Derent Jake tiba di kediamannya, pria itu disambut oleh pelayan wanita yang biasa membawakan tas serta jasnya ke dalam rumah. Suasana hening, sunyi seperti hari-hari yang telah berlalu selama usia pernikahannya sejak lima tahun lalu. Lebih tepatnya setelah Evrina Marloy melahirkan kedua putri mereka Alyne dan Aleara. Grace sedikit terkejut karena baju yang dikenakan oleh tuan rumahnya terlihat berbeda dari biasanya. Grace menerima jas serta tas milik Derent. Wanita itu meletakkannya di dalam ruangan kerja Derent.
Derent Jake melangkah menuju kamar kedua putrinya untuk melihat apakah mereka sudah terlelap. Dan tentu saja keduanya sudah pulas di dalam kamarnya. Derent membuka daun pintu kamar kedua putrinya, pria itu tersenyum lalu kembali menutup daun pintu kamar tersebut. Derent duduk di kursi ruang tengah, menunggu air hangat dengan campuran rempah. Tak lama kemudian Grace datang membawa wadah berisi campuran tersebut untuk merendam kedua kaki Derent.
“Evrina belum pulang juga?” Tanya pria tersebut pada pelayan wanita yang kini bersimpuh di bawah kakinya untuk melepaskan sepatu Derent.
“Belum Tuan.” Jawab Grace dengan kepala tertunduk.
Grace adalah pelayan muda yang biasa mengurus keperluan Derent serta Evrina di dalam kediaman tersebut. Grace bekerja di sana sejak usia gadis itu menginjak dua puluh dua tahun. Grace merupakan putri sulung dari tiga bersaudara. Ayah Grace seorang petani desa yang bekerja sebagai buruh, Tomas merawat tanaman di kebun-kebun milik orang kaya di sekitar. Ella, ibu Grace sudah meninggal dunia ketika Grace berusia tujuh belas tahun. Karena kebaikan Derent, Grace bisa bekerja di sana. Derent termasuk pria yang cukup pemilih untuk mempekerjakan seseorang di dalam rumah besarnya. Dahulu Ella yang bekerja di kediaman tersebut, kini Grace memutuskan untuk menggantikan mendiang ibunya. Grace sudah mengetahui kebiasaan Derent serta Evrina karena gadis itu sering mengikuti Ella untuk belajar.
Derent terlihat lelah, pria itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi tunggal di dekat perapian. Cuaca musim gugur semakin dingin mendekati musim berikutnya. Grace segera berdiri untuk mengambilkan selimut tebal dari atas rak. Dia menggunakan itu untuk menyelimuti Derent. Biasanya pria itu duduk di sana sampai tertidur untuk menunggu Evrina kembali. Namun wanita yang ditunggunya tidak kunjung datang. Sudah hampir dua bulan lamanya Evrina belum kembali dari Sidney. Terkadang hal itulah yang membuat Derent bosan menunggu. Derent pria normal yang butuh kehangatan layaknya pria pada umumnya. Menikah dengan seorang artis cantik membuatnya terus hidup dalam penantian yang tidak pasti. Derent tidak bisa meninggalkan Melbourne. Sementara Evrina tidak bisa meninggalkan karirnya.
Sejenak Derent memejamkan kelopak matanya, pria itu kemudian teringat dengan Erlin Joe gadis yang beberapa jam lalu ditemuinya.
“Aku bilang untuk meneleponnya ketika tiba di rumah. Aku melupakannya, apa dia menunggu telepon dariku?” Sambil bergumam Derent segera berdiri dari kursinya, pria itu melangkah menuju ke dalam kamarnya yang ada di lantai atas.
Grace masih berdiri di dekat perapian, melihat Derent naik meniti tangga gadis itu segera membereskan segala sesuatu yang tadi digunakan oleh Derent.
Derent menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur, pria itu menunggu Erlin mengangkat panggilan darinya. Sudah tiga kali dia menghubunginya tapi Erlin Joe tak kunjung menerima teleponnya.
“Mungkin dia sudah tidur?” Gumam Derent bersiap memutuskan panggilannya.
“Halo? Mr?”
Derent buru-buru menempelkan ponsel miliknya pada daun telinganya kembali.
“Aku sudah tiba di rumah.” Derent mengukir senyum, lelah dan penat yang tadinya dia rasakan mendadak lenyap tanpa sisa.
“Iya, kamu sudah mengatakannya sebelum pulang.” Sahut Erlin dengan nada malas. “Mr, kamu membuatku batal membuat surat lamaran kerja sore ini, jadi aku terpaksa membatalkan rencanaku besok dengan beberapa temanku. Kamu sejak sore terus menggangguku.” Seru Erlin sambil mengusap kelopak matanya yang sudah tidak bisa menahan kantuk lagi.
“Ah itu..” Derent menggigit bibirnya sendiri, dia bisa membayangkan betapa imutnya wajah Erlin saat ini. Nada suara yang begitu pelan dan lirih membuat dadanya bergolak ingin tinggal lebih lama di sisi gadis muda tersebut.
“Mr..” Nada suara Erlin kian lirih dan hampir mirip sebuah bisikan.
“Hemm..” Derent meremas bantalnya, pria itu tidak hampir tidak bisa mengendalikan dirinya. Dalam ingatannya yang terlihat saat ini adalah bibir ranum setengah basah berwarna peach milik sosok Erlin Joe yang tengah sedikit terbuka.
“Aku ngantuk sekali.. tuttt...”
Derent tersenyum lebar, pria itu segera meletakkan ponselnya. Dalam hatinya penuh dengan harapan, besok dia pasti akan menyempatkan diri untuk menemui kekasih barunya tersebut.
“Manis sekali, Erlin Joe!” Ujarnya seraya menumpukan tengkuknya pada kedua telapak tangannya. Derent tertidur dengan setelan baju yang diberikan oleh Erlin padanya. Pria yang biasanya tampil sempurna dengan baju serba rapi dan bersih tidak memikirkan hal itu lagi. Dia tahu siapa Erlin Joe, tidak ada seperempatnya jika disandingkan dengan Evrina Marloy. Gadis yang begitu menawan bak permata satu-satunya di dunia. Namun permata itu hanya berkilau untuk Evrina seorang diri, wanita itu tidak mau membaginya dengan Derent sudah bertahun-tahun lamanya. Permata yang Derent banggakan begitu jauh dari jangkauan tangannya.
Derent tidak bisa menghitung lagi berapa banyak dia sudah menghabiskan masa sepinya seorang diri.
“Maafkan aku sudah egois, karena aku tidak bisa bertahan dengan rasa sepi!” Ujarnya pada dirinya sendiri seolah sadar apa yang sudah dia lakukan memang suatu hal gila dan salah.
Keesokan harinya, Erlin kembali bekerja di hotel Larosse. Hari itu Derent sengaja lewat pintu lain untuk sampai di ruangan kerjanya. Dia merasa menjadi pencuri di dalam hotel miliknya sendiri hanya untuk menghindari pertemuan dengan Erlin Joe yang sedang berjaga di meja resepsionis.
“Selamat pagi, Tuan?” Sapa salah satu asistennya di hotel tersebut. Halena sudah menyiapkan apa saja berkas yang Derent butuhkan pagi ini. Wanita itu melangkah masuk ke dalam ruangan kerjanya lalu meletakkan berkas dalam map di atas meja kerja Derent.
“Kalau ada surat lamaran masuk, segera berikan padaku. Khusus untuk sekretaris.” Ucap pria tersebut pada Halena. Wajah Halena tampak terkejut, tidak biasa Derent meminta surat lamaran diberikan secara langsung padanya. Biasanya Derent menyerahkan urusan tersebut pada bawahannya yang mengurus segala hal tentang karyawan di dalam hotelnya.
“Baik Tuan.” Jawab Halena, wanita itu segera undur diri dari dalam ruangan kerjanya.
Derent segera menyelesaikan berkasnya, lalu dia sengaja mengirimkan pesan pada Erlin. Derent tahu kalau Erlin masih bekerja saat ini, dan kemungkinan gadis itu sangat sibuk sekarang.
“Aku ingin makan siang bersama.”
Pesan singkat tersebut membuat Erlin melotot terkejut. Setelah melayani satu orang yang hendak cek in barulah dia membalas pesan Derent.
“Mr. aku sedang bekerja, aku pulang pukul dua siang.” Balas Erlin padanya.
“Tidak masalah. Datanglah ke restoran kemarin.”
Mata Erlin kembali melotot. Derent memilih restoran termahal dan sangat terjaga privasinya di kota tersebut. “Dia sudah gila, sudah berapa banyak yang pria itu habiskan selama tiga kali pertemuan denganku?!”
“Mr. Anda terlalu boros.” Erlin kembali membalas pesannya, kali ini dia memaki di dalam hatinya berharap Derent membatalkan janjinya.
“Tidak masalah.”
Jawaban tersebut membuat Erlin terpaksa membenturkan kepala di atas meja resepsionis sambil meringis cemas. “Pria ini sudah gila! Aku tidak bisa menolak, astaga! Aku tidak mengenalnya dengan cukup baik. Ya Tuhan, selamatkan aku!” Erlin meremas tepian meja resepsionis.
Gadis itu tidak tahu berapa lama dia akan bertahan dalam hubungan tidak jelas tersebut. Di bagian tersulitnya adalah dia tidak bisa menunjukkan Derent di depan teman-temannya. Dia tidak bisa membanggakan apa yang dia miliki atau bercerita tentang kemajuan hubungannya dengan Derent. Sangat mustahil karena Derent benar-benar menjaga privasinya. Karena alasan itulah Erlin Joe menolak untuk menerima Derent dua hari lalu saat pria itu memilih maju menjadi pasangan kencan butanya.
Baru bertemu sekali saja sudah memakai topeng, nama terang milik pria itu saja Erlin masih belum tahu. Dia hanya tetap memanggilnya dengan sebutan awal mereka mengikat hubungan sebagai partner yaitu Mr. D.