Maureen tidak ingat sudah berapa lama ia menatap layar ponsel dengan sebelah tangan memasukan potongan demi potongan buah mangga muda. Yang pasti saat ini ia tengah menunggu seseorang menghubunginya, bukan Sutradara ataupun perusahaan iklan lainnya, melainkan seorang lelaki yang ditemuinya kemarin dan belum juga menghubunginya hingga detik ini.
Ada beberapa hal yang bercokol dalam hatinya, salah satunya mengapa lelaki itu belum juga menghubunginya atau paling tidak bertanya bagaimana keadaan janin yang diyakini sebagai darah dagingnya itu. Sejujurnya Maureen mulai merasa tidak nyaman dan sangat penasaran namun ia pun belum siap menghadapi tatapan tajam Barry yang menghunus tepat ke jantung hatinya seperti yang dilakukannya kemarin.
Maureen mencoba bersikap tenang setiap kali ia melihat notif pesan masuk kedalam ponselnya dan bukan pesan yang diharapkannya saat ini.
"Kamu kenapa?" Tanya Ramli yang memperhatikan tingkah aneh Maureen sejak tadi. Bukan hanya sejak tadi, tapi sejak wanita itu kembali entah dari mana.
"Lagi nunggu sesuatu?" Tanya Ramli lagi.
"Nggak." Menyadari bukan hanya dirinya yang berada di ruangan tersebut, Maureen segera menggelengkan kepala dan mencoba bersikap seperti biasa. Sayangnya meski ia pandai berakting, tapi hal tersebut tidak bisa membuat Ramli percaya begitu saja.
"Sejak kemarin aku perhatikan kamu seperti orang gelisah. Setiap detik lihat ponsel." Ramli menyandarkan tubuhnya dengan melipat kedua tangan di atas d**a.
"Dari mana kemarin?" Pertanyaan yang sangat dihindari Maureen akhirnya terlontar juga.
"Hanya cari udara segar, sumpek di rumah terus." Jawab Maureen santai.
"Sejak kapan kamu mau pergi keluar tanpa tujuan jelas?" Ramli benar-benar tidak bisa di bohongi begitu saja. Jiwa detektifnya benar-benar sangat tajam.
Maureen mengumpat dalam hati, kenapa ia harus pergi ke dukun beranak dan akhirnya justru bertemu dengan Barry. Kenapa ia tidak mengunjungi Dokter profesional yang bisa diajak kerjasama untuk melenyapkan sang jabang bayi. Bukankah hal itu jauh lebih aman dan cepat ketimbang menemui dukun bayi yang ternyata penggemar beratnya.
"Sebenarnya aku pergi ke,"
Belum sempat Maureen menuntaskan kalimatnya, tiba-tiba suara yang begitu familiar terdengar di telinga. Itu suara nada dering ponselnya, dan begitu melihat nama yang tertera di layar membuat Maureen bergegas mengambil dan menekan tombol hijau.
Maureen bergegas meninggalkan meja makan dimana Ramli masih menatapnya dengan tatapan bingung.
Sesampainya di dalam kamar, Maureen mengunci pintu dan duduk di tepian tempat tidur. Hal pertama yang dirasakan Maureen yaitu jantungnya berdebar kencang tatkala ia akan mendengar kembali suara Barry, untuk menutupi kegugupannya ia pun memegang erat ujung piyama tidur bergambar beruang yang dikenakannya.
"Ya halo?" Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dan mencoba tenang, Maureen memulai pembicaraan.
"Kita harus bicara." Sebuah suara mengalun dengan perlahan dan sangat dingin, membuat Maureen menjauhkan sejenak ponsel dari telinganya.
"Silahkan, aku siap mendengar."
"Bukan di telepon, tapi secara langsung."
Mendapat reaksi Barry yang bersikap dingin seolah mereka orang asing, sedikit mengganggu suasana hati Maureen. Awalnya Maureen kira lelaki itu akan mempertanyakan keadaanya atau paling tidak bertanya bagaimana kondisi bayinya. Tapi yang didengarnya justru suara bernada dingin dimana Maureen bisa merasakannya meski tidak melihat Barry secara langsung.
"Oke. Dimana?"
Mereka berdua memang harus bertemu untuk mencari solusi atas masalah yang sudah mereka perbuat. Setelah Barry menyebutkan sebuah alamat yang akan menjadi tempat mereka bertemu, lelaki itu langsung mematikan sambungan secara sepihak. Maureen menatap horor layar ponsel dengan kening berkerut. Sejujurnya untuk apa ia berharap lebih akan sikap Barry padanya, bukankah selama ini mereka memang sudah bercerai dan hidup masing-masing. Namun karena kejadian malam itu mereka kembali dipertemukan hingga akhirnya membuat Maureen hamil, mereka berdua kembali harus berurusan atau lebih tepatnya hubungan mereka kembali terhubung karena adanya si jabang bayi.
Setelah bicara singkat dengan Barry, Maureen pun membalas setiap pesan masuk yang menurutnya penting dan berurusan dengan pekerjaan, setelah itu ia kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan kedua matanya terpejam. Kilasan kejadian hari itu kembali mengisi kepalanya, ia dan Barry benar-benar melakukannya meski Maureen dalam keadaan setengah sadar. Namun Maureen bisa melihat dan merasakannya dengan sangat jelas, bahkan tubuhnya kembali meremang tatkala ia kembali mengingat setiap sentuhan dan belaian Barry di tubuhnya.
Masih dengan tubuh terlentang, Maureen menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang. Helaan nafas berat mengiringi setiap keputusan yang akan dilakukannya untuk saat ini, esok dan kedepannya. Semua akan baik-baik saja. Tidak akan terjadi apa-apa hanya karena dia hamil, tapi yang menjadi pertanyaanya saat ini mampukah ia membesarkan anak seorang diri? Bukan hanya masalah finansial yang menjadi permasalahan utama, Maureen yakin ia bisa mencukupi hal tersebut dengan atau tanpa bantuan Barry. Hanya saja membesarkan seorang anak tentu saja tidak hanya cukup dengan materi saja, dia juga butuh kasih sayang dan hadirnya sosok sang Ayah yang akan membantu dalam tumbuh kembang si anak. Dan semua itu tidak akan didapatkan, jika Maureen dan Barry tidak kembali bersama.
Ponsel Maureen kembali berbunyi, kali ini nama Ramli tertera di layar ponsel. Lelaki itu pasti masih mengkhawatirkannya, pasalnya ia pergi begitu saja di saat mereka berdua tengah sarapan bersama.
"Iya, aku keluar sebentar lagi."
"Aku cuman ngingetin, hari ini kita ada jadwal syuting di rumah Datta, si youtuber terkenal itu. Jangan sampai telat. Nanti aku jemput jam enam sore."
"Iya, aku ingat."
"Aku pergi sebentar, buah-buahan ada di kulkas kalau kamu mau sesuatu yang segar aku juga udah beli jambu, mangga muda dan jeruk."
"Iya."
Panggilan terputus setelah Ramli mengingatkan jadwal yang harus dihadiri Maureen hari ini. Sejujurnya Maureen enggan datang memenuhi undangan Datta untuk konten youtubenya, namun mengingat orang tersebut saat ini tengah berada dalam puncak karirnya dalam dunia per'youtuban, Maureen tidak bisa melewatkan kesempatan itu begitu saja. Terlebih Datta dan tim managementnya mau membayar Maureen dengan bayaran cukup besar dan Maureen hanya cukup menghadiri acara podcastnya saja.
Sebelum menghadiri acara tersebut, lebih baik Maureen bergegas membersihkan diri untuk bertemu dengan Barry. Meski lelaki itu menjanjikan bertemu di jam makan siang, namun Maureen harus bersiap terlebih dulu. Penampilan harus menjadi poin utama, meski saat ini ia mulai terganggu dengan aroma-aroma wewangian yang membuatnya sedikit merasa pusing dan mual.
Maureen tiba satu jam lebih awal dari waktu yang dijanjikan Barry, ia memesan beberapa kudapan dan tentu saja minuman berperisa asam. Entah karena hormon hamil atau bukan, akhir-akhir ini Maureen sangat menyukai cemilan dan makanan asam, contohnya mangga muda atau jus buah tanpa gula tambahan. Dua gelas sudah ia menghabiskan jus lengkap dengan cemilan, perutnya terasa penuh dan tidak nyaman.
Untuk mengurangi rasa tidak nyaman yang kini mulai dirasakannya, Maureen pun memilih beranjak dari tempat duduknya berada di dalam ruangan dan keluar menuju ruangan outdoor yang disediakan pihak kafe. Sayangnya bukan udara segar yang didapat Maureen, tapi justru kepulan asap dari beberapa tamu lainnya yang tengah bersantai menikmati kopi dan rokok.
"Asap rokok tidak baik kalian."
Tiba-tiba seorang lelaki menarik tangan Maureen kembali masuk kedalam ruangan dimana ia duduk tadi. Maureen mengerjap pelan, begitu ia melihat sosok Barry tengah berdiri dengan sebelah tangan menggenggam tangannya. Dan apa tadi dia bilang? Kalian?
Tanpa sadar Maureen tersenyum tipis, setelah mengerti arti ucapan Barry.
"Maaf aku membuatmu menunggu."
"Aku yang terlalu cepat datang."
Baik Maureen maupun Barry, keduanya sama-sama saling membuang muka untuk menghindari tatapan. Rasa canggung mereka rasakan setelah sekian lama tidak bertemu dan kini mereka duduk berhadapan di satu meja yang sama.
"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?" Tanya Maureen langsung pada inti pembicaraan. Semakin cepat semakin baik, terutama untuk kesehatan jantungnya.
"Aku hanya ingin penjelasan mengenai kejadian kemarin, di rumah dukun beranak."
Dengan memberanikan diri, akhirnya Maureen mengangkat kepala dan menatap ke arah Barry dimana lelaki itu pun tengah menatap ke arahnya. Entah hanya perasannya saja atau bukan, Barry terlihat semakin tampan dan jauh lebih berwibawa.
"Kemarin?" Maureen balik bertanya.
"Iya. Aku yakin kamu pasti mempunyai tujuan datang ke tempat pedalaman seperti itu, terlebih datang seorang diri tanpa didampingi Novi atau Ramli."
Barry menyebut dua nama yang menjadi orang terdekat Maureen. Namun sayangnya kini hanya tinggal Ramli setelah Maureen mendepak Novi akibat pengkhianatan yang dilakukan mantan asistennya itu.
"Kamu hamil?"
Maureen mengerutkan kening, rupanya Barry belum benar-benar yakin dirinya hamil.
"Hamil anakku?"
Benar saja, rupanya Barry memang tidak yakin bahkan terlihat ragu. Hal tersebut justru bisa dimanfaatkan Maureen untuk menghindar dan tetap menutupi kehamilannya. Dengan begitu mereka tidak perlu kembali bersama.
"Kamu berani menuduhku dengan sebutan pembunuh, sedangkan kamu sendiri tidak yakin apakah aku benar-benar hamil atau tidak." Maureen tersenyum samar.
"Bisa saja kedatanganku ke tempat itu bukan untuk tujuan seperti yang kamu maksud. Bisa saja untuk hal lain. Benar bukan?"
"Lalu untuk apa kamu kesana?"
"Dengar," Maureen menegakkan tubuhnya, "Saat ini aku tidak berkewajiban memberitahu kemana aku pergi. Dan atas dasar apa kamu menuduhku hamil dan kalaupun aku hamil kenapa kamu merasa harus tau?"
"Kita pernah melakukan hal itu beberapa waktu lalu, dan aku harus memastikan ada atau tidak ada hal yang tertinggal di dalam dirimu yang harus kita pertanggung jawabkan."
Rupanya Barry ingat dan sadar akan kejadian waktu itu, artinya mereka benar-benar melakukannya dalam keadaan sadar. Sial!
"Meskipun kita pernah melakukannya lagi bukan berarti aku pasti langsung hamil, nyatanya dulu kita melakukan itu hampir setiap hari tapi aku nggak hamil." Saat Maureen mengucapkan kalimat itu, wajahnya tiba-tiba terasa panas meski udara dalam ruangan begitu sejuk dan dingin.
"Maksudku bukan begitu, tapi kejadian malam itu hanya sebatas insiden tidak sengaja dan tidak mungkin langsung menghasilkan anak dalam satu kali," Maureen memelankan ucapannya. "Dalam satu kali 'main'."
Barry tidak langsung membalas ucapan Maureen, ia justru menatap Maureen dengan tatapan menyelidik.
"Jadi intinya, aku tidak sedang hamil."
Barry mengangguk pelan, "Baiklah, maaf karena aku salah sangka dan menuduhmu yang tidak-tidak."
Bukan hanya Barry, Maureen pun mengangguk pelan. Namun detik berikutnya Maureen dikejutkan dengan suara decitan kursi dimana Barry menggeser kursi dan berdiri.
"Hanya itu saja yang ingin aku pastikan. Maaf sudah mengganggu waktumu." Ucapnya seraya membungkukkan tubuhnya dan tanpa basa-basi lagi ia pun segera beranjak pergi.
Kening Maureen kebali berkerut. Apa yang baru saja diucapkan Barry terasa begitu mengganggu hatinya, dan apa tadi dia bilang hanya ingin memastikan?
Maureen tertawa pelan, kenapa sikap lelaki itu begitu dingin padanya. Bukankah mereka sepakat berpisah dengan cara baik-baik, lalu apa yang baru saja dilakukan Barry membuat suasana hatinya semakin tidak baik.