Tujuh

1654 Words
Sabtu (00.09), 10 April 2021 ----------------------- Razita berdiri bersandar pada Adam yang juga berdiri tepat di belakangnya. Salah satu jemari mereka saling mengait, seolah takut berpisah. Sementara itu di sekitar mereka berdiri Kakek Seth dan tetangga yang turut mengantar Sam ke peristirahatan terakhir. Waktu berlalu, orang-orang pulang satu per satu meninggalkan area makam. Kini tinggal Adam, Rara, dan Seth yang masih betah di tempat itu. “Jangan khawatir, Sam.” Mendadak Seth memecah keheningan. “Aku akan menggantikanmu menjaga Adam.” Kalimat terakhir Seth ucapkan sambil merangkul bahu Adam. Adam tersenyum. “Aku akan baik-baik saja, Kek. Istirahat yang tenang di sana.” Razita tidak mau kalah. “Kakek, Rara juga ada di sini. Rara akan temani Kak Adam sampai maut memisahkan kami.” Adam dan Seth mengerutkan kening lalu menunduk menatap gadis itu yang tengah nyengir ke arah mereka. “Tahu dari mana kata-kata itu?” tanya Adam. “Kakak kelas Rara. Dia sering berkata seperti itu karena sangat mencintai kekasihnya. Tapi cinta itu apa?” gadis itu memasang tampang polos. Seth geleng-geleng kepala. “Semakin bertambah saja pertanyaan anehnya.” Adam membelai rambut panjang Razita yang dibiarkan tergerai. “Tidak perlu terlalu dipikirkan. Nanti Rara pasti mengerti sendiri.” Razita ingin protes, namun dia memilih diam. Mungkin kalaupun dijelaskan dirinya tetap tidak akan mengerti. Dia kembali menghadap kuburan Sam dengan tubuh bagian belakang semakin nyaman bersandar di tubuh bagian depan Adam. “Mau pulang sekarang?” Seth bertanya setelah cukup lama mereka kembali berdiam diri. Adam masih ingin menemani kakeknya lebih lama lagi. Terutama karena kuburan nenek, orang tua, dan kakeknya bersebelahan. Di sana Adam merasa sedang berkumpul dengan keluarganya. Tapi keberadaan gadis yang kini mendongak menatapnya membuat Adam sadar bahwa roda kehidupan tetap berputar. Dia tidak bisa terlalu lama berkubang dalam duka. Dan dirinya harus menjaga wasiat terakhir dari sang Kakek. “Adam, Kakek tidak punya banyak harta yang bisa Kakek wariskan padamu kecuali rumah dan tanah ini. Dan satu lagi, cincin yang telah Kakek berikan pada Razita. Tidak masalah kau menjual rumah atau tanah ini, tapi jangan pernah menjual cincin itu. Bagi Kakek, sejak cincin itu diserahkan pada Razita, gadis itulah pasangan hidupmu. Kalian boleh saja tidak menikah karena merasa tidak cocok, tapi cincin itu akan tetap menjadi milik Razita dan kau juga bertanggung jawab menjaganya.” Adam ingat betul kata-kata yang Kakek Sam ucapkan sekitar dua hari lalu. Saat itu sang Kakek sudah tampak kepayahan. Dia berbaring di kamar lalu memanggil Adam untuk mengatakan hal itu. Kata-kata sang Kakek yang seperti pesan terakhir sempat membuat Adam kesal. Dia langsung menyangkal bahwa kakeknya tidak akan kemanapun jadi tidak perlu mewariskan apa-apa. Adam bahkan sempat bersikeras mengajak kakeknya berobat mengingat kondisi tubuhnya yang semakin lemah. Namun keras kepala Sam selalu menang. Dia tidak pernah mau dibawa berobat. Adam mengingat semua itu dengan jemari bergerak membelai rambut Razita. Tunangannya masih menatapnya penuh tanya, menunggu Adam menjawab pertanyaan Kakek Seth. “Rara mau pulang?” tanya Adam lembut. Razita tersenyum seraya mengangkat kedua tangannya ke arah Adam. “Mau pulang ke rumah Kakak.” Adam tertawa seraya membungkuk untuk menggendong Razita. Tapi kali ini dia tidak menggendong seperti dulu. Pemuda itu menepuk bahunya. Razita menyeringai lalu segera memeluk leher Adam dari belakang. Begitu Adam berdiri, dia melingkarkan kakinya di pinggang Adam. Seth yang melihat itu tersenyum sekaligus merasa sedih. Keberadaan Razita berhasil mengalihkan Adam dari perasaan sedih namun hal itu tetap tidak menutupi kenyataan bahwa remaja yang berusia enam belas tahun itu kini sebatang kara. Seth segera menghapus matanya yang basah. Kalau Adam bisa menahan air mata dan terus tersenyum demi Razita, mengapa dirinya tidak bisa melakukan hal yang sama demi kedua cucunya itu? “Kakek, ayo!” “Ya,” Seth segera menjawab panggilan Razita yang sudah cukup jauh dari tempatnya berdiri. Dia menarik napas panjang lalu melangkah. Melangkah meninggalkan sahabatnya yang sudah istirahat untuk selamanya. *** Sudah dua minggu sejak meninggalnya Samuel Walter. Kini kediaman keluarga Walter tampak tenang seperti dulu. Siang hari setelah pemakaman Sam, keluarga Reeves datang melayat. Adam bersyukur karena yang datang bukan Rachles, hanya orang tua dan nenek Razita. Tapi ketakutan lain melanda hatinya. Dia merasa seperti orang yang kedatangan calon mertua. Takut melakukan sesuatu yang salah dan akhirnya dijauhkan dari Razita. Tapi ternyata orang tua Razita cukup hangat. Neneknya juga meski wanita itu tampak sedikit kaku. Yang tidak Adam duga, mereka bahkan menawarkan agar dirinya ikut bersama mereka dan tinggal di kediaman Reeves. Tawaran yang sangat disetujui Kakek Seth dan Razita. Namun Adam menolak. Dia sudah bertekad menjaga warisan sang Kakek. Dan lagi kakeknya selalu mengajarkan bahwa selama anggota badan kita masih bisa berfungsi normal, pastikan hidup bukan dari belas kasihan orang lain. Sam sudah mengajari Adam banyak hal. Bagaimana cara berkebun lalu menjual hasil kebun. Pekerjaan sederhana yang bisa membuat Adam dan Kakeknya bertahan hidup selama bertahun-tahun. Adam juga memiliki kemampuan di bidang kerajinan tangan yang sudah lama ingin ia coba jadikan kegiatan bisnis. Ya, dia yakin tidak akan kekurangan. Adam juga berhasil masuk SMA dengan beasiswa penuh. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk urusan sekolah. Terbiasa hidup sederhana membuat Adam tidak takut susah. Dia akan baik-baik saja. Yah, mungkin hanya hatinya yang akan dilanda sepi. Sementara itu Razita malah membuat keluarganya khawatir. Dia tidak mau dijauhkan dari Adam. Bahkan ketika nenek dan orang tuanya memutuskan mengajaknya pulang, dia mengurung diri di kamar Adam menolak pergi. Dan sekarang sudah dua minggu gadis itu bolos sekolah. Kalau dia sampai tidak sekolah lebih lama lagi, bisa-bisa dia tidak naik kelas. “Bagaimana kalau kau ikut ke rumah Kakek saja, Adam?” Seth yang duduk di kursi tunggal seberang Adam, bertanya. Perlahan Adam mengalihkan perhatian dari memperhatikan Razita yang sedang tidur di kursi panjang berbantalkan pahanya. Dia mendongak menatap Kakek Seth. “Berapa kalipun Kakek mengulang pertanyaan itu, jawabanku tetap sama. Aku tidak akan meninggalkan rumah ini.” “Bagaimana kalau Kakek memintanya demi Razita? Dia tidak akan mau pulang kalau kau tidak ikut.” Kembali Adam menunduk menatap wajah tenang Razita yang sedang lelap. Hatinya terasa hangat. “Dua minggu ini aku tidak serius membujuknya pulang karena aku egois, menginginkannya tetap bersamaku. Tapi besok aku janji, Kek. Aku akan membujuk Rara agar bersedia pulang.” Seth mendesah. “Untuk urusan keras kepala, kau sama saja dengan Kakekmu.” Adam hanya tersenyum menanggapi Seth. Meski berat, mau tidak mau dia memang harus membujuk Razita untuk kembali pada keluarganya. Lagipula ini hanya perpisahan sementara. Mereka akan terus bertemu tiap libur sekolah seperti dulu. *** Sejak bangun tidur pagi tadi Razita terus menempel pada Adam karena hari ini dia harus pulang. Kalau menuruti keinginannya, gadis itu sama sekali tidak mau pulang. Tapi Adam berkata bahwa dirinya harus pulang. Jangan sampai keluarga Razita berpikir bahwa Adam adalah pengaruh buruk, hingga keluarga Reeves memutuskan Razita dan Adam tidak boleh bertemu lagi. Kalimat ‘tidak boleh bertemu lagi’ berhasil membuat nyali Razita ciut. Satu tahun tidak bertemu merupakan siksaan baginya, apalagi kalau sampai tidak bertemu lagi. Akhirnya Razita mengalah. “Kak, masak apa?” tanya Razita sambil memeluk Adam dari belakang. Tunangannya itu sedang memasak sarapan sementara Kakek Seth belum terjaga. “Sayang, nanti lengan kamu kecipratan minyak.” Adam tidak menjawab pertanyaan Razita karena lebih khawatir kulit mulus gadis itu lecet karena minyak. “Tidak akan.” Gadis itu memindahkan lengannya hingga berada di balik celemek yang Adam kenakan. Adam terkekeh akan tingkah gadisnya. “Kakak belum jawab, sedang masak apa?” Razita mengulang pertanyaan. “Ikan goreng. Semalam Rara bilang ingin makan ikan goreng, kan?” Razita mengangguk senang. “Hmm, aromanya lezat.” Setelahnya Razita tidak mengganggu Adam lagi dengan pertanyaan. Dia hanya terus menempel, mengikuti gerakan Adam yang sedang berkutat dengan peralatan dapur. “Rara, kau membuat Kak Adam kesulitan bergerak,” tegur Seth yang baru bangun tidur seraya duduk di kursi depan meja makan yang menjadi satu dengan dapur. Memang Seth dan Razita memutuskan tinggal bersama Adam di kediaman Walter. Mereka khawatir meninggalkan Adam yang sedang berduka seorang diri. Seth juga sudah meminta pasangan suami istri yang biasa membersihkan rumahnya untuk menetap. Lebih baik seperti itu agar rumahnya tidak kosong. “Memangnya Rara mengganggu ya, Kak?” Razita bertanya dengan nada manjanya. Adam tersenyum kecil. “Sama sekali tidak.” Seth berdecak. “Adam, jangan terus-menerus memanjakan bocah itu.” “Tidak apa-apa, Kek. Aku juga senang melakukannya.” Ucapan Adam membuat Razita girang. Dia menjulurkan lidah dari samping Adam ke arah sang Kakek karena merasa menang. “Yah, terserah kau saja. Lagipula tidak masalah karena siang ini Razita akan pulang.” “Kakek!” seru Razita kesal. Lengannya semakin erat memeluk Adam. “Memang benar, kan?” sahut Seth tanpa rasa bersalah. “Tidak perlu diingatkan lagi, Kek!” kali ini Razita setengah merengek. “Kak, Rara tidak mau pulang.” “Hanya beberapa bulan, Sayang. Setelah itu Rara datang lagi ke sini,” bujuk Adam. “Kau bukan lelaki sejati, Adam. Seharusnya kau yang menemui Razita, bukannya Razita yang terus datang ke sini.” Hari ini Seth merasa sangat gemas dengan kedua cucunya itu. Dia jadi ingin terus mengganggu mereka. Mendengar ucapan sang Kakek, Razita melepas pelukan lalu memaksa Adam menatapnya. “Kakak saja yang ikut Rara, ya?” “Tidak bisa, Rara.” Adam berkata lembut. “Kenapa tidak?” Razita terus mendesak meski sudah tahu jawabannya. “Kakak tidak bisa meninggalkan tempat ini.” Mereka saling memandang. Yang satu berusaha membujuk dengan tatapannya dan yang lain berusaha meminta pengertian. “Ah, kalian ini!” Seth berdiri, kesal merasa dijadikan penonton drama romantis. “Tidak perlu pamer kemesraan seperti itu. Kakek lebih ahli dari kalian.” Setelahnya lelaki itu keluar dari dapur. Adam dan Razita yang tadi mengikuti arah perginya sang Kakek dengan pandangan, kembali saling menatap. Tampak jelas gadis sembilan tahun itu tidak mengerti dari kerutan di keningnya. “Maksud Kakek apa?” tanya Razita. Adam berusaha menahan senyum. “Tidak tahu juga.” Lalu Adam terbahak yang membuat kening Razita semakin berkerut bingung. ---------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD