Tiga

2295 Words
Selasa (13.39), 30 Maret 2021 -------------------- Adam menepuk punggung tangan Razita yang hendak mencomot sepotong ayam panggang bumbu merah di atas piring. Gadis kecil itu langsung menarik kembali tangannya lalu merengut sambil mendongak menatap Adam. “Cuci tangan dulu!” Adam mengingatkan. “Oke.” Razita langsung menuju wastafel tempat cuci piring lalu mencuci tangannya. Setelah selesai dia kembali mendekati Adam yang masih mengenakan celemek dan sedang berkutat memasak sayur. Razita kembali mengulurkan tangan hendak mencomot daging ayam namun lagi-lagi digagalkan Adam. Kali ini remaja itu memeluk pinggang Razita dari belakang, mengangkatnya lalu mendudukkannya di meja dapur. “Tidak baik makan sambil berdiri,” nasihat Adam seraya mencubit daging ayam lalu mendekatkannya ke mulut Razita. “Aaaa……” Dengan senang hati Razita membuka mulut, memakan daging yang dijepit di antara jari telunjuk dan ibu jari Adam. Kemudian Adam memasukkan dua jarinya itu ke mulutnya sendiri untuk membersihkan bumbu merah yang masih tersisa. “Bagaimana rasanya?” Razita mengacungkan ibu jarinya pada Adam. “Enak.” Adam terkekeh. Tadi Razita merengek minta dibuatkan ayam panggang bumbu merah karena sudah berjanji pada Kakek Seth akan membuatkan makanan itu jika diizinkan menemui Adam setelah tidur siang. Padahal Adam yakin tanpa disogok demikian pun Kakek Seth akan tetap memberi izin. “Kak, Rara boleh bantu memotong sayuran?” “Rara belum boleh memegang pisau.” Adam kembali sibuk mengiris buncis dan wortel untuk bahan membuat tumis sementara Razita masih duduk di atas meja counter. “Tapi Rara pengen bantu Kakak,” mohon gadis itu. Adam berpikir sejenak. “Kalau Rara mau makan sayur, Kakak izinkan Rara membantu.” Razita meringis seraya menutup mulut dengan kedua tangan. Kepala gadis itu menggeleng. “Ya, sudah.” Adam mengangkat bahu. “Sayuran baik untuk kesehatan. Pasti Rara sudah diajarkan di sekolah tentang empat sehat lima sempurna, kan?” Razita mengangguk, masih dengan tangan membekap mulut. Adam yang melihat tingkah Razita tersenyum gemas. Dia mendekati gadis itu lalu menurunkan tangannya yang menutup mulut. Kedua telapak tangan Adam menumpu menapak meja di kanan kiri Razita. Pemuda itu sedikit membungkuk hingga wajah mereka sejajar. “Kalau sudah diajarkan pasti Rara tahu, makanan yang bagus untuk tubuh minimal ada nasi atau roti, lauk, dan sayur. Lalu kenapa masih tidak mau makan sayur?” “Rasanya tidak enak, Kak.” “Kan belum dicoba.” “Kelihatannya saja sudah aneh.” “Ish, dicoba saja.” Adam menjepit ujung hidung Razita. Razita menggeleng seraya melingkarkan kedua lengannya di leher Adam. “Kalau sudah besar, Rara baru mau makan sayur.” Adam terkekeh seraya menyentuhkan ujung hidung ke ujung hidung Razita. “Besar itu seperti apa? Seperti raksasa?” “Seperti Kakak.” “Ehem!” Deheman itu mengagetkan Adam sementara Razita tampak biasa saja. Remaja itu menoleh dan mendapati kedua kakek mereka berdiri di ambang pintu dapur. “Adam, tunanganmu masih kecil.” Sam berkata sambil geleng kepala. Namun matanya berkilat geli. “Tunggu setelah besar dulu baru bisa kau ajarkan yang aneh-aneh.” Wajah Adam memerah saat memahami maksud sang Kakek. “Kakek bicara apa sih?” Adam hendak melepas lengan Razita dari lehernya namun gadis kecil itu malah merangkulnya lebih erat. Seth tidak mau kalah menggoda cucu sahabatnya itu. “Adam, jangan buat Rara dewasa sebelum waktunya.” “Kakek,” Adam meringis malu. “Kenapa semua orang ingin Rara cepat besar?” mendadak Razita mengeluh. “Rara masih ingin digendong Kak Adam.” “Hei, Nak. Setelah besar nanti Rara masih bisa minta gendong Kak Adam. Apalagi setelah menikah.” Sam berkata serius. “Kakek,” Adam menegur kakeknya. Wajahnya makin merah. “Menikah?” mata Razita berbinar. “Rara boleh menikah dengan Kak Adam seperti pangeran dan putri dalam film Barbie?” “Bukan hanya boleh, tapi harus!” Sam berkata serius. Yakin Sam akan berkata lebih aneh lagi jika dibiarkan, Seth memilih angkat bicara. “Adam, bawa Rara menonton tv di depan. Biar kami yang menyelesaikan di sini. Jika dibiarkan lebih lama, kakekmu pasti akan merusak otak polos Razita.” “Iya, Kek.” Adam mengangguk setuju lalu melepas celemek, masih dengan lengan Razita melingkari lehernya. Setelahnya dia mengangkat gadis kecil itu, dan tanpa diperintah Razita melingkarkan kakinya di pinggang Adam. *** Adam tertawa geli melihat sekitar mulut dan jari-jari Razita belepotan bumbu merah. Gadis kecil itu melirik Adam yang sedang menertawakan dirinya lalu menjulurkan lidah tak acuh. Dengan santai, Razita memasukkan jarinya bergantian ke dalam mulut, membersihkan bumbu merah dari ayam panggang yang masih menempel. “Astaga, anak gadis! Tidak boleh makan seperti itu di depan tunanganmu.” Sam menggerutu melihat tingkah Razita. “Kakek,” Adam mendesah lelah mendengar ucapan kakeknya. “Kakek Sam, tunangan itu apa?” tanya Razita. Seth melotot pada Sam karena sahabatnya itu lagi-lagi membuat Razita bingung akan sesuatu yang belum boleh ia ketahui. Sam mengabaikan pelototan Seth dan tatapan tidak suka Adam. Otaknya sedang berputar mencari kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan Razita. “Tunangan itu adalah orang yang akan menikah denganmu,” ujar Seth. Razita terdiam, memikirkan dengan serius penjelasan Sam. “Tapi Rara mau menikah dengan Kak Adam, bukan tunangan.” “Kak Adam itu tunangan Rara,” jelas Sam sungguh-sungguh. “Rara masih menggunakan kalung yang pernah Kakek berikan?” Razita mengangguk dan hendak menunjukkan kalung di lehernya namun Adam segera menangkap pergelangan tangan Razita. “Tangan Rara masih kotor.” Razita menatap kedua tangannya lalu mendongak menatap mata Adam yang tampak menegur sambil nyengir. “Tidak perlu ditunjukkan. Yang penting Rara masih mengenakannya,” ujar Sam, menarik perhatian Razita kembali. “Intinya, selama Rara masih memiliki cincin di kalung itu, Rara adalah tunangan Kak Adam. Dan kalian bisa menikah setelah besar nanti.” Razita mengagguk-angguk dengan ekspresi serius. Entah karena mengerti atau hanya sekedar mengangguk. “Sudah cukup, Sam. Tanpa perlu dijelaskan dia akan mengerti sendiri sesuai usianya. Kalau kau memaksa menjelaskan sekarang, dia malah akan bingung.” Seth berusaha menghentikan Sam yang  tampak masih ingin menjelaskan banyak hal pada Razita. “Tapi dia perlu—” “Ayo, Rara. Waktunya cuci tangan.” Adam memotong ucapan sang Kakek. Dia segera membantu Razita turun dari kursi di meja makan lalu menuntunnya ke dapur. Selesai membersihkan tangan dan wajah Razita, Adam mengajak gadis kecil itu ke kamarnya untuk melarikan diri dari tugas mencuci piring. Biar saja kedua kakek itu yang membersihkan bekas makan malam mereka. “Kak, kepangkan rambut Rara,” pinta Razita yang telah duduk manis di tengah ranjang Adam. Kamar Adam tidak seperti kamar remaja kebanyakan yang dindingnya dihiasi poster-poster tokoh idola. Kamar itu cukup rapi. Ranjang yang hanya cukup ditempati satu orang, berada di salah satu sudut kamar. Di sudut lain yang sejajar dengan kepala ranjang terdapat meja belajar dengan buku-buku tertata rapi. Sementara di sudut dekat kaki ranjang berdiri sebuah lemari kayu. Adam tersenyum mendengar permintaan Razita. Memang tidak jarang dia mengikat atau mengepang rambut Razita. Rasanya menyenangkan ketika jarinya bersentuhan dengan rambut bergelombang gadis itu yang agak kemerahan dan halus. Lebih menyenangkan lagi ketika Adam duduk di belakang Razita menyisiri rambutnya sementara gadis itu bercerita banyak hal, entah itu tentang keluarganya atau teman-temannya di sekolah. Dan Adam akan mendengarkan dengan penuh minat sambil sesekali menimpali. Yah, keduanya sama-sama seperti kecanduan kegiatan sederhana itu. Membuat mereka merasa begitu dekat dan akrab. “Ayo berbalik!” Razita segera menuruti perintah Adam. Dia berbalik menghadap jendela kaca tinggi yang mengarah padang rumput luas di halaman samping, Adam mengambil sisir di laci tempat barang-barang pribadinya tersimpan lalu duduk di belakang Razita. Perlahan remaja itu melepas pita yang mengikat rambut Razita. Memang satu-satunya kemampuan Seth mengatur rambut panjang cucunya adalah mengikat menjadi satu, entah itu kuncir kuda atau hanya mengikat biasa dengan pita. Berbeda dengan Adam yang bisa melakukan beberapa variasi sejak kerap kali menyisir rambut Razita. Beruntung dia mudah belajar hanya dengan memperhatikan tatanan rambut teman-teman perempuannya. “Bagaimana sekolah Rara? Menyenangkan?” Adam memulai pembicaraan begitu sisir mulai bergerak menyusuri rambut panjang Razita. “Tidak ada yang menyenangkan.” Razita bersuara kesal. “Rara ingin sekolah di sini bersama Kak Adam. Tapi Mama dan Papa melarang.” “Wajar Mama dan Papa Rara tidak setuju. Kalau Rara sekolah di sini, siapa yang akan membangunkan Rara pagi-pagi? Siapa yang akan menyiapkan keperluan sekolah Rara? Siapa yang akan membantu Rara mengerjakan PR?” “Ada Kakek Seth, Kakek Sam, dan Kak Adam.” Razita bersikeras. “Iya, tapi apa pernah Rara melihat Kakek Seth bangun pagi saat tinggal berdua dengan Rara?” Razita tampak berpikir. Buru-buru Adam melanjutkan ucapannya sebelum gadis kecil itu melawannya lagi dengan argumennya. “Kalau hanya untuk mengurus Rara selama satu atau dua minggu, Kakek Seth pasti sanggup. Apalagi Rara tidak sekolah. Tapi kalau mengurus tiap hari dan juga harus menyiapkan Rara ke sekolah, pasti Kakek Seth akan kesulitan. Itu kenapa ada seorang ibu. Karena yang benar-benar bisa mengurus anak adalah ibu.” Mendadak Adam tercekat saat mengungkit tentang ibu. Dia jadi teringat ibunya sendiri dan bagaimana susahnya melewati hari ke hari dengan berusaha mandiri tanpa bantuan wanita lemah lembut itu. Seolah merasakan kesedihan Adam, Razita bersandar di d**a pemuda itu. Dia mendongak, menatap wajah Adam yang sedang menunduk balas menatapnya, kemudian jemarinya terangkat menyentuh pipi Adam. “Kakak rindu sama ibu kakak?” Adam tersenyum. Walau masih kecil rupanya Razita sangat peka. “Hmm, iya. Makanya Rara yang punya waktu lebih banyak bersama ibu jangan disia-siakan. Sedih sekali tumbuh besar tanpa ada ibu yang merawat.” Adam memejamkan mata sejenak lalu kembali menatap Razita. “Jangan sampai Rara pergi terlalu lama, lalu begitu pulang ternyata ibu sudah…” Adam tercekat. Dia ingat betul hari itu. Dirinya masih mendapat kecupan hangat dari sang ibu dan sebuah pelukan dari ayahnya sebelum berangkat sekolah. Sebenarnya hari itu sekolah Adam pulang pagi. Tapi dia tidak langsung pulang dan memilih bermain bersama teman-temannya. Menjelang sore, barulah Adam pulang. Tapi kemudian apa yang ia dapati di rumah membuatnya menyesal tidak segera pulang. Orang tua Adam yang sedang berboncengan mengendarai motor, harus rela menabrak pembatas jalan karena menghindari anak kecil yang tiba-tiba turun ke jalan. Anak yang baru berusia dua tahun itu lepas dari pengawasan orang tuanya. Orang tua Adam tidak meninggal seketika. Keduanya sempat dilarikan ke rumah sakit. Tapi karena jarak tempat kejadian ke rumah sakit cukup jauh, mereka sudah terlanjur kehilangan banyak darah. Ditambah lagi fasilitas rumah sakit di kota kecil itu terbatas hingga tidak sanggup menangani pasien secara maksimal. Adam semakin menyesal karena ternyata orang tuanya sempat menanyakan keberadaan Adam. Mereka ingin bertemu Adam untuk terakhir kalinya. Bahkan beberapa tetangga sengaja datang ke sekolah Adam untuk mencari keberadaan bocah yang saat itu masih berusia sebelas tahun. Bisa dibilang Adam merasa trauma. Kini dia selalu takut pulang terlambat. Takut begitu sampai di rumah, satu-satunya keluarga yang tersisa juga direnggut darinya. Bahkan dia selalu menolak ajakan kerja kelompok jika bukan di rumahnya karena alasan itu. Baru memasuki kelas tiga SMP ini Adam memberanikan diri terlambat pulang untuk menjadi guru les teman-teman sekelasnya. “Kak,” Adam tertegun. Segera dia menunduk menatap mata biru terang yang menatapnya dengan sedih, seolah dia bisa merasakan rasa sakit yang Adam derita hingga kini. Pemuda itu tersenyum untuk menenangkan gadis kecilnya yang masih bersandar di dadanya dengan kepala sedikit mendongak agar bisa menatap wajah Adam. “Karena itu Kakak tidak mau Rara menyesal kalau pergi terlalu lama dari Ibu Rara. Mengerti, kan?” Razita mengangguk. Mendadak suasana berubah hening. Mereka hanya saling pandang dengan tatapan yang sulit diartikan, berbagi cerita lewat pandangan. BRAK. “Untung kita tidak terlambat!” seru Sam sambil bergegas menghampiri Adam dan Razita yang masih kaget akibat pintu yang dibuka tiba-tiba dan mendadak muncul kedua kakek mereka. “Ini semua gara-gara kau, Sam. Seharusnya kau tidak perlu terlalu menggebu ingin menyatukan mereka. Mereka masih terlalu kecil. Apalagi Rara.” Seth menggerutu seraya mengangkat Razita tanpa peringatan dari pelukan Adam. “Jangan hanya menyalahkan aku.” Sam berkacak pinggang menghalangi Seth yang hendak keluar kamar. “Kau juga setuju dengan rencanaku menyatukan mereka.” “Iya, tapi tidak perlu mendorong-dorong seperti itu. Jangan sampai mereka mengira kita memberi lampu hijau bagi mereka berbuat lebih.” “Tunggu dulu!” seru Adam segera turun dari ranjang lalu berdiri di dekat kedua kakek itu. “Kalian bicara apa? Memangnya kami salah apa?” Sam berbalik menghadap Adam. Dengan ekspresi bijak, dia memegang kedua bahu cucunya itu lalu berkata, “Nak, hormon remaja memang sulit diatasi. Apalagi kalau kau sudah mulai merasakan nafsu terhadap lawan jenis. Tapi kau tetap harus ingat, walau Rara tunanganmu, kau harus menunggu sampai dia cukup umur dulu.” Adam ternganga. “Maksud Kakek, aku berniat melakukan hal-hal yang tidak pantas pada Rara?” Sam tidak menjawab, hanya menatap Adam dengan serius. “Kakek kenapa sih?” keluh Rara sambil berusaha turun dari gendongan Seth. “Rara, kita harus pulang.” Sam mengeratkan pelukannya di tubuh Razita agar gadis itu tidak bisa turun. “Tapi Kek, Kak Adam belum selesai mengepang rambut Rara.” “Pasti tidak akan selesai. Kalian berpelukan seperti itu, bagaimana bisa mengepang rambut?” Seth menggerutu. “Tadi itu Kak Adam—” “Rara,” Adam memotong ucapan Razita. “Besok saja Kakak akan kepangkan. Minta Kakek Seth  mengantar Rara ke sini pagi-pagi.” Razita merengut. Dia melirik kedua kakek itu kesal lalu beralih pada Adam. “Besok Rara boleh ikut ke pasar, kan?” Adam tersenyum. “Tentu saja.” “Baiklah. Kalau begitu sampai jumpa besok, Kak Adam. Sampai jumpa besok, Kakek Sam.” Kemudian perhatian gadis kecil itu mengarah pada Seth yang masih memeluk bawah bokongnya erat. “Kalau besok pagi Kakek belum bangun, Rara akan ke sini jalan kaki,” ujarnya tegas. Seth meringis. “Baiklah, Kakek akan pasang alarm.” Setelahnya mereka berdua keluar diantar Sam sementara Adam langsung menutup pintu kamarnya dengan perasaan dongkol karena dituduh hendak berbuat hal yang tidak baik pada Razita. ----------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD