Lima

2326 Words
Sabtu (00.02), 10 April 2021 ----------------------- “Siapa itu?” gumam Adam saat menghentikan laju mobil di halaman rumah. Dari tempatnya berada, terlihat Kakek Sam sedang duduk nyaman di bawah pohon besar sementara Kakek Seth terlihat bekerja di kebun. Pemandangan itu bukanlah hal aneh. Memang Kakek Seth kerap kali membantu pekerjaan mereka. Tapi yang tidak biasa adalah sosok yang turut membantu Kakek Seth. Sayang dari jarak sejauh ini Adam tidak bisa melihat dengan jelas orang itu. “Kenapa, Kak?” Razita yang mengantuk karena ini sudah jamnya tidur siang, menoleh pada Adam yang tampak serius menatap sesuatu di kejauhan. “Tidak ada apa-apa. Rara tidur saja. Sebentar lagi Kakak gendong ke dalam.” Razita mengangguk lalu kembali memejamkan mata. Dia benar-benar mengantuk. Pasti ini akibat bangun lebih awal, jauh dari jam bangun Razita. Adam turun dari mobil, masih dengan mata mengarah ke kebun yang jaraknya lima puluh meter dari rumah mereka. Tampaknya Kakek Sam menyadari kedatangannya. Lelaki itu melambai pada Adam namun tetap duduk bersandar. Adam membalas sekilas lambaian sang Kakek kemudian beralih untuk membawa Razita ke rumah. Gadis kecil itu sama sekali tidak terjaga ketika Adam membawanya masuk lalu membaringkannya di ranjangnya. Rumah sederhana yang ditempati Adam dan kakeknya memiliki tiga kamar tidur. Sebelum orang tua Adam meninggal, Sam tidur di kamar dekat dapur. Setelah tragedi yang merenggut orang tua Adam, Sam pindah ke kamar mereka sementara kamar lamanya dijadikan gudang untuk menyimpan hasil panen. Yakin Razita sudah terlelap, Adam putuskan untuk membantu di kebun. Tapi baru saja dia hendak berdiri, jemari Razita memegang erat lengan kemeja yang Adam kenakan. “Kak, mau ke mana?” tanya gadis itu tanpa membuka mata. Adam kembali duduk di sisi ranjang. “Mau membantu Kakek di kebun. Rara tidur saja.” Dengan tingkah manjanya yang sering membuat Adam gemas, Razita memeluk lengan Adam sebagai isyarat bahwa ia tidak mau Adam pergi. “Kelon,” pinta Razita manja. Adam terkekeh. “Ranjangnya sempit, Sayang. Rara juga semakin besar.” Gadis kecil itu bergeser, merapat ke dinding. Ia menepuk sebelah ranjang yang kosong. “Kakak tidur di sini.” “Dasar anak ini.” Adam mencubit ujung hidung Razita sambil tertawa kecil. Kemudian dia merebahkan tubuhnya dan memeluk pinggang Razita. “Sekarang tidur!” Razita tersenyum. Dia berbalik membelakangi Adam lalu bergeser agar semakin rapat dengan tubuh remaja itu. Mendadak Adam terkesiap lalu meringis. Razita menoleh. “Kenapa, Kak?” Wajah Adam memerah. “Ah—ehm, tidak apa-apa. Ayo cepat tidur!” Adam memejamkan mata untuk menahan sesuatu dalam dirinya yang mendadak bangkit akibat gesekan tubuh Razita di tubuhnya. Sepertinya sang Kakek benar. Apa yang ditakutkan kedua orang tua itu semalam mulai nampak. Adam harus mulai berhati-hati dengan kontak fisiknya bersama Razita. Jangan sampai dia lepas kendali lalu menyerang gadis kecil yang harusnya ia jaga. *** “Adam dan Rara sudah pulang.” Sam memberitahu pada dua orang yang sedang memanen sayuran tak jauh dari tempatnya duduk. Setengah jam yang lalu Sam masih turut membantu tapi kemudian menyerah karena kakinya kembali kram. Yah, akhir-akhir ini dia memang gampang lelah dan terkadang bagian tertentu tubuhnya terasa sakit. “Aku ingin mengejutkan Rara,” ujar pemuda yang sedari tadi membantu Seth. Belum sempat Seth menanggapi, dia sudah berlari ke rumah. “Anak itu,” Seth geleng-geleng kepala melihat tingkah cucunya. Ya, pemuda empat belas tahun itu juga merupakan cucu Seth. Dia adalah Kakak Razita, Rachles Reeves. Seth pernah dua kali mengajaknya berlibur ke kota kecil ini sebelum Razita sering ikut. Seth memiliki lima orang cucu dari dua anak lelaki. Anak sulungnya bernama Jose, memiliki tiga orang anak. Raynand, Rachles, dan Razita. Sementara anak kedua Seth bernama Luke, memiliki dua orang putra, Kent dan Evan. Itu sebabnya mengapa Razita menjadi kesayangan di keluarga Reeves. Gadis itu satu-satunya anak perempuan keturunan keluarga Reeves. Sayangnya saat ini Luke dan keluarganya tinggal di luar negeri. Di rumah hanya ada Seth, Mikaela, dan keluarga Jose, hingga suasana yang biasanya seramai pasar, sedikit lebih sepi. Tidak seperti Rachles dan Razita, Raynand lebih menyukai suasana kota besar, mirip sekali dengan sifat Mikaela. Sedangkan Rachles, dia suka berpetualang. Sejak kecil Seth kerap mengajaknya berlibur ke banyak tempat. Sering kali menjelajah gunung atau hutan, berburu lokasi air terjun. Tapi semakin bertambah usia, tubuh Seth semakin lemah. Itu sebabnya satu-satunya tempat yang ia datangi hanyalah kota kecil tempat sahabatnya tinggal. Rachles yang masih memiliki jiwa muda, menolak ketika diajak kembali ke kota kecil itu. Menurutnya kurang menantang. Dia lebih memilih menghabiskan masa liburan bersama teman-temannya. Tapi pagi tadi, ketika Seth dan Sam memutuskan berkebun sejenak, mendadak Rachles berdiri di depan rumah Sam. Dia kabur dari rumah karena orang tuanya mengurungnya di kamar setelah ketahuan berkelahi dengan temannya. Walau Seth tidak bisa menyembunyikan rasa cemas akibat kelakuan nekat Rachles, tetap saja dia mengagumi daya ingat dan keberanian remaja itu. Hanya dengan dua kali datang ke kota kecil tempat biasa Seth menghabiskan waktu, Rachles bisa menyusul tanpa bantuan dengan mengendarai motornya. Bahkan dia ingat di mana harus mencari Seth jika tidak ada di rumah peristirahatan. “Kau sudah memberitahu Mama dan Papanya bahwa dia ada di sini sekarang?” tanya Sam. “Iya, sudah. Mereka bahkan tidak tahu kalau Rachles melarikan diri.” Seth mendesah. “Kenapa bisa tidak tahu? Apa mereka berencana tidak memberinya makan?” “Di rumahku, sarapan bersama dimulai jam delapan. Hanya anak-anak yang harus berangkat sekolah yang makan lebih awal. Karena sekarang hari libur, pasti mereka berencana mengantar sarapan untuk Rachles tepat jam delapan juga. Tapi kau ingat sendiri tadi jam berapa anak nakal itu sampai di sini. Sekitar jam tujuh. Pasti dia kabur sejak semalam begitu dikurung orang tuanya.” Lagi-lagi Seth mendesah. “Andai ada satu saja cucuku yang sepenurut Adam, pasti hidupku akan jauh lebih tenang.” Sam berdecak. “Tuhan Maha Adil. Dia tahu kau memiliki banyak orang yang akan menjaga dan merawat cucu-cucumu, jadi Dia memberi cucu yang sangat aktif seperti mereka. Sedangkan aku yang hanya sendirian ini, dia beri cucu yang penurut agar tidak kewalahan.” Seth yang masih asyik memanen berhenti. Dia mendekati tempat sahabatnya sedang beristirahat lalu duduk di sebelahnya. “Jangan terlalu serius begitu jawabnya. Aku hanya sekedar curhat, tidak serius. Betapa pun merepotkannya mereka, aku tetap tidak mau menukar mereka dengan apapun.” “Mau serius atau tidak, aku hanya mengingatkan.” Sam mengangkat bahu. “Baiklah, baiklah. Kau sedang sensitif, ya?” gerutu Seth. Sam hanya tersenyum kecil. Pandangannya menerawang ke langit biru. Dia ingat masa-masa sekolahnya bersama Seth. Penuh kenakalan layaknya remaja SMA pada umumnya. Bekerja sama, bersaing, bertengkar karena gadis, dihukum. Semua itu mereka lewati bersama. Tapi akhirnya mereka harus berpisah sejak Sam diusir dari rumah, beberapa bulan setelah lulus kuliah. Bahkan keduanya kehilangan kontak. Ah, lebih tepatnya Sam sengaja memutus kontak dengan semua orang dari masa lalunya. Namun Tuhan masih merestui kebersamaan mereka. Lima tahun kemudian, Seth datang ke kota kecil tempat Sam tinggal untuk singgah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke daerah pegunungan yang menjadi tujuan petualangannya kala itu. Mereka berpapasan di sebuah toko. Dan sejak saat itu, persahabatan mereka kembali terjalin lebih akrab. “Hmm, Seth.” “Ya?” “Kalau aku tiba-tiba pergi, hanya satu yang kuminta. Tolong jaga Adam. Dia masih sangat muda dan sendirian tapi—” Sam tercekat, seolah ada gumpalan di tenggorokannya. “aku merasa waktuku semakin dekat.” Seth menatap Sam secara tiba-tiba. “Memangnya kau Tuhan, ya? Sok tahu sekali kapan kau akan mati.” dia tidak bisa menyembunyikan amarah bercampur kesedihan dalam suaranya. “Memang bukan.” Sam hanya menjawab singkat, enggan berdebat. Suasana mendadak hening. Benak Sam dipenuhi kekhawatiran akan cucunya jika dirinya meninggal sementara Seth terlihat ingin mengatakan sesuatu namun ragu. “Sam,” akhirnya Seth memutuskan mengungkapkan apa yang mengganggu benaknya. “Apa tidak lebih baik kau mengenalkan Adam pada keluargamu?” Sam membalas tatapan mata cokelat keemasan Seth dengan kesedihan yang nyata. “Berjanjilah padaku, Seth! Meski kau menolak merawat Adam, jangan pernah sekalipun mempertemukannya dengan keluargaku. Kau tidak tahu betapa mereka menilai tinggi latar belakang seseorang. Mereka akan menutup mata mengenai kenyataan bahwa Adam adalah keturunan mereka karena darah p*****r dan anak panti yang Adam warisi.” Seth tidak habis pikir, masih saja ada orang-orang semacam itu. Mereka tidak mau mengakui seseorang sebagai anggota keluarga karena memiliki Nenek mantan p*****r dan Ibu yang besar di panti asuhan. “Aku tidak akan pernah menolak Adam, Sam. Dia sudah seperti cucuku sendiri. Aku hanya memberi saran seperti itu karena kupikir itu lebih baik untuk Adam. Tapi kalau kau berpikir sebaliknya, maka tidak akan kulakukan.” Seth berkata serius. Sam mengangguk, tersenyum berterima kasih pada Seth. Lalu mereka kembali terdiam. “KAKEK!! CEPAT KE SINI!!” Teriakan Razita membuat kedua lelaki itu kaget. Bersamaan mereka menoleh dan mendapati Razita sedang melambai-lambai dengan gerakan buru-buru seperti panik. “Apa yang terjadi?” tanya sam bingung. “Mana aku tahu? Sebaiknya kita ke sana. Kuharap Rachles tidak membuat ulah lagi.” Seth tahu betul Rachles terkadang bisa sangat manis dan perhatian. Tapi jika ada sesuatu yang mengganggu atau sifat isengnya sedang kambuh, remaja itu tidak akan segan main tangan, kecuali pada perempuan. *** Rachles sengaja berjalan pelan memasuki rumah milik Kakek Sam. Dia yakin adik kesayangannya itu tidak akan menyangka bahwa dirinya di sini. Dia menyeringai membayangkan ekspresi kaget Razita. Mungkin sudah tiga tahun lebih Rachles tidak datang ke kota kecil ini. Namun semua masih sama. Padahal dia berharap mendadak ada bandara di padang rumput luas itu hingga suasananya tidak akan sesepi sekarang. Pemikiran itu membuat Rachles tersenyum sendiri. Di bagian depan rumah sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan orang. Langkah kaki Rachles menuntunnya menuju dapur. Mungkin kedua orang itu sedang makan. Rachles juga masih ingat cucu Kakek Sam. Dia lebih tua satu tahun dari Rachles. Sayangnya dia bukan teman yang menyenangkan. Sangat susah diajak sedikit berbuat kenakalan. Misalnya mengendarai pick-up butut Kakek Sam, padahal keduanya belum bisa mengemudi. Karena tidak berhasil membujuk Adam, Rachles pun melakukannya seorang diri dan berhasil membuat pergelangan kakinya terkilir karena nekat lompat dari mobil beberapa detik sebelum mobil menabrak pohon besar. Kejadian itu sama sekali tidak membuat Rachles merasa bersalah padahal badan bagian depan pick-up rusak parah. Malah dia bangga karena setelah kejadian itu Kakeknya membelikan Kakek Sam mobil baru yang lebih aman untuk dikendarai. Bukankah dia anak yang pintar dan suka menolong orang? Kening Rachles berkerut. Tidak ada siapapun di dapur. Dia mulai membuka tiap pintu karena tidak mengenal betul bagian-bagian rumah Sam. Sampai akhirnya dia sampai ke sebuah kamar dan mendapati Razita berada dalam pelukan seorang pemuda seusia dirinya. Rahang Rachles menegang. Jemarinya mengepal kuat. Berani sekali Adam melecehkan adiknya seperti itu. Tanpa berkata apapun, Rachles menarik kerah kemeja Adam yang tidur menyamping membelakangi pintu, mengabaikan pekik kaget Razita dan erang kesakitan Adam saat menyapa lantai dengan keras. “Hei, apa yang kau lakukan?” teriak Adam kesal sambil memegangi punggung dan pantatnya. Sejenak dia berusaha mengingat wajah di hadapannya yang terasa familiar. Rachles tidak menyahut. Dia membungkuk, menarik kerah kemeja Adam dengan mata berkilat marah. “Berani sekali kau melecehkan adikku!” Adik? Seketika Adam mengingat remaja yang sering membujuknya berbuat kenakalan dan pasti akan menggerutu kesal jika Adam menolak. “Aku tidak melakukan apapun,” geram Adam. Emosinya juga tersulut karena dia lagi-lagi dituduh melakukan sesuatu yang tidak pantas pada Razita. “Jelas kau tidak akan mengaku!” BUGH. Satu tinju dari Rachles menghantam pipi Adam. Cukup kuat hingga terlihat memar di tulang pipinya. “Kak Rachles! Hentikan!” Razita berteriak namun tidak dihiraukan. Tentu saja Adam tidak terima. Dia membalas pukulan Adam dengan tinju yang mengarah perut. Cukup mudah melakukannya karena Rachles masih membungkuk di atas tubuh Adam yang setengah terduduk. Air mata Razita jatuh. Dua orang yang disayanginya terlibat baku hantam. Yakin tidak akan didengarkan, dia pun berlari keluar rumah lalu berteriak memanggil kedua kakeknya. *** “Sekarang jelaskan apa yang terjadi!” perintah Seth tegas. Dia menatap garang kedua pemuda yang duduk bersisian di kursi panjang dengan wajah babak belur. Rupanya Sam dan Seth datang terlambat hingga keduanya cukup lama beradu tinju. Sejenak Rachles melirik Adam yang duduk bersandar dengan wajah tertunduk. Kemudian dia mendongak menatap sang Kakek. “Aku melihatnya melecehkan Razita. Jadi mana mungkin aku diam saja?” Tidak ada pembelaan dari Adam sementara Razita hanya menatap tak mengerti apa yang diucapkan. Gadis kecil itu duduk di kursi lain ditemani Sam. Dia baru saja berhenti menangis. Sam dan Seth saling melirik. Mereka memang sempat curiga hormon remaja Adam akan membuatnya lepas kendali di dekat Razita. Tapi begitu ada orang lain yang menegaskan hal itu, mereka malah ragu Adam sanggup melakukannya. Sebesar apapun Adam ingin menyentuh Razita layaknya seorang pria menyentuh wanita, kedua kakek itu yakin sifat Adam yang berpendirian kuat akan mencegahnya melakukan hal itu. Seth menghela napas sejenak lalu mengajukan pertanyaan pada Rachles. “Melecehkan seperti apa maksudmu?” “Masa aku harus menjelaskan arti kata itu?” Rachles tampak kesal. Seth menatap tajam cucunya itu, memberi peringatan agar Rachles menjaga bicaranya. “Jelaskan apa yang kau lihat!” Mengerti tatapan sang Kakek, Rachles bicara lebih sopan. “Aku melihatnya memeluk Razita, lengannya melingkari pinggang Razita, dan dia terlihat mencium. Entah di bagian mananya, yang jelas bagian kepala.” Emosi Rachles tampak tersulut kembali. “Jadi setelah melihat itu, haruskah aku hanya berkomentar, ‘Ah, wajar. Seharusnya mereka berbuat lebih.’ Begitukah?” Kali ini Seth memaklumi cara bicara Rachles. Pemuda itu mengkhawatirkan adiknya. “Adam, kau ingin mengatakan sesuatu?” kali ini Seth bertanya pada Adam. Bukannya menjawab, mendadak Adam berdiri. Tatapannya tertuju pada Seth, menolak membalas tatapan tiga orang lainnya di ruangan itu. “Mulai hari ini bawa Razita pergi. Jangan pernah pertemukan kami lagi sampai kalian cukup percaya padaku dan merasa yakin bahwa Razita sanggup menjaga diri dari b******n sepertiku. Kalau besok aku masih melihatnya, berarti kalian lebih suka aku yang pergi.” Selesai berkata demikian, Adam berbalik menuju kamarnya. Dia mengunci pintu lalu menyandarkan punggung. Terdengar jelas tangis dan teriakan Razita memanggil-manggil namanya. Adam memejamkan mata, turut menangis dalam diam. Kita pasti akan bertemu lagi, Rara. Pasti! --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD