Ch-10

1509 Words
Erlin dan Enjel menuju ruangan loker karyawan, keduanya membuka loker masing-masing untuk mengambil baju ganti di sana. “Kamu akan langsung pulang?” Erlin menatap Enjel dengan tatapan cemburu lantaran dirinya harus lembur lagi akibat terlalu lama tinggal di dalam ruangan Helena pagi ini. “Ya, aku harus pulang Erlin. Pacarku tidak akan sabar menunggu terlalu lama.” Enjel tersenyum sambil menepuk bahu sahabatnya tersebut. “Tunggu En, em kamu jadi pindah kerja dari hotel ke perusahaan? Aku sepertinya tidak bisa pindah, aku mendapatkan tawaran untuk menjadi karyawan tetap di sini.” Aku-nya pada Enjel dengan tatapan tidak nyaman. Enjel yang lebih dulu menjadi karyawan di hotel tersebut tapi Erlin yang malah mendapatkan tawaran. “Waow? Kamu punya kenalan lain di hotel ini selain diriku?” Enjel menatap sahabatnya tersebut dengan tatapan penuh selidik. “Sama sekali tidak!” Sahut Erlin cepat, wajah Erlin mendadak berubah pucat dan tegang. Kini dia tahu begitu berkuasanya seorang Mr. D. Erlin tahu betul semua tawaran serta keringanan yang dia dapatkan semenjak mengenal pria tersebut bukanlah sebuah kebetulan. Biasanya seorang pegawai biasa di sana pasti mendapatkan peringatan jika terlambat datang di jam shift-nya. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk dirinya. Erlin tidak bisa mengatakan tentang hubungannya dengan Mr. D kepada Enjel, dia bisa melihat bagaimana selama ini Derent menjaga privasinya bahkan tidak memperhitungkan berapa uang yang sudah pria itu keluarkan hanya sekedar untuk bertemu empat mata dengan dirinya tanpa sepengetahuan dari siapapun. “Kamu pucat sekali? Aku hanya bercanda. Aku pulang dulu.” Enjel menepuk bahunya kemudian berlalu keluar dari dalam ruangan loker. Erlin sempat menahan napas, melihat Enjel berlalu dia merasa lega sekai. “Hah! Astaga!” Ucapnya seraya menghela napas lega menyandarkan punggungnya pada pintu loker miliknya. Enjel tentu saja mengetahui kalau sama sekali tidak mudah bisa menjadi salah satu bagian dari hotel Larosse. Mengambil pekerjaan paruh waktu dulu pun dia harus melewati seleksi ketat. Dan gaji yang mereka dapatkan adalah gaji setengah dari seorang karyawan tetap. Hanya dengan gaji dari kerja paruh waktu, bisa mereka gunakan untuk mencukupi kebutuhan sebagai seorang mahasiswi, serta biaya sehari-hari selama tinggal di kontrakan. Bisa dibayangkan berapa banyak uang yang akan mereka dapatkan dari hasil menjadi seorang karyawan tetap di sana. Hotel Larosse cukup terkenal di kota tersebut dengan kenyamanan serta fasilitas yang tidak pernah mengecewakan customer yang menyewa kamar atau sekedar melakukan acara seminar, meeting. Seperti ucapan Derent pada Erlin beberapa waktu lalu, daripada menjadi karyawan kantoran gaji di hotel Larosse lebih bisa diandalkan apalagi bagi seorang pemula. Karena Erlin sudah lama menjadi pegawai paruh waktu di hotel tersebut, dia tidak perlu magang untuk memulai menjadi karyawan tetap di sana. Berbeda dengan orang yang baru ingin mendaftar di sana. Erlin sudah mengganti bajunya menggunakan baju lain untuk membersihkan dua kamar. Wanita itu mengambil peralatan untuk melakukan pekerjaannya. Lagi-lagi dia mendengar dering ponsel dari saku bajunya. Tinggal sedikit lagi pekerjaannya selesai. Erlin tidak bisa menunda hanya untuk memeriksa ponsel. “Hah. Akhirnya selesai juga.” Erlin menegakkan punggungnya seraya memukuli kedua sisi pinggangnya. Gadis itu mendorong kereta berisi seprei kotor serta peralatan kebersihan ke ruang cuci di bagian belakang hotel. Karyawan yang bekerja di belakang cukup mengenal Erlin karena gadis itu begitu sering mengambil jam tambahan kerja untuk mendapatkan gaji tambahan. Erlin memang lamban tapi dia tergolong karyawan yang rajin dan memiliki semangat kerja lumayan tinggi. “Hei? Kamu lembur lagi?” Tegur Samanta dengan senyuman renyah padanya, seorang wanita berusia tiga puluh sembilan tahun. “Iya Mrs, saya punya banyak waktu senggang sekarang. Kuliah sudah selesai hanya tinggal menunggu jadwal wisuda.” Serunya dengan wajah ceria. Erlin mengambil kain kotor lalu meletakkannya di keranjang besar milik Samanta. Erlin melambaikan tangannya pada Samanta seraya mendorong kereta berisi alat kebersihan tersebut untuk mengembalikan ke tempat semula. Erlin kembali ke ruang loker untuk mengambil baju ganti serta tasnya. Bibirnya tersenyum cerah saat melihat dokumen perjanjian sebagai karyawan tetap yang harus dia pelajari. Erlin sangat senang sekali, dia memeluk tasnya erat-erat sambil berjalan keluar hotel. Wanita itu menatap arloji usang pada pergelangan tangan kanannya, jam tersebut menunjukkan pukul tiga sore lebih sedikit. Sambil melangkah menuju tempat perhentian bus, Erlin memeriksa pesan pada ponselnya. Ada beberapa panggilan dari Mr. D dia lewatkan, Erlin membuka kotak pesan di sana. “Aku tidak ingin makan sendiri, aku sudah menerima uang dua puluh dolar darimu tapi aku menolak makan siang sendiri. Aku sangat kelaparan sekarang, perutku terasa sakit dan melilit. Datanglah ke restoran di mana awal kita bertemu, aku akan menunggu sampai kamu datang. Dan setelah kamu datang aku akan bersedia menelan makanan.” Pesan panjang tersebut membuat Erlin merubah jalur, restoran tersebut memang agak jauh dari hotel dan Erlin pernah berlari untuk secepatnya tiba di sana. “Aku tidak percaya harus kembali maraton! Hah! Astaga!” Erlin memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas, wanita itu segera berlari untuk tiba ke tempat tujuan. Di sisi lain Derent sedang berdiri dengan tubuh membungkuk bertumpu pada teralis pembatas atap restoran. Pria itu menggenggam segelas anggur pada tangan kanannya. Sesekali dia menatap ke arah arlojinya. Dia sudah melihat Erlin membuka pesan darinya. “Apakah dia akan datang?” Gumam pria itu seraya menoleh ke arah tangga di belakang punggungnya. Dia mendengar derap langkah sepatu wanita naik ke atas. “Hah, hah, hah. Mr.. kamu gila.” Ucap Erlin begitu tiba di ujung tangga, Erlin dengan napas terengah memegangi lututnya seraya berpegangan pada teralis tangga. Langkah kakinya terhenti di sana. Erlin melihat Derent sedang bersandar pada teralis pembatas lantai atap sambil melemparkan senyum ke arahnya. Sekali lagi Derent dibuat tersenyum melihat penampilan kekasihnya tersebut. Baju basah kuyup dengan keringat, helaian rambut acak-acakan keluar dari sanggul. “Kamu terlihat senang sekali melihatku berantakan begini.” Gumam Erlin seraya melangkah menuju ke meja, matanya tertuju pada gelas berisi minuman berwarna putih. Dia tidak bisa menahan haus. Erlin teringat saat itu pernah salah minum lalu mabuk dan jatuh tertidur. Erlin mengambil gelas tersebut, mencoba mengendusnya. Derent semakin lebar tertawa melihat tingkah polos dan konyol dari sosok Erlin Joe. Semua yang gadis itu lakukan terlihat natural dan tidak dibuat-buat. “Mr?!” Dengan bibir cemberut menyodorkan gelas tersebut ke arah Derent yang kini sudah berdiri di sebelahnya. “Kamu ingin aku meminumnya?” Derent menyodorkan gelasnya yang sejak tadi tinggal dalam genggaman tangannya ke arah Erlin, Erlin memegang pergelangan tangan Derent untuk mencium cairan di dalam gelas Derent. Ternyata gelas miliknya adalah air putih biasa, sementara milik Derent adalah anggur putih. Erlin segera meneguk air dari dalam gelasnya sendiri. “Hahahahaha!” Derent meledakkan tawanya menatap Erlin seperti satu tahun tidak mendapatkan setetes air. “Aku sangat haus.” Erlin menatap ke arah meja, ada teko kaca di sana dia segera menuang segelas lagi untuk meredakan rasa hausnya. Erlin meneguk segelas lagi, Derent melangkah lalu duduk di kursi seberang meja. Pria itu meletakkan gelas minuman miliknya di atas meja seraya melipat kedua tangannya, menunggu Erlin selesai meneguk air dari gelasnya. Melihat Derent duduk, Erlin ikut duduk di kursi. Mereka kini duduk saling berhadapan satu sama lain. Erlin tidak tahu apa yang harus dia katakan pada pria di depannya tersebut. Dia melihat Derent sedang menatapnya dengan tatapan lembut. Pria itu mengukir senyum pada bibir tipisnya. “Mr, makanlah.” Ucapnya seraya meletakkan gelasnya di atas meja. “Kamu juga harus makan.” Sahut pria itu seraya mengangkat telapak tangannya mempersilakan Erlin menikmati menu makanan di atas meja. Derent tersenyum lembut mulai menyendok makanan lalu menyuap ke dalam mulutnya. “Wah Mr, tidak memesan steak?” Erlin menatap menu di atas meja terdiri dari aneka tumisan dengan irisan daging, serta beberapa mini cake dengan krim lembut juga irisan buah strawberry. “Aku melihat isi lemari pendingin di dapur, kamu juga menempelkan beberapa resep favorit di depan pintu lemari pendingin.” Ucapnya pada Erlin. Erlin mengedipkan kelopak matanya lebih cepat dari biasanya, dia baru tahu kalau Derent sangat memperhatikan hal-hal kecil di sekitarnya. Erlin menelan ludahnya sendiri, mendadak tenggorokannya terasa kering. Dia juga ingat sudah meletakan pakaian dalam yang selesai dia pakai dengan sembarangan di dekat kamar mandi. “Ekspresimu ini, astaga! Hahahaha!” Derent menggelengkan kepala sambil tertawa renyah melihat Erlin mendadak mengunyah lambat makanan dalam mulutnya. “Mr, ini sangat memalukan. Lain kali jangan datang ke rumahku lagi.” Ucap Erlin dengan suara lirih. Lalu meneguk air dari dalam gelasnya untuk mendorong makanan turun dari dalam tenggorokannya. “Wah, kamu menolak kedatanganku? Begini saja aku punya rumah kosong dan tidak ada yang menempatinya. Kamu bisa pindah ke sana, secepatnya.” “Aku tidak mau, Mr. Aku tidak bisa membayar harga sewanya.” Sahut Erlin cepat. Derent mengukir senyum mendengar jawaban tersebut. “Kamu lupa bisa membayar jasaku? Jadi kupikir emmm, aku bisa memberikannya padamu senilai dengan harga rumah kontrak yang kamu tempati saat ini.” Dia tahu Erlin tidak mau menempatinya jika dia memberikannya secara cuma-cuma. “Aku setuju.” Sahut Erlin dengan seutas senyuman tulus. Erlin melihat kelegaan terukir dari senyum pria di seberang mejanya tersebut. Derent merasa lega Erlin bersedia menerima tawaran tersebut. Ya.. Derent memiliki satu rumah cantik di kawasan elite, tentu saja dia baru saja membelinya beberapa jam lalu untuk dihuni Erlin Joe tanpa sepengetahuan Evrina Marloy!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD