Rene dan Julian

1974 Words
[“Beb, jangan lupa makan, I miss you so much!”] Sebelah alis Rene terangkat malas saat membaca pesan yang masuk di smartphonenya. Lelaki bernama Evan itu mulai membuatnya bosan. Rene tak menggubris pesan mesra itu dan melanjutkan membaca proposal yang akan diajukan untuk proyek event akhir tahun besar-besaran sebuah stasiun televisi berbayar. Gadis yang akan berusia 25 tahun itu mengangguk-angguk yakin. Ide luar biasa dari event organizernya pasti akan memenangkan tender. Kali ini, perusahaannya, Jehan Enterprise, tidak akan kalah dari event organizer saingan berat mereka, yang sejak lama selalu berebut tender penyelenggaraan event bergengsi dengan perusahaannya. Rene memberikan tanda tangannya di sana, dan menghubungi sekretarisnya untuk memberikan tugas. Ketrin, sekretaris Rene yang senang berpakaian ketat lalu meraih proposal tersebut untuk dikirimkan. Sekarang, balik lagi soal Evan. Saatnya menyudahi eksistensi pria membosankan itu dalam hari-harinya. Satu tangan Rene mengetik di smartphone sementara satu tangannya membenahi letak kacamata gucci cokelat yang membingkai wajah oval berdagu lancipnya. “Fer, nanti malam ada acara? Temani aku, ya, ke brand launching tablet Samsung terbaru.” Gadis itu bicara penuh rayuan. Lelaki yang bernama Ferdy setuju tanpa banyak cincong. Sebelah sudut bibir Rene yang terpulas lipstik merah menyala tertarik membentuk senyum puas. Sudah dia duga. Tidak akan ada yang menolak bisa menghabiskan waktu dengan Renesty Jehan Pradipta. *** Langkah kaki Evan terhenti dan lelaki itu langsung melongo saat melihat Rene menggandeng lengan Ferdy mesra melewati lobi Jehan Enterprise saat ia akan menjemputnya. Gadis itu tampak menurunkan bagian bahu dress warna lavender yang dikenakannya. gaun itu berleher rendah, memamerkan sebagian dada mulusnya untuk memicu rasa penasaran lelaki.  “Rene!” panggil pria berrambut kelimis yang parfumnya bisa tercium hingga belasan meter. “Evan, apa kabar?” Rene yang berlensa kontak lavender itu pura-pura terkejut. Padahal, siapa yang tak akan menyadari keberadaan Evan dengan aroma parfumnya yang bisa jadi pengharum ruangan itu? “Aku mau menjemputmu,” Evan melirik bingung kepada Ferdy. “Bukankah kau bilang kita mau ke launching produk terbaru Samsung?” “Kita?” kedua alis Rene mencuat dramatis. “Aku, yang akan pergi. Dengan Ferdy,” imbuhnya angkuh. “Loh? Bukankah kita… kita…” Yah, Evan tak tahu apa hubungan mereka. Ia hanya menggerakkan telunjuknya ke arah Rene dan dirinya sendiri bergantian, tanpa bisa memastikan apa hubungan mereka sebenarnya. Evan dengan polosnya berpikir selama ini mereka semacam sedang pendekatan atau mungkin sebenarnya sudah resmi berhubungan. Maka, saat Rene mengatakan kalau dia ada acara malam ini dan Evan menjawab kebetulan dia tidak ada rencana apa-apa, itu artinya mereka sepakat pergi bersama untuk… kencan? kan? Ah, pria itu juga jadi tidak yakin. Evan meraih tangan gadis itu. “Rene, kau itu kekasihku, ‘kan? Jadi seharusnya…”  “Sorry, Van. Kami harus pergi. See you!” Cepat-cepat gadis semampai itu menarik tangan mulusnya dari genggaman Evan. ”Oh, ya, satu lagi. Jangan pernah bilang kalau aku ini kekasihmu, okay? We are just… friend!” Rene mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Kurasa kita harus mulai jaga jarak. Aku tidak mau ada yang mengira kalau aku memang ada hubungan spesial denganmu.” Rene tampak geli saat mengatakan hal tersebut, sementara Ferdy menahan tawanya. *** “Sepertinya dia sangat kaget kau bilang kalian hanya teman. Kau tidak dengan sengaja memutuskannya tadi di depanku, ‘kan?” tanya Ferdy yang berada di balik setir sambil memasang senyum geli merasa menang. “No. He expected too much,” tampik Rene ringan. “Aku cuma berpikir dia teman yang baik. Tapi belakangan semakin banyak yang bertanya apa aku berpacaran dengannya? Aku tak tahu apa saja yang sudah dia bualkan. Yang pasti, he’s D-N-M-T (definitely not my type)!” Ferdy tertawa girang. “How about me? Kenapa kau mengajakku?” Ia mencari peluang. “Karena kau itu gadget freak! Tentu saja, kau adalah orang paling tepat aku ajak ke acara seperti ini. Afterall, you are handsome dan pasti banyak perempuan mendapat berkah bisa melihatmu di pesta itu. Siapa tahu aku dapat pahala.” Rene menggerakkan telunjuk lentiknya di sepanjang dari Ferdy. “Or you get me…. No?” Rene memberi lirikan dan meringis penuh godaan pada salah satu putra pejabat itu. “Let’s see…” Well, jangan pernah matikan harapan seorang pria. Karena di situ, perempuan bisa berkuasa. *** Julian menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Belum satu minggu berada di Jakarta, dia sudah harus berhadapan dengan setumpuk pekerjaan hingga akhir tahun yang dilimpahkan kepadanya. Julian Severino Nararya, lelaki berusia 27 tahun yang terpaksa berhenti dari pekerjaannya di sebuah travel agent besar di Manhattan saat ayahnya, Anthony Nararya, jatuh sakit. Sebagai anak satu-satunya, Julian harus mengambil alih tanggung jawab dari ayahnya tersebut walaupun Julian sebenarnya masih berencana tinggal di Amerika satu dua tahun ke depan. Namun kondisi mendesak memaksanya segera pulang ke tanah air, dan salah satu masalah yang harus ditanganinya, adalah: bagaimana mengalahkan Jehan Enterprise, event organizer saingan besar mereka yang telah beberapa kali berhasil menggelar event besar sensasional sejak dua tahun terakhir Renesty Pradipta menempati posisi sebagai Direktur. Apalagi, CU belakangan ini juga mulai sering kalah tender. “Kenapa kita harus berebut tender? Kita bisa membuat event sendiri yang lebih superb!” tandas Julian pada Haris, sepupunya yang menjabat sebagai Manajer Komunikasi Pemasaran di perusahaan mereka. “Harus! Karena setiap Jehan Enterprise ambil bagian, begitu juga kita!”a Itu lagi. Jadi ini memang masih mengenai persaingan dua perusahaan keluarga sejak jaman dulu kala. “Siapa yang peduli dengan Jehan?” sengit Julian. “Mereka—“ “Sudah beberapa kali merebut peluang kita menyelenggarakan acara bergengsi!” tandas Haris. “Begitu juga kita! Itu namanya persaingan. Wajar! Karena kita berada dalam satu bidang. Kalau kita banting setir jualan sayur, we don’t have to compete with them, iya ‘kan? Tapi bukan berarti kita harus gontok-gontokan setiap saat!” “Kalau Om Anthony mendengar perkataanmu, kau bisa…” Haris menggerakkan telapaknya menyamping sepanjang lehernya. Julian hanya tertawa menanggapinya. “Tapi sejak putrinya turun tangan, harus diakui mereka lebih unggul dari kita dalam menyelenggarakan event musik dan promosi. Mungkin itu juga penyebab Om banyak pikiran dan jatuh sakit seperti sekarang. Apalagi, kudengar mereka juga akan mulai membuka anak perusahaan penyelenggara wedding organizer dan pameran.” Raut Julian kembali tampak serius lagi sekarang. Dia tahu soal Rene, anak Johan Pradipta yang membuat perusahaannya sekarang semakin maju. Tetapi Julian belum ada waktu menyelidiki dengan pasti, seperti apa gadis itu yang akan memimpin JE di masa depan, sekaligus saingan abadinya kelak. Kedatangannya ke Jakarta sudah disibukkan berbagai masalah internal perusahaan sejak ayahnya jatuh sakit. Meninggalkan Indonesia sejak berusia 16 tahun, Julian cukup mengikuti perkembangan perusahaannya. Di Amerika. Putra pertama Anthony Pradipta itu sempat bekerja di perusahaan-perusahaan yang satu kiblat dengan perusahaan keluarganya. Tentunya, saat cuti atau liburan ke Indonesia, Julian akan berusaha sebanyak mungkin terlibat dengan perusahaan keluarganya tersebut. Julian bahkan cukup berperan penting dengan mencari link promotor-promotor di Amerika untuk membantu penyelenggaraan event milik Creative Universe. Bahkan, sejak dua tahun lalu, Julian mendirikan perusahaannya sendiri di bawah naungan Creative Universe yang dinamakan Romeo Media Kreasi. Ayah Julian, Anthony, memang sengaja membuat Julian mencari banyak pengalaman sebelum sepenuhnya mewarisi perusahaan keluarga mereka di masa depan.  “Aku akan memutarbalikkan posisi kita,” sebuah gumaman penuh tekad kuat terlontar dari bibir teratai Julian—bibir bergelombang yang sensual, dan selalu membuatnya seakan tengah tersenyum. Mematikan bagi para wanita. Apalagi jika dipadukan dengan tatapan Julian yang tajam dari mata cokelat terang yang ia warisi dari ibunya.  “Kuharap begitu. Karena itulah, untuk event akhir tahun ini, kita harus mendapatkannya!” “Baiklah! Terus, sekarang apa yang akan kita lakukan?” cetus Julian, seraya menampar kedua pahanya sebelum kedua kaki jenjangnya berdiri tegak. “Karena sejujurnya, saat ini aku belum ingin memikirkan hal itu. Masih belum cukup berkelana di Jakarta untuk bisa merefresh otakku setelah peristiwa yang menimpa Papa.” “Ada undangan launching tablet Samsung terbaru. Mereka pernah jadi klien kita dulu. Sialnya, event ini di-organize Jehan. So?” Harris memberikan tawaran. “So? Tunggu apa lagi? There’ll be ton of pretty girls, right?” “Masih saja belum berubah,” Haris terbahak. “But, remember, jangan pernah kencan dengan siapa pun yang berhubungan dengan Jehan Enterprise.” “After what he did to my father?” Wajah tampan Julian berubah menjadi sangat dingin. “Never. Ever.” *** Acara launching gadget terbaru itu berlangsung sukses dan cukup meriah. Dihelat berupa gala dinner, acara tersebut dihadiri pihak-pihak penting dan banyak diliput media. Julian duduk di tempatnya dengan tenang. Sepanjang acara, Ia sudah mendapatkan beberapa gadis yang menjadi sasarannya, bahkan bertukar kartu nama dengan mereka. Mungkin, gadis-gadis itu akan bisa membuat Julian lebih cepat kerasan di Jakarta yang semakin panas ini. Haris yang duduk di sampingnya menjadi konfirmator apakah gadis-gadis sasaran Julian layak didekati atau tidak. “Not her. Dia sekretaris di Jehan.” Haris menyabotase harapan Julian saat ia bertanya mengenai seorang gadis seksi yang dadanya lebih membusung dari yang lain. “Apa dia bisa melihat keyboard dengan dada sebesar itu?” Bisikan Julian hampir saja membuat Harris memuncratkan minumannya. Mendekati akhir acara, seorang penyanyi ibukota yang terkenal dengan desahannya, dengan centil tengah membawakan sebuah lagu mengenai sesuatu. Saat itulah, seorang makhluk berparas cantik, begitu saja menawan mata Julian. Lelaki itu sampai lupa berkedip beberapa detik mendapati keindahan di hadapannya. Pria bermata tajam itu tak melepaskan tatapannya dari gadis dengan rambut ikal cokelat tergerai indah hingga ke punggungnya. Entah ke mana saja pandangannya selama ini, hingga gadis semempesona itu bisa lolos dari matanya. Julian mengamati arah langkahnya. Sepertinya gadis berkulit mulus bergaun ungu itu hendak menuju… “Aku ke kamar mandi dulu,” pamit Julian berbisik pada Haris yang masih memakan dessert jatah Julian dengan lahap..  *** Setiap lenggak lenggok Rene membuat hampir setiap lelaki yang melihatnya terganggu fungsi paru-parunya. Rene tahu itu, karenanya dengan lihai gadis itu menebar pesona seraya memberikan sedikit lirikan ‘tidak sengaja’ yang mengundang rasa penasaran mereka. Rene beranjak ke kamar mandi untuk me-retouch make-upnya sambil bercengkrama dengan beberapa orang relasi wanitanya yang juga sedang melakukan hal serupa. Ia yakin, saat keluar dari kamar mandi nanti, pasti ada lelaki yang telah mengamatinya sedari tadi, akan mencegat dan mengajaknya berkenalan. Tak peduli Rene tidak datang sendirian, ataupun fakta para lelaki itu sudah datang bersama pasangan masing-masing. Mereka masih saja melakukan hal memalukan di belakang pasangan mereka. Tipikal sekali. Sangat mudah ditebak gaya pendekatan para lelaki itu. Namun Rene tak mengira, sebuah tubuh tegap semampai langsung menghadang saat ia baru saja membuka pintu kamar mandi. Mereka bahkan hampir bertabrakan. “Eh, sorry!” Rene terkesiap dan sontak meminta maaf. Ia menatap dada yang teramat dekat itu sesaat dan mendongak. Mendapati leher kokoh seorang lelaki di sana. Lalu wajahnya yang tampan, rambut halus kecokelatan yang sebagian poninya jatuh melintang di alisnya. “Aku yang minta maaf. Ini kamar mandi wanita?” Memasang wajah bingung, Julian masih menghalangi langkah Rene. “Aku terburu-buru.” “It’s okay. Now excuse me, aku harus lewat?” Rene mengumbar senyum manisnya. Julian balas tersenyum saat Rene memberikan lirikan yang selalu membekas di hati lelaki mana pun yang mendapatkannya. Julian tahu gadis itu jago flirting. “Sorry,” Julian akhirnya menggeser diri. “Oh, ya,” kalimat Julian terpotong, saat ia baru akan mengajaknya berkenalan. Julian melihat name tag di dada gadis itu. Renesty Jehan P. JEHAN. Jehan enterprise diberi nama berdasarkan nama putri dari pendirinya, Johan Pradipta. “Ya?” Rene menunggu Julian yang tiba-tiba terdiam, untuk meneruskan ucapannya. “Nice event,” Julian mengucapkannya dengan raut dingin, hampir tanpa intonasi. “Thanks. Ini kartu namaku,” Rene membuka tasnya. Julian menukas, “kurasa aku sudah mengenalmu,” sambil meninggalkan Rene. Rene menyipitkan mata tersinggung. Perilaku lelaki itu terasa kasar sekali. Kenapa pria yang baru pertama dilihatnya itu, bersikap menyebalkan? Ia bahkan tak mengenalnya. Semoga saja ia tak harus bertemu lagi dengan lelaki aneh tersebut. Walaupun harus Rene akui, si lelaki benar-benar gagah dan tampan. Tetapi sesuatu darinya membuat Rene tak nyaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD