Bab 1: Annaconda, Nyalon, Konspirasi, dan Rabun

1106 Words
Annaconda Kalau kamu pikir jadi cewek cantik tiada tara sepertiku itu menyenangkan, rasanya tidak begitu tepat. Nyatanya, aku nelangsa. Tidak bahagia. "Rose, anak Mami yang jomz sini dong!" "Apa, sih, Mam? Rose mau nyalon dulu." Pokoknya aku tidak mau terus-menerus di-bully gara-gara jadi jomlo. Lagian, ya, mana ada mama yang bully anak sendiri seperti Mami? Sampai sini kalian tahu, kan, jadi gadis cantik tak selalu menyenangkan? Malah cenderung menderita. Mungkin penderitaanku ini setara sama Cinderella yang disiksa ibu tirinya. "Sini dulu bentar, Mami mau kenalin seseorang." Hmmm, mulai lagi. Tahu tidak kalian? Selain hobi merundung anaknya, Mami ini terobsesi jadi comblang. "Duh, siapa lagi, sih, Mam?" tanyaku malas. "Keluar aja dulu dari kamar, Sayang!" Dengarlah itu, bujukannya semanis madu. "Yaaa." Malas sekali rasanya menuruti kemauan Mami. Asal kalian tahu, ini udah kesekian kalinya Mami menjebak aku untuk dekat-dekat dengan laki-laki aneh. Kalau sudah begini rasanya inginku berkata kasar. Dengan langkah loyo layaknya bihun yang disiram air panas, aku membuka pintu kamar. Dengan langkah anggun bak putri, kakiku menapaki anak-anak tangga untuk turun. Lalu, mataku menangkap sesosok tubuh asing. Sejenak, duniaku seperti berhenti berputar. Mata sipit itu menatapku dengan sayu. Ah, aku tak suka laki-laki bermata sipit. Mami terlihat melebarkan senyum iblisnya. "Nah, akhirnya Rose kita sudah muncul." "Di-di-dia cantik sekali, Tan. Sa-saya a-anu...." Suara bas itu terdengar lucu di kupingku. "Oh, iya, dong. Anak Tante pasti cantik." Mami semakin melebarkan senyum. "Ha-halo, Can-Cantik," sapa laki-laki itu. Tangannya terulur ke arahku. Matanya semakin sipit di balik lensa kacamata, saat tersenyum. Lumayan. "Halo." Kuulurkan tangan dan segera meremas dengan kencang tangan itu. Rasakan! Dia pasti kapok setelah ini. Aku lihat dia meringis. Gigi-giginya tampak. Termasuk benda berwarna merah yang menempel di salah satunya. Mungkin dia baru saja makan cabai. Yang jelas, ketampanannya terempas begitu saja. "Nah, ini namanya Leongardo Di Cipirito." "What?" Nama macam apa itu? Ah, entahlah. Mungkin dunia ini memang sudah edan. Aku hanya mengangguk enggan. "Ka-kamu pasti anu, ya? Itu. Terpesona." "Terserah!" Terpesona katanya? Yang ada aku ingin menelannya bulat-bulat. Mirip Anaconda. Puas? *** Nyalon Kalau kalian membayangkan aku nyalon ditunggui cowok, kalian salah. Ini kebalikannya. Aku yang justru sampai mengiler karena si Leong masih asyik dibersihkan wajahnya. "Kak, ngantuk, ya?" tanya seorang pegawai. Aku menyipit, menoleh ke arahnya. Gadis berambut semerah warna lipstik Mami itu duduk kursi sebelahku. Sepertinya gadis itu yang tadi memotong rambutku. Ah, bener, aku ingat warna rambutnya yang menyala itu. Jangan-jangan dia minta tip. "Iya, ngantuk, nih. Abis tempatnya nyaman." Aku berdusta. Sumpah. Demi apa? Demi mengindari dimintai tip olehnya. "Cowoknya rajin facial, Kak?" selidiknya. Bodoh. "Oh, iya. Dia memang rajin facial. Biar ganteng." "Segitu kurang ganteng, Kak?" tanyanya. "Di dunia ini buat saya yang ganteng cuma Jungkook. Cowok lain lewat." Gadis di sampingku ini pasti belum melihat rahasia apa di balik mulut laki-laki yang sedang terbaring di kamar sempit itu. "Dia mirip Jungkook juga, sama-sama sipit." "Ih, jauuuh! Saya nggak terima. Enak aja." "Ke-kenapa?" Tiba-tiba terdengar suara makhluk itu dari arah belakangku. Wajahnya terpantul di dalam cermin besar itu. Dan, apa yang kulihat ini semacam hiperbolis. Wajah itu bersih bersinar layaknya cucian piring yang kena Sanlait. Ada semacam bintang-bintang terang yang menyilaukan mataku. Ah, luar biasa! "Ah, enggak. Kamu, kok, ganteng banget." Aku keceplosan, Pemirsa. Sampai-sampai kusumpal mulut jahanam ini menggunakan rambutku. "A-aku tau, kok, Rose. Ta-tapi te-terima kasih untuk a-anunya," jawabnya. "U-untuk pujian kamu." Ah, untung saja dia segera menjelaskan tentang maksud anunya. Kalau tidak, pasti gadis pegawai itu bakal mikir yang tidak-tidak. Apa kata dunia? "Itu kenyataan, kok. Yuk, pulang!" Aku menentengnya untuk segera ke kasir. Kalian pasti bakal mengataiku materialistis! "Duh, dom-dompetku... anu. Ketinggalan." Leongardo menatapku takut-takut. Boleh tidak aku membunuh seseorang? "Jadi?" Dia menggaruk kepalanya keras-keras. "Mi-minta tolong ka-kamu anuin du-dulu." "Bayarin?" Dia mengangguk berulang-ulang. "Iya." *** Konspirasi "Gimana-gimana nyalonnya?" tanya Mami. Dia pasti tak menyangka bahwa pria pilihannya itu sudah menjelma menjadi lintah. Lintah yang melekat dan mengisap darah korbannya tanpa ampun. Ya, analoginya pas, bukan? "Ambyar!" "Kenapa memangnya? Dia jadi rebutan?" tanya Mami lagi dengan PD-nya. Jangankan rebutan, dikasih juga kurasa ogah. Siapa yang mau sama cowok tukang anu dan pengetet? Aku, sih, no. "Tanya aja sendiri sama orangnya, Mam!" Aku mengentak keras sebelum berlalu. "Eh, mau ke mana kamu, Rose?" "Mau ke kamar, Mam. Mau tidur. Bye!" Belum lagi kakiku menginjak anak tangga, tangan Mami sudah bertengger di kupingku. Astaga. Ini KDRT, Pemirsa! "Eh, nggak sopan! Duduk dulu di sini!" Mami menarik kupingku keras-keras. Ya, Tuhan, mimpi apa aku semalam? Aku kembali duduk di kursi ruang tamu. "Apaan, sih, Mam? Rose udah nurutin kemauan Mami, 'kan? Masih kurangkah?" Aku berkata seolah-olah sangat menderita. Sayangnya Mami tak peduli dengan anak semata sapi ini. Dia malah sibuk mengukir senyum palsu kepada Leong alias Si Tukang Anu. Benar-benar tidak punya perikeanakan dan perikeadilan sosial bagi seluruh bangsa. Lalu, mereka terkikik bersama, entah apa yang lucu. Tadi katanya aku disuruh duduk di sana. Tapi, mereka malah asyik ketawa-ketawi. "Kamu tenang aja, Rose pasti nggak nolak." What? "Be-benar, Tan? Wah, sa-saya senang. Akhirnya saya dan Rose bisa segera a-anu." Apa coba maksud mereka? Apa ini yang disebut konspirasi? Bahkan, bumi pun mendadak terasa datar. Ini pasti efek dari konspirasi mereka. *** Rabun Pagi-pagi sekali Mami sudah menepuk-nepuk pantatku. Pasti Leong sudah datang menjemput. Pasti sebentar lagi Mami bakal berubah jadi Mamah Dedek. Curhat, dong, Ma! "Jam berapa ini, Rose, anak Mami tersayang?" Tak lupa tangan lentik Mami menarik kupingku. Sumpah, demi apa pun, ini sudah KDRT. Dengan segera aku membuka mata. "Iya." Sebelum kupingku makin sakit atau malah melepuh, mending kuputuskan untuk segera turun dari ranjang. Mami memasang wajah jengkel khas emak-emak. "Lima menit nggak turun Mami kunciin!" Eh buset! Lima menit mandi apaan itu? Dikira aku kucing kali, ya, Mam? Terlalu! "Mam, Rose bukan kucing kali, enak aja!" "Udah nggak usah kebanyakan alasan!" "Mami tau, apa yang Mami lakukan jahap!" Aku membanting pintu kamar mandi. "Lima menit atau pintu kamar terkunci!" "Maaam!" Mami biasanya tak pernah main-main. "Udah semenit berlalu, ya, 4 menit lagi!" "Astagaaa!" Segera kucuci muka dengan segayung air. Aku yakin Mami di luar sedang memonitori jam di tangannya. Untuk itu, semua kulakukan dengan kilat. Bahkan, gosok gigi pun hanya beberapa detik. Semua demi terhindar dari dikunci di kamar. Benar, saat aku keluar dari kamar mandi, Mami masih di kamarku. Menghadap ke jam dinding bergambar mawar yang menempel di tembok. Lirikannya begitu tajam. Segera kucari baju terdekat dari posisiku. Pakai baju kilat. Menyisir rambut pun sama. Alhasil, Rose yang biasa tampil bak Cinderella, kini tak ubahnya Upik Abu. Kumal. Aku berlari mengekor Mami. Takut tangannya lebih gesit dari kakiku. Suram. "Cepat, Leong udah ganteng banget di bawah." Lalu, saat mataku menemukan sosok itu, perut ini mendadak mual. Ganteng? Kurasa Mami mulai rabun sekarang ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD