Sabtu (00.07), 10 April 2021
----------------------
“Rara! Rara, ayo bangun!”
Suara dan tepukan di pipinya membuat Razita tertarik keluar dari alam mimpi. Gadis sembilan tahun itu menggeliat, namun masih enggan membuka mata.
“Rara, cepat bangun, Nak!”
Razita hafal betul itu adalah suara sang Kakek. Tapi kenapa Kakeknya mengganggu? Padahal Razita merasa baru tidur satu atau dua jam.
“Pa, kenapa harus membawa Razita?”
Nada cemas Mamanya membuat Razita terjaga seketika. Tapi ia putuskan tetap menutup mata untuk menguping pembicaraan.
“Ini kondisi darurat. Keberadaan Razita pasti akan membantu di sana.” Sepertinya sang Kakek sedang mondar-mandir.
“Tapi besok Rara harus sekolah.” Kali ini suara sang Nenek.
“Pa, lagipula Rara masih terlalu kecil. Memangnya dia bisa bantu apa? Kalau Papa butuh bantuan, besok setelah rapat aku akan menyusul.” Itu suara Papa Razita.
“Kalian tidak mengerti!” suara sang Kakek meninggi. “Adam baru saja kehilangan keluarga terakhir yang dia miliki!”
Mata Razita terbuka tiba-tiba. Dia menatap kaget pada sang kakek yang sedang berhadapan dengan Nenek dan orang tuanya.
“Bantuan lain bisa aku urus sendiri. Tapi di sini,” Seth menepuk dadanya sendiri. “Adam membutuhkan Rara.”
Ketiga orang di depan Seth masih ingin membantah. Mereka pikir, apa Adam tidak memiliki teman lain yang bisa menghiburnya. Tapi melihat raut penuh kesedihan dan emosi Seth, mereka pun urung menyampaikan pendapat.
Razita yang sebentar lagi akan menginjak kelas empat SD cukup paham pembicaraan di sekelilingnya meski belum jelas. Yang bisa dia tangkap adalah sesuatu menimpa Kak Adamnya. Dan sepertinya itu buruk.
Segera ia duduk seraya mengajukan pertanyaan, “Apa yang terjadi pada Kak Adam?”
Empat orang dewasa itu segera menoleh dan mendapati gadis di atas ranjang menatap mereka dengan mata berkaca-kaca.
“Rara, segera ganti pakaian! Kita harus menemui Kak Adam. Kakek sudah siapkan pakaian gantimu,” jelas Seth buru-buru.
Razita masih ingin bertanya lebih jauh tapi dia pikir hal itu bisa ia tanyakan selama perjalanan. Segera ia turun dari ranjang lalu bergegas ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian setelah Razita keluar kamar mandi, kamarnya sudah sepi. Buru-buru ia mengambil sembarangan pakaian di lemari lalu mengenakannya. Sejenak ia melirik jam di nakas yang ternyata masih menunjukkan pukul satu dini hari. Kurang dari sepuluh menit kemudian gadis itu sudah keluar tergesa menuju pintu depan.
Tampak jelas orang tuanya dan sang Nenek masih tidak setuju dengan kepergian mereka. Tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk melawan sifat keras kepala Seth Reeves. Akhirnya mereka memilih membantu menyiapkan bekal dalam perjalanan, berupa makanan pengganjal perut, kopi, serta s**u untuk Razita.
“Segera telepon ke sini begitu sampai, Pa.” Jose mengingatkan.
“Kalau Kakek lupa menelepon, Rara yang telepon Mama, ya.” Arla mengingatkan putrinya masih dengan raut cemas.
“Iya, Ma.” Rara menyahut sementara Seth tampak sudah tidak memperhatikan sekitar. Fokusnya tertuju pada kesedihan akibat kehilangan sahabat terbaiknya dan rasa prihatin terhadap Adam yang kini tidak memiliki siapapun padahal dia baru saja duduk di bangku SMA.
PLAK.
“Aw!” Seth kaget. Tangannya terangkat menggosok pipinya yang terasa pedih sekaligus panas akibat tamparan keras.
“Kalau kau tidak bisa fokus, sebaiknya kau tidak usah pergi!” kata-kata tajam itu diucapkan Mikaela yang baru saja menampar wajah suaminya. Satu-satunya kekerasan yang pernah terjadi dalam rumah tangga mereka.
Seth menunduk, membalas mata biru sang istri dengan mata cokelat keemasannya. “Aku fokus. Jangan khawatir!”
Seth hendak berbalik tapi mendadak dia meringis ketika jemari Mikaela masuk ke helai rambut Seth bagian belakang, lalu menggenggam dan menariknya kuat. Mudah melakukannya karena rambut Seth agak panjang, sekitar dua senti.
“Sayang, apa yang kau lakukan?” tanya Seth sambil memegang tangan Mikaela yang masih mengepal di rambutnya.
“Dengar, ya! Kau mau membantu orang yang sedang terkena musibah, bukannya membuat kami yang tertimpa musibah dengan kedatangan mayatmu. Dan kalau kau hanya ingin pergi untuk bunuh diri menyusul sahabatmu, jangan bawa-bawa Razita.”
Seth tersenyum. Lama hidup bersama Mikaela membuat Seth hafal betul sifat istrinya. Wanita itu terkadang bersikap dingin dan kasar. Tapi itu karena dia peduli dan khawatir. Seperti sekarang, dia amat mencemaskan suami dan cucunya yang hendak pergi di pagi buta. Bukan hanya itu, melihat Seth yang sedang dirundung duka dan harus mengemudi jauh membuat kekhawatirannya meningkat.
Kali ini Seth menarik lembut jemari Mikaela dari rambutnya. Mikaela sendiri sudah mengendurkan jambakannya hingga mudah bagi Seth menggenggam jemari Mikaela di dadanya.
“Aku janji akan sampai di rumah dengan selamat.”
“Kau memang harus melakukannya!” kali ini Mikaela tidak bisa menyembunyikan rasa cemas. Suaranya bergetar.
Lembut, Seth menarik Mikaela ke dalam pelukan, menanamkan satu kecupan di kening istrinya itu. Kemudian dia menarik diri.
“Besok kami akan menyusul. Mungkin sore baru sampai di sana,” ujar Mikaela.
“Baiklah. Sebaiknya kami berangkat sekarang.” Perhatian Seth beralih pada Razita yang jemarinya digenggam erat oleh Arla. “Ayo, Rara!”
Sekali lagi Arla mengecup puncak kepala Razita, kemudian dia melepas genggaman tangannya. Razita tersenyum menenangkan pada orang tuanya lalu bergegas menghampiri Seth yang sudah membukakan pintu mobil untuknya.
Tak lama kemudian mobil hitam legam itu pun melaju membelah gelapnya malam.
***
Jantung Razita terus berdebar keras sepanjang perjalanan menuju rumah Kakek Sam. Ah, tidak. Rumah Adam sekarang. Karena Kakek Sam telah dipanggil Yang Maha Kuasa beberapa jam lalu. Lebih dari satu tahun tidak bertemu membuat pertemuan kali ini terasa sedikit berbeda. Dan lagi tidak seperti dulu, ini akan jadi pertemuan penuh air mata.
Dalam perjalanan Seth bercerita, sekitar pukul satu kurang lima belas menit dini hari Adam meneleponnya dan memberitahu bahwa Kakek Seth telah meninggal.
Razita tak kuasa menahan tangis membayangkan kini Kak Adamnya tidak memiliki keluarga lagi. Lalu siapa yang akan membiayai sekolahnya? Memasak untuknya? Dan menemani hari-harinya?
Kini Razita bukan lagi gadis kecil yang tidak mengerti semua itu. Dia bahkan sudah tahu apa itu ‘kekasih’. Kakak kelasnya yang sebentar lagi akan lulus dari SD sempat bercerita tentang kekasihnya.
Jemari Razita terangkat, menggenggam cincin yang masih setia menggantung di lehernya. Cincin pemberian Kakek Sam yang membuat dirinya dan Kak Adam terikat.
Tunangan.
Razita juga sudah mengerti arti kata itu meski ada beberapa hal yang belum dia pahami. Sekitar dua bulan lalu sepupu Mamanya baru saja bertunangan. Si lelaki memasangkan cincin indah di jemari wanita yang menjadi tunangannya. Saat Razita bertanya apa fungsi cincin itu, Mamanya menjelaskan bahwa itu sebagai pengikat hubungan pertunangan di antara mereka.
Masih sempat muncul pertanyaan di benak Razita karena pertunangan sepupu Mamanya dihadiri orang banyak sementara dirinya dan Adam hanya dihadiri kedua kakek mereka. Akhirnya dia bertanya pada sang Kakek yang langsung menjawab tegas bahwa Razita dan Adam memang sudah bertunangan. Tapi Razita tidak boleh mengatakan hal ini pada keluarganya, apalagi orang tua dan Nenek Mikaela.
Yah, sebagian besar sudah Razita pahami. Tapi masih ada banyak hal yang membuat keningnya berkerut dan akhirnya menciptakan lebih banyak pertanyaan. Dia hanya terus berpegang pada pesan sang Kakek bahwa Razita akan mengerti sendiri sesuai usianya.
“Jangan menangis.” Seth membelai rambut Razita dengan satu tangan sementara tangan lainnya masih berada di atas kemudi. “Kalau Rara menangis, bagaimana bisa menghibur Kak Adam nanti?”
Buru-buru Razita menghapus air mata di pipinya. Dia bahkan tidak sadar sedang menangis sambil melamun.
“Masih jauh, Kek?” tanya gadis itu dengan suara serak. Dia tidak ingat jalannya karena malam masih menemani.
“Sebentar lagi sampai. Rara sebaiknya tidur. Nanti Kakek bangunkan,” bujuk Seth lembut.
Razita menggeleng. Dia sama sekali tidak sanggup memejamkan mata. Pikirannya terus tertuju pada Adam dan Kakek Seth.
Tak lama kemudian mobil yang mereka kendarai telah sampai di halaman rumah yang kini ramai meski langit masih gelap. Jarak antar rumah di daerah yang ditinggali Adam dan kakeknya memang tergolong jauh. Namun solidaritas antar tetangga tetap terjalin.
Turun dari mobil, Seth langsung menggendong Razita. Tidak peduli cucunya itu sudah semakin tinggi dan berat, dia tetap sering melakukannya. Tapi kali ini bukan hanya sekedar untuk memanjakan Razita, melainkan juga untuk mencegah Razita melihat tubuh yang cukup dikenal gadis itu kini berbaring tak bernyawa di ruang tengah kediaman keluarga Walter.
Seth hanya menyapa sekilas tetangga Sam yang dikenalnya tanpa menghentikan langkah menuju kamar Adam. Beruntung pintu kamar tidak terkunci hingga Seth tidak perlu berlama-lama menunggu di luar.
Tatapan Seth mengarah ke atas ranjang, di mana seorang remaja duduk bersandar dengan satu kaki ditekuk dan kaki lain berselonjor. Kepalanya menunduk menatap kedua tangan yang saling terkait di pangkuan.
Seth yakin Adam menyadari kedatangan orang di kamarnya. Namun remaja itu tetap bergeming di tempat semula.
Menyadari di mana dirinya berada, Razita segera menoleh ke arah ranjang. Matanya berkaca-kaca melihat Kak Adamnya yang seolah hanya raganya di ruangan itu sementara jiwanya entah berada di mana.
Razita menoleh pada sang Kakek, meminta izin tanpa suara. Seth mengangguk lalu menurunkan Razita kemudian dia berbalik keluar kamar.
Sepeninggal Seth, Razita berjalan perlahan mendekati ranjang Adam yang sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali Razita menginjakkan kaki di ruangan itu. Kecuali kain penutup ranjang dan sarung bantal yang sudah berganti.
Adam tetap bergeming meski ranjang sedikit bergerak ketika Razita naik. Barulah saat Razita berlutut di depan remaja itu lalu melingkarkan lengannya seperti yang sering ia lakukan dulu, tubuh Adam menegang. Pelan, wajah itu mendongak, membalas tatapan mata biru terang Razita dengan mata cokelatnya.
“Rara,” bisik Adam pelan.
Dia merasa seperti mimpi. Meski dirinya yang menghubungi Kakek Seth beberapa jam lalu, tapi tetap saja Adam tidak berani berharap Razita akan datang. Selama satu tahun lebih ini, Kakek Seth sering datang namun tanpa membawa Razita sejak pertengkaran Adam dan Rachles.
Razita tersenyum, menghapus air mata yang masih tersisa di sudut mata Adam, mengabaikan matanya sendiri yang mendadak buram.
“Rara.” Adam kembali berbisik, seolah untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa gadis kecil yang selalu dirindukannya kini hadir di depannya.
Razita tidak sanggup menjawab. Tangisnya pecah. Dia langsung memeluk erat leher Adam dan membenamkan wajah di bahu remaja itu dengan terisak.
Kak Adamnya yang selalu tersenyum dan memanjakannya kini tampak begitu rapuh. d**a Razita sesak. Dia terus menangis dan berusaha menyembunyikan isakannya.
Ragu, tangan Adam terangkat untuk membalas pelukan gadis itu. Dia masih berpikir bahwa dirinya hanya sedang bermimpi. Karena itu dia takut bergerak tiba-tiba hingga membuat dirinya terjaga dan kehilangan kehangatan yang melingkupinya kini.
Tapi sepertinya ini nyata.
Cukup lama mereka saling memeluk, perlahan isak tangis Razita berhenti digantikan kantuk yang menghantamnya. Dia mundur, melepas pelukan dan menatap Adam sambil menggosok matanya yang masih basah.
“Kak, Rara ngantuk.” Nada manja Razita kambuh.
Adam tersenyum lebar. “Sini, tidur di sebelah Kakak.” Adam menepuk bantal di sebelahnya.
Razita memperhatikan tempat itu lalu menoleh ke arah Adam dengan sorot mata ragu.
Tanpa mengatakan apapun Adam mengerti kekhawatiran Razita. Rachles memergoki mereka tidur berpelukan di ranjang ini yang akhirnya membuat mereka berpisah.
“Tidak akan terjadi apa-apa. Berbaringlah.” Aku membutuhkanmu, Rara.
Adam tersenyum menenangkan. Kali ini dia mengambil resiko. Toh perpisahan mereka dulu karena usul darinya juga.
“Kemarilah!” kali ini nada Adam lebih menuntut karena Razita tak kunjung bergerak. Dengan lembut dia menarik tangan Razita lalu membantunya rebah di sampingnya.
Mata Razita berbinar senang. Kak Adamnya sedikit berbeda sekarang. Biasanya dulu selalu Razita yang manja. Tapi entah mengapa sekarang remaja itu yang manja meski menutupinya dengan sikap dewasanya.
Dan begitu kepala Adam menyentuh bantal, Razita langsung memeluk pinggang Adam lalu membenamkan wajah di d**a pemuda itu. Rasanya sungguh nyaman, seolah dia menemukan tempatnya pulang.
Sama seperti Razita, Adam balas mendekap gadis itu erat. Dia juga merasakan kenyamanan yang sama. Namun dirinya nyaman karena yakin tidak sendirian. Ya, dia dihantui rasa takut karena dirinya kini sendiri. Tapi berkat Razita, perasaan itu perlahan menguap.
-------------------
♥ Aya Emily ♥