Jumat (23.59), 09 April 2021
--------------------
Matahari masih enggan menampakkan sinarnya namun Razita sudah begitu bersemangat. Dia menarik-narik sang Kakek yang masih setengah memejamkan mata menuju mobil.
“Kakek, ayo cepat!” seru Razita kesal karena kakeknya begitu lambat.
“Kakek mau kunci pintu dulu.” Seth menguap.
“Ih, Kakek!” Razita menghentakkan kaki tapi berhenti menarik sang Kakek. “Cepat, Kek!”
Seth mengangguk dengan lemas lalu berusaha memasukkan kunci. Pekerjaan sepele yang biasanya sangat mudah kini jadi sulit karena mata dan otaknya masih setengah terjaga.
Tepat jam empat kurang dua puluh menit pagi, Razita membangunkan Seth secara paksa. Gadis kecil itu menjepit hidung dan bibir Seth dalam upayanya untuk membawa kembali sang Kakek dari alam mimpi.
Setelah Seth berhasil duduk di tepi ranjang, Razita langsung menyeret kakeknya lalu mendorong punggungnya ke kamar mandi. Kemudian gadis kecil itu menyiapkan pakaian Seth, lengkap dengan celana dalam.
Seth sendiri tidak tahu jam berapa Razita bangun. Saat membangunkan dirinya, gadis kecil itu sudah berpakaian rapi dan tampak segar. Jelas dia sudah mandi di pagi buta.
Air dingin yang mengguyur wajahnya sama sekali tidak berhasil membuat Seth terjaga sepenuhnya. Dia sengaja tidak mengambil resiko mandi karena air dan udaranya begitu dingin menusuk kulit. Dia sampai kagum bagaimana cara Razita menahan dinginnya air ketika mandi lebih pagi darinya.
Dan sekarang di sinilah mereka. Dalam perjalanan menuju rumah Seth yang jaraknya sekitar sepuluh kilometer dari rumah mereka.
“Rara, Kak Adam bilang pagi, bukan dini hari.” Gerutu Seth sambil berusaha membuat matanya tetap terbuka.
Terbiasa hidup mewah membuat Seth tidak pernah bangun sebelum jam enam. Lebih sering lagi sekitar jam delapan barulah dia membuka mata. Tapi kini, gara-gara cucunya yang paling cantik, dia terpaksa terjaga saat langit masih gelap.
“Kakek, Kak Adam masih akan mengepangkan rambut Rara. Setelah itu Rara mau ikut mereka ke pasar. Kak Adam pernah bilang bahwa mereka berangkat ke pasar jam lima pagi. Jadi lebih baik kita datang satu jam lebih awal.”
Seth mendesah, kalah bicara dengan cucunya yang semakin lama semakin cerdas mengeluarkan argumen.
Tak lama kemudian mobil yang mereka tumpangi telah sampai di halaman rumah Seth. Yang dimaksud halaman di sini adalah kawasan di luar pagar rumah. Mobil memang diparkir di luar pagar karena di dalam ditanami pohon-pohon bonsai yang terkadang dijual.
“KAK!”
Razita turun dari mobil seraya berseru memanggil remaja yang sedang menaikkan barang ke bak pick-up bekas yang jadi kendaraan Adam dan Sam ke pasar.
“Rara.” Adam tersenyum melihat gadis kecil itu namun tidak berhenti menaikkan barang agar pekerjaannya tidak terganggu.
“Adam, kenapa kau menaikkan barang-barang ini sendirian? Di mana kakekmu?” tanya Seth yang sudah berdiri di dekat Adam.
“Kakek sakit. Tadi kakinya kram sampai tidak bisa digerakkan. Jadi aku memintanya istirahat saja.” Ujar Adam, masih sambil bekerja.
“Dasar tua bangka!” ejek Seth lalu bergerak membantu Adam.
Adam tersenyum. Kedua Kakek itu memang sering kali ribut dan adu argumen. Tapi anehnya selalu kompak melakukan sesuatu. Kadang mereka lebih terlihat seperti musuh, padahal dalam hati saling menyayangi satu sama lain.
Mungkin itu yang disebut saudara, pikir Adam.
Dia tidak memiliki saudara sehingga tidak tahu bagaimana rasanya. Sahabat juga Adam tidak punya karena dia hanya fokus sekolah untuk belajar agar memiliki kehidupan yang lebih layak di masa depan lalu segera pulang membantu sang Kakek.
Tidak ada yang istimewa dalam kehidupannya. Sampai gadis kecil—yang kini sedang bersandar di pagar memperhatikan dirinya dan Kakek Seth—hadir mengisi hari-harinya. Yah, walau tidak tiap hari karena Razita harus kembali ke keluarganya, tapi hari-hari Adam jadi lebih berwarna tiap mengingat sosok Razita dan membayangkan bahwa gadis itu akan mengunjunginya lagi beberapa bulan kemudian.
“Nah, sudah!” seru Seth. “Kau mau langsung berangkat?”
Adam tersenyum sambil melirik Razita. “Ya, setelah mengepang rambut Rara. Aku sudah janji.”
Razita melonjak senang mendengar ucapan Adam. Wajahnya berbinar dan senyumnya merekah.
“Dasar manja,” ejak Seth lalu kembali mengalihkan perhatian pada Adam. “Apa kau mau Kakek membantumu?”
“Tidak perlu. Aku bisa mengerjakannya sendiri. Kurasa lebih baik Kakek tetap di sini menemani Kakek Sam. Aku sungguh mengkhawatirkannya.”
Seth menepuk bahu Adam pelan. “Jangan khawatir. Kakekmu hanya sedikit kram karena memang sudah tua. Tulang-tulangnya sudah hampir keropos. Pergilah, dan tolong jaga Rara.” Seth mengatakan kalimat terakhirnya dengan serius.
Adam berdecak karena pasti ini berhubungan dengan kejadian semalam. “Aku tidak pernah punya niat buruk pada Rara, Kek. Aku benar-benar akan menjaganya.”
“Kakek percaya padamu.”
Adam mengangguk lalu beralih pada Razita. “Ayo, Rara. Kakak akan kepangkan rambut Rara sebelum berangkat ke pasar.”
“Rara benar-benar boleh ikut, kan?” Razita memastikan.
“Tentu saja.”
“Asyik!” seperti biasa, Razita mengulurkan kedua tangan pada Adam. “Gendong.”
“Tidak bisa, Sayang. Tangan Kakak kotor.” Adam menunjukkan teelapak tangannya.
Razita merengut.
“Ayo gendong Kakek saja.” Seth menawarkan.
“Tidak mau! Rara sudah besar!” kemudian Razita berjalan mendahului menuju ke rumah.
Salah satu alis Seth terangkat. “Tadi kan dia minta gendong padamu.” Seth berkata lirih pada Adam.
Adam hanya mengangkat bahu seraya tertawa pelan.
***
Adam menumpuk jadi satu rambut Razita di puncak kepala gadis itu, mengikatnya dengan karet gelang lalu mulai membuat jalinan hingga ujung rambut. Setelahnya ia ikat dengan karet gelang yang lain. Tak lupa pita Razita yang semalam tertinggal ia ikatkan sebagai hiasan di puncak kepala Razita.
Kali ini tidak ada obrolan karena Adam memang sedikit terburu-buru agar sempat mengejar waktu ke pasar.
Butuh setengah jam perjalanan menuju pasar. Beruntung mereka berangkat sebelum jam empat tiga puluh karena pasar mulai beroperasi sejak pukul lima pagi.
Bisa dibilang Adam dan Kakeknya adalah petani. Mereka menanam di kebun lalu menjual hasil kebun langsung ke toko besar di pasar. Begitulah pekerjaan mereka sehari-hari.
Seth yang berjiwa bisnis sempat menawarkan modal agar mereka bisa mempekerjakan orang lain. Namun Sam yang memiliki harga diri tinggi dan prinsip kuat menolak. Lelaki itu selalu berkata masih sanggup bekerja dengan kedua tangannya sendiri.
Seth sempat bersikeras. Mengatakan bahwa ini adalah kerjasama bisnis. Tapi Sam juga sama kerasnya menolak bantuan Seth. Saat Seth menggunakan Adam sebagai alasan, demi masa depan pemuda itu, Sam malah berkata tunggu saja setelah dirinya meninggal. Baru Seth boleh menawarkan bantuan lagi pada Adam.
“Kak, Rara bantu apa?”
Adam yang baru mematikan mesin mobil menoleh. “Rara bantu jaga mobil saja. Setelah Kakak selesai mengangkat barang-barang, baru kita jalan-jalan.”
“Ka-kak!” sengaja Razita memperjelas tiap suku kata. “Rara sudah besar, bukan anak kecil yang bisa dibohongi seperti itu.”
“Kakak berbohong bagaimana?” Adam pura-pura tidak mengerti.
“Untuk apa mobil ini dijaga padahal Kakak masih hendak mengangkut barang-barang di belakang.” Razita berkata kesal.
Adam terkekeh lalu mengacak poni Razita. “Jadi Rara sudah besar, ya? Tidak perlu digendong lagi.”
Razita menatap Adam kesal. “Selalu saja seperti itu.” kemudian dia memalingkan wajah dari Adam sambil melipat kedua tangan di depan d**a dengan gaya merajuk.
Adam sungguh gemas melihat tingkah Razita. Tapi dia harus segera mengangkat barang-barang ke toko. “Pokoknya tunggu di sini, oke? Kakak akan segera kembali.”
Razita tidak menanggapi dan Adam juga tidak menunggu tanggapan. Remaja lima belas tahun itu segera melepas sabuk pengaman lalu keluar dari mobil.
Seperti biasa, putri pemilik toko yang usianya lima tahu lebih tua dari Adam menyambut pemuda itu dengan senyum lebar. Tidak sulit menebak bahwa gadis itu menyukai Adam.
Dia menunggu sampai Adam selesai memindahkan barang, lalu mengulurkan sekaleng soda serta uang untuk membayar hasil kebun yang dijual Adam.
Razita yang melihat bagaimana gadis itu berusaha menempel ke dekat Adam, mulai merasa kesal. Mengabaikan peringatan Adam sebelumnya, ia melepas sabuk pengaman lalu turun dari mobil.
“Rara, Kakak kan sudah bilang tunggu di dalam,” tegur Adam.
“Rara haus, Kak. Itu apa?” Razita menunjuk pada kaleng soda di tangan Adam.
Seketika Adam merasa bersalah. “Ini soda. Rara mau?”
Razita mengangguk.
Adam segera membuka tutup kaleng lalu menyerahkan pada Razita. “Setelah ini kita cari sarapan.”
Razita kembali mengangguk lalu minum. Dia melirik gadis di samping Adam yang menatap dirinya penasaran.
“Adam, dia adikmu? Tapi bukankah kau tidak memiliki saudara?” tanya gadis itu. Dia memang cukup tahu mengenai kondisi keluarga Adam karena pamannya tinggal tidak jauh dari rumah Adam.
“Sebenarnya—”
“Aku Rara, Tante. Kak Adam itu tunangan Rara dan kami akan segera menikah,” ujar Razita dengan raut wajah tak bersalah.
Putri pemilik toko melongo sementara Adam meringis malu. Setelah ini dia pasti dituduh p*****l.
“Adam, apa itu benar?” gadis dua puluh tahun itu menodong Adam dengan pertanyaan yang lebih seperti tuduhan.
Adam ingin menyangkal. Tapi saat menatap mata biru Razita yang seolah memaksanya berkata jujur, dia jadi ragu. Gadis kecil itu pasti akan kecewa kalau Adam menyangkal.
“Ehm, sebenarnya ya.”
“Hah? Tapi dia masih kecil. Dia pasti belum bisa makan dengan benar dan masih suka digendong.”
Mendadak Adam tersinggung, namun dia berusaha menahan diri karena ia dan sang Kakek masih butuh menjual hasil kebun mereka ke toko ini.
Adam menampilkan senyum yang kali ini dipaksakan. “Tidak masalah karena bersamanya aku jadi merasa dibutuhkan.” Adam buru-buru melanjutkan karena tampaknya wanita itu masih ingin mendebat. “Sebaiknya kami segera pergi. Terima kasih minumannya.”
Adam meraih jemari Rara yang tidak memegang kaleng soda lalu menuntunnya ke mobil. Kemudian dia mengangkat gadis kecil itu ke jok mobil, memasangkan sabuk pengaman lalu menutup pintu. Tak lama kemudian Adam sudah duduk di balik kemudi dan mobil pun melaju pelan.
***
Adam melirik Razita yang makan dengan tenang di seberangnya. Kini mereka menikmati sarapan di salah satu rumah makan.
Ada yang aneh dengan Razita sejak meninggalkan toko tempat Adam menjual hasil kebun. Gadis kecil itu berubah jadi pendiam dan seolah menjaga jarak dari Adam. Hal itu membuat Adam mengingat kembali apa ada kata-katanya yang salah sehingga menyinggung perasaan Razita.
“Kenapa kepitingnya tidak dimakan?” tanya Adam heran melihat kepiting milik Razita masih utuh padahal Adam sudah membelah kulitnya. Biasanya kepiting adalah salah satu makanan favorit Razita.
Gadis kecil itu hanya menggeleng pelan tanpa menatap Adam. Dengan sangat hati-hati dia menyendok saus yang menjadi bumbu kepiting lalu memindahkannya ke piring nasi. Masih dengan hati-hati, dia menyendok nasi kemudian memasukkannya ke mulut. Tanpa ada satu butirpun yang jatuh.
Adam yang memperhatikan tingkah Razita berhenti makan.
Ini benar-benar tidak seperti Razita. Biasanya gadis itu makan dengan lahap menggunakan tangan, tak peduli dengan sekitar. Kening Adam berkerut ketika sebuah dugaan muncul di benaknya.
“Rara, lihat Kakak!” perintah Adam tegas.
Perlahan Razita mendongak, membalas tatapan mata cokelat Adam dengan mata birunya.
“Jangan dengarkan orang lain.” Adam berkata serius. “Kakak lebih suka makan bersama Rara yang lahap daripada hati-hati seperti itu. Kakak juga suka menggendong Rara. Kakak juga suka saat Rara manja selama itu masih dalam batas wajar. Bukankah Kakak sudah mengatakannya tadi? Bersama Rara, Kakak jadi merasa dibutuhkan.”
Mendadak mata Razita berkaca-kaca. “Tapi Tante itu bilang—”
“Jangan dengarkan orang lain.” Adam mengulang. “Selama kita tidak mengganggu mereka, urusan kita bukan urusan mereka.”
Entah Razita paham atau tidak dengan ucapannya. Adam tetap merasa harus mengatakan itu namun tidak memiliki kata-kata yang pas yang bisa diterima anak kecil.
“Rara mengerti maksud Kakak, kan?”
Razita mengangguk pelan.
Adam tersenyum. Tangan kirinya yang tidak kotor karena makanan menghapus air mata di sudut mata Razita. “Sekarang letakkan sendoknya dan kita makan seperti biasa.”
Razita meletakkan sendoknya lalu mencuci tangan di mangkuk yang berisi air untuk cuci. Sejenak dia mendongak menatap Adam lalu menyeringai.
Adam terkekeh senang melihat gadisnya telah kembali seperti semula.
----------------------
♥ Aya Emily ♥