Grace dalam hati bertanya-tanya ke mana Derent kemarin malam tapi wanita muda tersebut hanya menyimpan pertanyaan tersebut di dalam hatinya tanpa berani menanyakannya pada Derent atau siapapun yang dia kenal di dalam kediaman megah, dingin tersebut.
Suasana kediaman Derent memang sangat dingin mencekam, meja ruang makan yang hampir setiap hari kosong. Grace hanya membersihkan debunya dari hari ke hari. Nely dan Joly selalu makan di asrama sekolah, dua bersaudara tersebut kembali ke kediaman ketika hari menjelang petang. Memilih pulang pergi dari asrama lantaran berharap menemukan keberadaan Evrina Marloy di dalam bangunan dingin tersebut. Sosok ibunya bagaikan rembulan yang terus bersinar namun tetap tinggal dalam peredarannya sendiri. Mustahil bagi mereka untuk meraih atau sekedar membawanya turun sejenak ke bumi. Nely dan Joly juga kesepian, hal yang sama tak jauh berbeda dirasakan oleh Derent Jake.
Grace masih mematung berdiri di ruang makan, tidak ada nyala lilin di sana sudah lama sekali semenjak Evrina berpamitan pada Derent dan kedua putrinya kalau dia akan pergi ke Sidney. Seingat dia itulah waktu terakhir kali meja makan tersebut dihiasi canda tawa. Tidak tahu sudah berapa lama, Grace tidak bisa menghitung harus berapa lama lagi Derent terpaksa menunggu kehangatan dari istrinya. Grace melihat bibir Derent belakangan ini sering tersenyum seorang diri, raut wajah yang familiar dia lihat saat awal-awal Derent menikah dengan Evrina. Derent tidak membutuhkan apa-apa lagi, biasanya pria itu memintanya untuk membawakan minuman hangat ke lantai atas ke dalam kamarnya tapi tidak lagi sudah beberapa hari ini. Grace melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Kalaupun Derent memiliki wanita lain di luar sana, Grace juga tidak akan menyalahkan tindakan pelanggaran tersebut. Dia sendiri merasa iba melihat Derent termenung dalam sepi entah berapa lama dalam penantiannya menunggu kehadiran permata hatinya. Tetap tinggal dengan rasa rindu dalam bisu. Grace bisa merasakan betapa kesepian majikannya tersebut selama ini.
“Apapun pilihan itu, aku tidak akan pernah menyalahkan Tuan Derent, takkan pernah. Aku ikut bahagia melihat senyum itu kembali lagi, walau hadir dalam penantian sebuah badai dalam mahligai.” Bisik Grace seraya menarik selimutnya.
Keesokan harinya..
Derent sedang bersiap untuk pergi ke hotel. Grace berdiri di belakang punggungnya membawa jas serta perlengkapan lainnya untuk di pakai oleh majikannya tersebut.
“Apa Evrina sudah menelepon ke rumah beberapa hari ini?” Tanya Derent seraya mengambil dasi dari tangan Grace.
“Tidak ada telepon sama sekali, Tuan.” Berikutnya dia membantu Derent mengenakan jasnya serta membantu membetulkan letak dasi pria tersebut. “Apa Tuan ingin sarapan di rumah?” Tanyanya sambil menyiapkan satu pasang sepatu warna senada dengan jas yang dikenakan oleh Derent. Grace sudah duduk bersimpuh menunggu Derent duduk di kursi untuk memakaikannya.
“Tidak perlu, aku sudah terbiasa sarapan di hotel.” Derent duduk di tepi tempat tidurnya, dia membiarkan Grace memakaikan sepatu pada kedua kakinya. Pria itu segera berdiri, membawa tas kerjanya turun ke lantai bawah.
Grace masih tinggal di dalam kamar untuk mengganti seprei serta gorden. Derent meminta dia untuk menggantinya dengan warna lain setiap tiga hari sekali. Kamar Derent juga harus dalam keadaan bersih dan rapi. Derent tidak suka melihat setitik debu tertinggal di sana. Kamar yang luas, ada jendela besar di sisi diding. Dua rak buku di sisi yang lain, berjajar rapi. Ruangan kerja Derent berpindah dari lantai bawah ke lantai atas. Menjadi satu dalam kamar tidur tersebut sejak Evrina hampir tidak pernah kembali ke dalam kediamannya tersebut. Grace sudah mengganti gorden serta seprei di dalam kamar itu lalu membawanya turun untuk dicuci.
Derent sudah meluncur bersama mobilnya menuju ke hotel Larosse. Pria itu sekali lagi harus melewati pintu lain untuk masuk ke dalam ruangan kerjanya. Helena sudah berdiri di luar pintu ruangan kerja Derent, melihat Derent muncul dari arah berbeda membuat Helena bertanya-tanya dalam hatinya. Dan dia tahu itu ada hubungannya dengan Erlin Joe yang pagi ini sudah berdiri di belakang meja resepsionis.
“Kamu membawa berkas yang aku minta?” Tanya pria itu seraya melangkah masuk ke dalam ruangan kerjanya.
“Sudah Tuan, ini berkas yang Anda minta.” Helena meletakkan map tersebut di atas meja kerjanya.
“Ah, aku ada satu hal yang harus kamu lakukan pagi ini. Ini tentang pekerja paruh waktu bernama Erlin Joe. Ambil dia sebagai karyawan tetap di sini.” Ucapnya seraya membuka lembaran berkas di atas mejanya.
Helena bertanya-tanya tentang posisi sekretaris yang awal dikatakan oleh Derent padanya jadi dia mencoba mengatakan itu pada atasannya tersebut. “Sekretaris?” Cetus Helena padanya. Dia menunggu dengan menahan napas membungkuk menatap ekspresi wajah Derent Jake, dalam hati Helena merasa cemas jika pria itu meledak marah padanya.
“Sekretaris?” Derent balik bertanya, pria itu nampak sedang berpikir sejenak. Dia mencoba mengingat apa yang pernah dia katakan pada Helena soal posisi itu.
“Iya, Tuan.”
“Lupakan saja, biar saja dia tetap berada di belakang meja resepsionis. Apa menurutmu dia cocok duduk di meja itu?” Tunjuk Derent pada meja kosong di dalam ruangan kerjanya. “Aku bertanya-tanya apa Evrina akan mengusir sekretarisku lagi jika aku memberikan tempat pada wanita itu di dalam ruangan kerjaku seperti sebelumnya.”
“Kalau begitu, sebaiknya tidak Tuan. Biarkan saja tetap kosong seperti itu.” Helena segera undur diri dari dalam ruangan kerja Derent Jake.
Helena masih ingat betapa marahnya Evrina beberapa tahun lalu, Helena tahu tidak ada kesalahan yang terjadi antara Derent dan sekretarisnya tersebut. Tapi Evrina tetap saja marah dan mengatakan kalau Derent harus mengusir sekretarisnya itu keluar dari dalam ruangan kerjanya hanya dengan satu alasan yaitu Evrina tidak suka Derent tinggal di dalam satu ruangan dengan wanita lain sementara dirinya sibuk mengurus karirnya.
Saat ini bayangan Evrina menghilang dari dalam ingatan Helena lantaran kedua matanya tertuju pada sosok gadis polos Erlin Joe, gadis itu sedang berjalan menuju ke arahnya. Selepas keluar dari dalam ruangan kerja Derent Jake dia memanggil Erlin melalui telepon di atas meja kerjanya untuk segera datang ke dalam ruangan pribadinya di lantai atas. Belum sampai Erlin mengetuk pintu ruangan pribadinya,
“Masuklah.” Perintah Helena padanya. Helena sedang menghenyakkan tubuhnya di kursi meja kerjanya.
Tatapan mata Erlin tertuju pada sosok wanita paruh baya, beberapa garis keriput menghias wajah Helena. Entah sudah berapa lama wanita pemilik rambut cokelat keemasan dengan sanggul rapi tersebut tinggal di hotel Larosse. Erlin tahu kedudukan Helena terhitung tinggi, kemungkinan besar kedudukannya berada tepat di bawah pemilik hotel di mana tempat dia bekerja saat ini.
“Madam memanggil saya?” Tanya Erlin dengan kepala tertunduk.
“Duduklah.” Sahut wanita itu dengan nada santai lalu menyodorkan berkas yang harus Erlin tanda tangani. “Untukmu, langsung dari Presdir Larosse.”
Erlin menatap berkas tersebut, wanita itu menghela napas dalam-dalam sebelum membaca isinya.
“Apa kamu berencana menempati kursi sekretaris?” Bisik Helena padanya, tentu saja wanita itu cemas jika ada orang ke tiga yang mendengar pembicaraan antara mereka berdua.
Tenggorokan Erlin tercekat begitu mendengar wanita itu menyebutkan posisi dalam pertanyaannya. Ini baru pertama kali dia berbicara secara langsung dengan Helena, mendapatkan telepon langsung dari Helena pagi ini Erlin malah cemas kalau dia akan dipecat. Erlin mengangkat wajahnya lalu menggeleng cepat.
“Ya sudah, lanjutkan itu.” Helena mengambil cangkir tehnya lalu menghirup isinya seraya menunjuk pada berkas di atas meja yang kini berada tepat di depan wajah Erlin Joe.
Erlin mengangguk cepat, dia membaca beberapa uraian tentang poin-poin peraturan di dalam hotel Larosse selama dia bekerja di sana. Erlin masih tidak mengerti maksud dari isi berkas tersebut. Helena tampak mengernyitkan keningnya, sudah dua puluh menit Erlin tinggal di dalam ruangan pribadinya tapi belum juga mengambil bolpoin untuk memberikan tandatangannya.
“Kamu rumit sekali.” Cetus Helena sambil menggelengkan kepala. “Apa kamu berencana menghabiskan jam shift kerja di dalam ruangan pribadiku, aku tahu ruanganku ini cukup nyaman ber-ac dan tentunya kamu tidak perlu berdiri sepanjang hari di belakang meja resepsionis.”
Erlin segera mengangkat berkas itu di depan wajahnya sendiri. “Madam, bolehkah saya membawa berkas ini pulang ke rumah? Saya tidak bisa mempelajari poin-poin sebanyak ini dalam waktu lima menit.” Ucapnya dengan tatapan polos berharap Helena bersedia berbelas kasih padanya.
“Okay, bawa saja. Berikan padaku besok setelah kamu menandatanganinya.” Helena melambaikan tangannya, dia mengijinkan Erlin meninggalkan ruangan pribadinya. “Em, Madam? Haruskah saya mengganti dua puluh menit di sini, dengan lembur?” Tanyanya lagi sebelum keluar dari dalam ruangan tersebut.
“Terserah padamu saja.” Helena meringis dengan terpaksa, dia tidak mengerti bagaimana cara Derent Jake bisa terlibat dengan gadis polos serba lambat seperti Erlin Joe.
Dari sekian karyawan di hotel, Helena melihat Erlin yang paling lambat dalam masalah belajar. Erlin juga tidak terlalu supel. Kinerja gadis itu terhitung standar di mata Helena. Selama bisa mematuhi peraturan dan tidak berbuat kesalahan fatal maka dia bisa tetap bekerja di dalam hotel tersebut.
Erlin memeluk berkas tersebut, wanita itu tersenyum sambil berjalan melewati depan ruangan kerja Derent. Derent bisa melihat betapa cerah dan riangnya wajah kekasihnya saat ini dari dalam ruangan kerjanya yang hanya berlapis dinding kaca satu arah tersebut. Tapi tiba-tiba Derent tercengang kenapa berkas yang seharusnya ditandatangani lalu berada di atas meja kerja Derent detik ini, malah tinggal di dalam pelukan Erlin.
Derent sangat tidak sabar, jadi dia memutuskan untuk menghubungi Helena melalui telepon di atas meja kerjanya.
“Helenaaaaa!”
Hanya dalam hitungan detik wanita itu sudah berdiri di seberang meja kerja Derent Jake. Derent menggaruk pelipisnya menggunakan ujung bolpoin dalam genggaman tangannya. Helena berdiri dengan wajah menunduk tanpa tahu kesalahan apa yang sudah dia lakukan.
“Mana berkas yang aku inginkan?”
“Itu, karyawan paruh waktu yang Anda mau, dia ingin membawanya pulang ke rumah. Apakah Anda bersedia mendengarkan penjelasan dari saya, Tuan?” Tanyanya dengan wajah penuh kecemasan.
“Okay, jelaskan padaku.” Derent mulai mendengarkan cerita dari Helena. Dan pria itu berakhir tertawa terpingkal-pingkal.
Helena keluar dengan selembar cek senilai lima ratus dolar, wanita tersenyum sambil menciumi kertas tersebut. Helena mencoba mengingat, dia sendiri merasa bingung kenapa Derent sangat menyukai cerita yang dia rasa sumbang untuk diceritakan pada atasannya tersebut.
“Hahhahaha! Dasar! Erlin Joe! Hariku selalu penuh kejutan sejak bertemu denganmu.” Derent mengambil cangkir kopi miliknya lalu meneguknya perlahan. Pria itu masih mengembangkan senyum pada bibir tipisnya.
Erlin memasukkan berkas itu ke dalam tasnya di loker karyawan, lalu kembali ke meja resepsionis. Mendadak ponselnya bergetar, dia merogoh sakunya dan melihat nama Mr. D di sana. “Maaf aku harus mengabaikanmu lagi, aku baru saja meninggalkan meja resepsionis selama dua puluh menit. Jika aku menerima panggilan darimu maka aku harus menambah jam kerja lembur.” Ucapnya seraya menepuk ponsel tersebut dari luar saku bajunya.
“Ah, kenapa dia tidak menerima panggilanku lagi. Aku ingin sekali mendengar suaranya.” Gumam Derent sambil melemparkan ponselnya kembali ke atas meja kerjanya. Baru saja tiba di meja resepsionis, telepon di atas meja berdering nyaring.
“Angkat teleponnya.” Perintah rekan kerjanya yang pagi ini ikut berjaga di sana. Tentu saja Erlin langsung mengangkat telepon tersebut tanpa ragu sama sekali.
“Hotel Larosse selamat pagi, dengan Erlin Joe di sini. Ada yang bisa saya bantu?”
Derent menggigit bibirnya sendiri mendengar nada merdu dari sosok Erlin di seberang sana. Entah betapa membuncah perasaan dalam hatinya saat ini, dia sendiri sulit sekali untuk mengungkapkannya.
“Halo? Ada yang bisa saya bantu?”
Erlin menatap rekan kerja di sebelahnya.
“Bagaimana?” Tanya Enjel Marley padanya. Erlin hanya bisa mengangkat kedua bahunya. Erlin berniat mengulurkan gagang telepon pada Enjel, mungkin orang di seberang sana ingin mendengar pegawai lama berbicara dengannya. Bukan pegawai baru seperti dirinya.
“Maaf, Tuan, Nyonya, saya akan menyerahkan teleponnya pada pegawai lama di sini, mungkin Anda ingin dilayani dengan lebih baik.” Tuturnya dengan nada ramah pada penelepon di seberang sana.
Mendengar kalau telepon akan dialihkan, Derent segera membuka suara.
“Tidak, jangan!”
“Mr?!” Bentak Erlin padanya.
Nada lembut yang tadinya terdengar berubah seratus delapan puluh derajat menjadi nada kasar.
“Iya ini aku, kenapa nada suaramu mendadak berubah menjadi preman jalanan?” Protes Derent padanya.
“Mr, please aku sedang bekerja, kamu tahu aku tadi sudah meninggalkan meja resepsionis, dan aku harus lembur untuk mengganti jam lagi, dan saat ini kamu meneleponku. Ini tempat kerjaku Mr, jangan mempersulitku okay? Aku akan tutup teleponnya, karena telepon darimu bisa saja orang lain membatalkan cek in di luar sana karena telepon hotel sibuk.”
“Ah, aku ingin sekali menyumbat bibirmu yang sedang mengomel..tuttt! Hah? Astaga, dia sungguh-sungguh menutup panggilan dariku! Aku pemilik hotelnya!” Ujar Derent dengan sangat gemas. Pria itu kembali menghubungi telepon di atas meja resepsionis. Entah kenapa mengganggu pacarnya adalah hal yang sangat menarik dibandingkan memeriksa berkas laporan keuangan di atas meja kerjanya.
“Tliittt!” Erlin mengusap keningnya, dia menatap telepon tersebut lalu menoleh ke arah Enjel.
“Angkat.” Enjel melotot padanya, karena Enjel sibuk melayani tamu yang baru datang untuk cek ini hari ini.
“Okay, aku akan mengangkatnya. Dan jangan salahkan aku jika yang menelepon pria itu lagi.” Gumamnya dengan suara pelan.
“Hotel Larosse, selamat pagi.. dengan Erlin Joe di sini, ada yang bisa saya bantu?”
“Jangan tutup telepon dariku, atau aku akan datang ke meja resepsionis untuk cek in kita berdua?”
“Mr..... please..” Nada suara merajuk mulai terdengar di seberang sana.
Derent bisa mendengar Erlin hampir menangis gara-gara ulah jahilnya.
“Traktir aku makan siang bersama?” Pinta Derent padanya.
“Mr, aku harus lembur satu jam hari ini, jadi pukul tiga sore baru bisa keluar dari hotel.”
“Ah, aku harus kelaparan lagi,” keluh Derent padanya.
“Dua puluh dolar untuk makan siangmu! Tuttt!” Setelah menutup telepon, Erlin meletakkan keningnya di atas meja resepsionis. Erlin membuka ponselnya dan mengirimkan uang dua puluh dolar pada akun Derent Jake melalui situs online yang dia gunakan untuk mentransfer dana sewa jasa Derent pertama kali.
Derent kembali tertawa terpingkal-pingkal melihat uang senilai dua puluh dolar masuk ke dalam rekening di dalam situs online miliknya.
Beberapa jam berlalu, akhirnya pekerjaan Erlin di belakang meja resepsionis sudah selesai.
“Hei? Kamu sakit?” Tegur Enjel padanya seraya melambaikan tangan kanannya di depan wajah Erlin yang masih tergeletak di atas meja resepsionis. Enjel menyodorkan sepotong kue basah untuk Erlin, agar Erlin memakannya. Ini sudah jadwal makan siang mereka berdua.
“Hm, aku tidak setuju dengan pendapatmu. Kamu bilang pacaran menyenangkan?” Erlin menerima kue tersebut, lalu melangkah keluar dari meja resepsionis.
Dua wanita muda itu sedang tertawa bersama. Mereka akan digantikan oleh shift selanjutnya, hanya saja Erlin tidak bisa pulang karena harus lembur selama satu jam untuk mengganti jam kerjanya kembali.