Apa selama menikah, kamu pernah bersikap dingin padanya?" lidah Ahsan kelu. Tak sanggup menjawab.
Melihat keterdiaman anaknya, Mey yakin jika bukan hanya sekali atau dua kali Ahsan bersikap dingin pada Shanum.
"Apa kamu, belum pernah sekali pun bersikap hangat padanya?" kini ia membalik pertanyaannya.
Ahsan hanya menganggukkan kepala.
"Ya Allah, Mas." Berkali-kali, Mey mengucap Istighfar demi meredakan gejolak hatinya.
Kini, dia merasakan apa yang dulu dirasakan oleh kedua orang tuanya. Merasa gagal dalam mendidik anak, hingga anaknya mendzolimi pasangannya.
"Keluar, Mas!" perintahnya, tak ingin dibantah. Ia, bahkan membuang wajahnya ke samping, karna tak ingin melihat wajah sang anak untuk sekarang ini.
Ahsan, keluar dengan lesu. Dan, terkaget ketika mendapati papahnya berada di samping pintu. Rupanya, sang papah sejak tadi berada di depan kamar mendengar pembicaraan mereka. Tanpa sedikit pun, berniat masuk dan ikut campur pembicaraan antara dia dan mamahnya.
Arslan pun, menepuk bahu Ahsan pelan, lalu meninggalkan Ahsan masuk ke dalam kamar menemui istrinya.
Terdengar suara percakapan antara Mey dan Arslan dari kamar, karna pintu yang memang tak tertutup rapat. Kini, giliran Ahsan yang memilih untuk mendengar percakapan kedua orang tuanya dari luar kamar mereka.
"Apa ini semua, karma buat Mamah, Pah?" tanya Mey yang kini berada dalam pelukan Arslan.
"Karma apa, Mah?" bukannya menjawab, Arslan malah balik bertanya.
"Karma, karna dulu Mamah pernah mengabaikan Papah."
Jawaban Mey, sukses membuat Ahsan kaku. Bagaimana bisa, kedua orang tuanya yang ia tau sangat romantis dan saling mencintai, ternyata pernah mengalami hal yang sama. Bedanya, dulu yang mengabaikan adalah mamahnya. Sedangkan dia, justru dia lah yang mengabaikan istrinya.
"Ga gitu, Mah. Papah yakin, bahwa mereka hanya butuh waktu satu sama lain untuk bisa menerima keadaan mereka. Itu saja." Meski, sebenarnya terbersit rasa ragu dalam hati Arslan saat mengatakannya. Setidaknya, ia hanya ingin istrinya itu sedikit lebih tenang.
"Lebih baik, sekarang kita biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri. Kita ga perlu ikut campur lebih dalam lagi." Mey menyetujui ucapan suaminya. Ia berharap, anak dan menantunya bisa tetap bersama.
Ahsan melangkah pergi, setelah tak lagi terdengar obrolan dari kamar kedua orang tuanya.