Bab 2: Jangan Baca Pas Lagi Makan!

1158 Words
Anu Kalau kalian pikir Leong itu seganteng Aliando atau sekeren Verel, fix salah. Tak ada seujung kuku mereka pun. Ah, intinya, Leong di mataku jauh dari kata layak pandang. Leong datang mengenakan jaket kulit. "Se-selamat pa-pagi, Rose. Kamu can-cantik." Dia menyambutku bak putri raja. Rambutnya yang selicin kulit Jisoo itu tampak mengilat tertimpa cahaya dari luar. Menyilaukan. Bagitu pun semerbak aroma parfumnya yang entah terbuat dari ekstrak tumbuhan apa, menusuk-nusuk hidung saking tak enaknya. Tak cukup sampai situ, deretan giginya yang biasanya berhiaskan kulit cabai, kini terang benderang, bersih sempurna. "Terima kasih pujian palsunya, Leong." Dikiranya aku tidak sadar diri apa? Dia dan Mami melotot mendengar jawabanku. "Heh!" "Apa, sih, Mam? Dia lagi belajar gombal." Mana mungkin penampilan begini dibilang cantik kalau bicara jujur? Kayak anak ayam yang terpisah dari induknya di derasnya hujan, baru bener. "Setidaknya hargai usahanya menyenangkanmu!" "Siapa yang minta, Mam? Rose lebih suka cowok jujur. Udah, ah, Rose berangkat!" Aku segera meninggalkan ruang tamu dan bergegas memakai sepatu di teras. "Tu-tunggu aku! Kamu u-udah diper-percayakan Tante Li-Lisa ke a-aku untuk di-a-anu. Di-dija-jaga!" teriak Leong sambil terbata-bata. "Hiiih, capek tau dengerin kamu anu-anu!" "Ma-maaf." Dia menunduk, kemudian segera menuju mobil. Menghidupkan mesin lalu membukakan pintu penumpang dari dalam. Sama sekali tidak romantis. "Baik-baik kamu jalan sama Leong, ya." "Terserah!" Aku menepis tangan Mami yang mengelus rambut kusut akibat menyisir dengan kilat tadi. Sumpah, bakal kuajak Leong ke salon lagi kali ini. Hitung-hitung membayar hutannya tempo hari. Dengan malas, kunaikkan tubuh seksi ini ke mobil, duduk cantik di samping Leong. Mungkin, bagi mereka yang lihat, kami ini serasi. Tapi, buatku, itu tidak sama sekali. Aku tidak menemukan sesuatu yang spesial kecuali tentang 'anu'. Semua serba anu. Bisa-bisa, dia bakal dikira m***m. Lalu, aku juga akan terbawa. Suram! "Rose, ka-kamu per-pernah a-anu belum?" "Hah?" Anu? *** Diare Perutku rasanya seperti ada konser dangdut. Kulirik Leong yang masih fokus ke jalanan. "Ke-kenapa?" "Hah?" Kaget aku karena tiba-tiba dia bertanya. "Ka-kamu da-dari ta-tadi ngelirik a-aku." Eh, buset! Dia peka banget ternyata." Aku garuk-garuk kepala karena malu ketahuan. "Aku lapar, Leong. Boleh cari makan dulu?" Aku mengatakan itu dengan halus. "A-apa yang nggak bu-buat ka-kamu, Rose?" Harusnya kalimat itu manis, tapi berhubung yang ngomong Leong, rasanya sedikit asam cenderung pahit. Mungkin kalian akan mengecapku sebagai cewek sok. Ya, memang, aku sok jaim. Leong segera awas memperhatikan pinggir jalan. Mungkin mencari tempat makan. Sesekali kacamatanya dibenahi dengan tangan kiri. Aku yang memang sudah sangat lapar, sedikit tak sabar. Apalagi saat melihat ada tukang bubur ayam di depan sana. Aku langsung mencolek Leong. "Stop!" Leong refleks menginjak rem. Hal itu mengakibatkan suara klakson di luar sana bersahutan. Mungkin kesal dengan kelakuan kami. "Ada apa? Kamu kenapa nyolek aku?" tanya Leong dengan lancar. Wajahnya memerah, mungkin kaget. Ia juga menoleh ke luar dan meminta maaf ke pengendara lain dengan menurunkan kaca mobil dan menangkupkan kedua telapak tangannya. Aku jadi kasihan. Aku harusnya tak membuat ia kaget seperti ini. Akan tetapi, semua sudah telanjur. Jadi, lanjut saja makan! Aku menunjuk tukang bubur setelah Leong selesai meminta maaf. Wajahku memelas. Meminta dikasihani. Perut ini benar-benar sudah tak dapat diajak kompromi. Leong tersenyum dan mengajakku turun. "Kamu nggak marah, 'kan sama aku?" "A-aku nggak ma-marah, kok. A-aku paham." Dia menggenggam tanganku seolah-olah ingin memberitahu bahwa ia benar-benar tak marah. Ah, ternyata Leong benar-benar manis. "Kamu mau makan juga nggak, Leong?" "A-aku nggak su-suka bubur ayam, Rose." Aku meneleng. Kasihan sekali. Aku makin merasa bersalah. Akan tetapi, perutku sudah meronta dengan ganasnya. Meminta jatah. Untuk pertama kali, Leong terlihat gentle. Apakah aku akan mulai naksir dia setelah ini? Entah. Tapi, kurasa boleh dipertimbangkan. "Kenapa?" Dia hanya menggeleng. Kemudian, membuang pandangan. Seperti menyembunyikan sesuatu. Dia juga menarik lagi tangannya yang tadi menggenggam jemariku. Aneh. Dia seperti punya kenangan buruk. "Aku pernah diare setelah makan bubur." Demi apa dia ngomong begitu dengan lancar? "Nggak bisa, ya, ngomongnya nanti aja? *** Heran Setelah insiden di tempat bubur tadi, aku tak ingin lagi mendengarnya bicara. Bagaimana tidak, dia membuat aku mual di saat perut benar-benar minta diisi. "Rose, ka-kamu ma-marah sa-sama aku?" "Nggak." Malas. "Te-terus ke-kenapa ka-kamu di-diem be-begitu?" "Aku males denger kamu ngomong, Leong!" "Ke-kenapa?" "Pake nanya. Sumpah, ya, dekat orang kayak kamu, hidupku rasanya sial banget." Aku menggeleng tak mengerti. Kok ada orang seperti dia? Aku tak tahu apakah kalimat itu membuatnya tersinggung atau sejenisnya. Leong terlihat diam. Matanya lurus. Sesekali tangan kirinya membetulkan letak kacamata yang bertengger di hidung mancung itu. "Aku nggak paham apa yang bikin kamu sekesel ini sama aku," gumamnya. "Mohon maaf, Pak, pas pembagian otak nggak datang, ya?" tanyaku sinis. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan semua sikap anehnya. Benar-benar bikin kesal. Laki-laki begini yang disukai Mami? Kalau dipikir-pikir, untuk apa Mami begitu ingin aku punya pacar? Padahal, aku sedang sibuk bimbingan demi menyandang gelar sarjana. Apa menurutnya mencarikan aku pacar itu lebih penting ketimbang membiarkanku fokus ke skripsi? "Rose, aku tau aku nggak pinter. Tapi, aku tau kamu bicara kasar ke aku barusan." Dia lancar sekali bicara. Aku melihat wajahnya mengeras. Dia marah? Ah, aku jadi sedikit tidak enak. Aku memainkan jemari. Rasanya jalanan panjang sekali di depan sana. Sementara, aura di sekitarku sangat tak kondusif. "Leong, sebenarnya kamu siapa, sih?" "A-aku cu-cuma co-cowok bodoh, Rose." Deg! Apa dia benar-benar tersinggung? Aku masih terus memperhatikannya. Dia begitu tenang dalam berkendara. "Maaf, kalau aku ngomong kasar tadi, Leong." "Lu-lupain!" Sedatar itu dia menjawab. Matanya juga tetap terarah ke jalanan. Seperti tidak ingin menoleh barang sedetik ke arahku. Apa sedalam itu aku melukai hatinya? Mobil masuk ke gerbang universitas. "Aku stop di sini aja, Leong. Makasih, ya." Aku menyuruhnya berhenti, tapi rupanya dia tidak menurut. Mobil terus melaju. "Silakan." "Makasih, harusnya nggak usah sampai sini. Aku bisa jalan sendiri, kok." Aku melepas seat belt. Lalu turun setelah bilang untuk tidak usah menjemputku. Dia mengangguk, tetapi tak segera pergi. "Aku nggak akan jemput karena mau tunggu." "Hah?" Entah ini anugerah atau kutukan, yang jelas, aku dibuat geleng-geleng heran. "Ya, Rose, aku akan tunggu kamu di sini." Dia kembali berbicara lancar dan karismatik. Demi apa aku sampai tak berkedip mendengarnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD