Prolog

462 Words
"Beb, gimana kalau kita ... nganu ... i-itu ....," kata Lengoardo. Dia memang seperti itu saat berbicara. Wajah Leong tampan, hidungnya mancung, tetapi sayang, suka anu. Sebagai gadis jelita tiada tara, tentu saja ada sedikit rasa malu di hatiku saat mendengar Leong berbicara. Apalagi saat berinteraksi dengan orang yang baru dikenal, mereka otomatis ternganga. Banyak yang mengira dia adalah laki-laki mesum. Padahal, dia sama sekali tidak seperti itu. Aku berani bertaruh. "Kita ... ngapain, Beb?" "Nganu, tapi aku takut ... kamu marah." Demi Tuhan, punya pacar laki-laki model Leong ini bikin gemas. Belum apa-apa sudah takut aku marah. Di sisi lain, aku justru bahagia karena dengan demikian artinya dia tidak akan berani macam-macam. "Aku nggak marah." Aku mencoba tersenyum dengan sekuat jiwa raga. Tentu supaya si Leong mau bicara jujur. Bukan apa-apa, aku hanya penasaran, apa yang ingin dikatakannya. Biasanya akan bikin aku terpesona karena hal yang diucapkannya selalu di luar dugaan. Iya, dia memang seperti itu. Leong menggigit bibir merahnya, aku menduga dia sedang menata hatinya untuk bicara. Seolah-olah berbicara denganku sama dengan perang melawan teroris. Jadi Leong harus menggunakan jaket anti peluru atau bom. Melihat kekasihku yang masih terus menggigit bibir itu, aku menjadi semakin gemas. Rasanya ingin kubantu dia menggigit. Ah, aku jadi melantur. Kugenggam jemarinya yang sedingin salju. Kutatap pula kedua matanya yang setajam silet baru beli di warung. Saking tajamnya, mungkin bisa dipakai untuk memotong sapi saat Hari Raya Kurban. Ah, sepertinya aku semakin hiperbolis. Bibir itu mulai terbuka. Cicitannya sangat halus. Layaknya sutra impor. Matanya menatapku takut-takut. Lama-lama pacaran dengan Leong sepertinya aku harus memasang alat bantu pendengaran. Pelan banget. Namun, setelah kusuruh ulangi, akhirnya aku bisa mendengar apa maunya. *** Di sini lah kami sekarang. Di sebuah lokasi penuh tumbuhan mawar yang sedang berbunga lebat. Menurut kalian romantis? Sayangnya menurutku tidak. Ya memang, Leong benar-benar berusaha memenuhi keinginanku. Beberapa waktu lalu aku memang mengajaknya pergi ke taman. Dan, baru kali ini dia sempat. Dia juga sudah memberitahuku sebelumnya, lokasi taman ini berada. Mungkin ini salahku. Harusnya kutanya lebih detil tentang taman yang dia maksud. Aku memang terlalu percaya kepada Leong. Leong terlihat malu-malu menatapku. "Kamu senang?" Senyumnya mengembang. Air liurnya hampir menetes. Senang? "Leong, kalau bisa aku mengulang waktu, mungkin aku akan milih nggak kenal kamu. Sumpah ini memang benar-benar kejutan. Aku benar-benar terkejut kalau memang kamu maunya begitu." Leong tampak bingung. Dahinya berkerut. "Bebeb nggak suka?" tanyanya. Ya Tuhan, maksud lo? Dibawa kencan ke tempat seperti ini haruskah kubilang suka? Mimpi apa aku semalam? Sepertinya aku mimpi ketemu Jungkook. Oke, abaikan tentang mimpi! "Leongardo Di Cipirito, sumpah, ya, aku nggak bisa ngomong apa-apa. Kamu benar-benar beda dari yang lain. Sampai-sampai ngajak jalan-jalan cewek ke kuburan. Ckckck!" "Jadi kamu suka?" Matanya melebar. Selebar layar tancap 17-an di keluharan. "Ya, aku suka. Saking sukanya, aku mau kita udahan, ya. Ini udah kejutan paling wow yang pernah kudapat." "Benarkah?" Ya, Tuhan rasanya ingin kutelan dia bulat-bulat! Untungnya mode omnivoraku lagi off. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD