Sudah beberapa kali menggelar rapat dan belum menemukan ide yang bagus untuk event hari ibu empat bulan mendatang, benar-benar membuat Rene pusing bukan kepalang, dan jadi uring-uringan. Semua teman dekatnya yang berstatus tanpa status itu sudah mendapat bagian dampratannya masing-masing. Namun rasanya ia masih belum puas.
Ia teringat Julian, berpikir apakah lelaki itu sudah mendapatkan ide spektakuler atau belum.
“You need to refresh your mind, Dear,” ujar Alicia saat melihat wajah masam sahabatnya. “Kita datang ke gathering young entrepreneur yuk, sepertinya seru.”
“Entahlah, Alice, aku…”
“Ayoolaahh… Be pretty, be happy! Pikiran segar akan menghasilkan ide segar!” Alice menarik kedua tangan Rene bangkit dari tempat duduknya.
Rene meniup udara dan mengangkat kedua alisnya, berharap mengusir penat.
“Baiklah. Aku tidak punya ide yang lebih baik untuk saat ini.”
Keduanya menghabiskan waktu untuk memanjakan diri. Selama itu juga jemari lentik Rene tidak berhenti menyeleksi siapa lelaki yang harus dia ajak ke gathering tersebut.
***
“Ini kali pertama aku akan datang ke acara gathering! Lucu ya, namanya mirip-mirip catering. Terima kasih kau sudah mengajakku!” Entah sudah kali keberapa gadis bernama Melly itu berkata. “Haa… Mama pasti marah jika tahu aku datang ke pesta di hotel. Tapi ini 'kan bukan hura-hura. Malahan, sepertinya aku bisa mendapatkan pengalaman berarti, atau malah relasi bisnis, memperluas jaringan itu penting bukan untuk masa depan?”
Dan bla… bla… bla…
Ya Tuhan, gadis ini seperti memiliki tujuh mulut yang tidak berhenti bicara bergiliran.
Julian menyalakan radio agar gadis itu berhenti bicara, setidaknya, untuk sejenak.
“Hei! Kau juga mendengarkan radio ini?” seru gadis itu antusias. “Kau suka mendengarkan Curhat Yuk, Ayuk! Tidak? Seru ya…”
“Tidak,” tanggap Julian datar, sudah mulai kehilangan minat.
“Kau harus coba mendengarkannya…”
Dan bla… bla… bla…
Julian menulikan telinga.
***
“Waaahh…!! Tempatnya kereeennn…!” pekik si gadis berisik saat mereka baru saja menginjakkan kaki di lounge sebuah hotel.
“Merry…”
“Melly!”
“Ya,” whatever… “kau harus sedikit mengurangi anstuasiasmemu. Jika tidak, semua orang akan menyadari bahwa kau baru kali pertama datang ke acara seperti ini, dan mereka akan menganggapmu remeh. Bersikaplah lebih tenang. Kau harus menguasai keadaan, bukan keadaan yang menguasaimu.”
Melly mengerutkan alisnya. “Menguasai keadaan… bukan keadaan yang menguasai…. Aduh, apa sih itu?” gadis itu terlihat bingung, “ah, terserahlah!” tukasnya, seraya mengangkat kedua bahunya riang.
Julian menghempaskan napas frustasi.
“Aduh… sepertinya tidak ada siapa pun yang kukenal di sini,” keluh Melly dengan suara sengau kekanak-kanakannya—berlawanan dengan riasan wajahnya yang full.
Tepat setelah Melly berkata begitu, sebuah teguran membantah ucapannya.
“Melly! Sedang apa kau di sini!?’
Julian dan Melly menoleh ke arah suara.
“Aldo… kamu sedang apa di sini!?” Melly balik bertanya.
“Siapa?” tanya seorang gadis yang ikut berbalik, pasangan Aldo.
Mata Julian melebar melihat siapa yang bersama Aldo. “Rene,” sapanya sinis.
“Julian…” desis Rene tidak kalah geram.
Tanduk sudah keluar dari kepala Julian dan taring sudah muncul di bibir Rene, keduanya siap berperang. Jika saja pasangan mereka tidak melakukannya terlebih dahulu.
“Melly!! Kenapa kau berkeliaran malam-malam begini!?” hardik Aldo. “Kau mau aku laporkan ke Mamamu!?”
“Jangan! Kau mengancamku? benar-benar menyebalkan! Lagipula, apa urusanmu kalau aku mau berkeliaran? Dasar jelek!”
Julian dan Rene menoleh kepada keduanya.
“Hei, ini juga untuk kebaikanmu! Dari kecil, kau sudah sering menyusahkanku! Memangnya siapa yang sudah berkali-kali menolongmu mengerjakan PR!?”
“Siapa yang minta kau menolongku!?”
“Mamamu! Dan, kenapa kau malah berkeliaran di tempat seperti ini, bukannya hari Senin sudah, mulai ujian?”
“Ujian?” Alis Julian terangkat, “Bukankah kau sudah lulus kuliah?”
“Lulus kuliah?” Aldo tertegun, “Mulai saja belum. Dia masih kelas dua SMA.”
Julian dan Rene terperangah. Lantas Rene memasang wajah mencebik remeh kepada Julian. Membawa bocah ke gathering, heh?
“Sudah berisik!” tangkis Melly. “Lebih baik kau urus skripsimu! Bukankah kau terancam DO bulan depan?”
“Kau bilang kau lulusan luar negeri,” serang Rene.
“Re-Rene, aku bisa jelaskan,” Aldo panik.
Julian mengernyih penuh ejekan kepada Rene dan gadis itu mengalihkan geramnya ke lelaki itu.
"Lulusan luar negeri? Bisa lulus saja sudah syukur! Tiap diingatkan untuk mengerjakan skripsi malah sibuk main trading forex." Melly membongkar kelakuan pasangan Rene malam ini.
“Dua hari yang lalu kau baru saja mengompol, dan sekarang sok menasehati,” serang Aldo, yang membuat Rene terkekeh geli sambil melirik mengejek kepada Julian.
Wajah Melly merah padam. “K-kau!! Dasar ompong!” serunya, ia menoleh kepada Rene. “Dua gigi depannya itu gigi palsu! Karena gigi serinya tanggal saat dia jatuh dari motor!”
Kali ini giliran Julian yang menatap geli penuh ejekan kepada Rene.
“K-kau…!!” geram Aldo, melirik panik kepada Rene. “Dulu kau banyak kutu!”
Rene membuat huruf O dengan bibirnya, melakukan gerakan menggaruk kepala dengan telunjuknya sebagai ejekan pada Julian.
“Kau masih suka menghisap dot sampai kelas enam SD!” serang Melly.
Julian memasang wajah terkejut yang dramatis, lantas tertawa mengejek tanpa suara seraya melirik Rene.
“Kau pernah punya kutil!” Serang Aldo.
Rene menangkup wajahnya dengan dramatis.
Melly mengeratkan rahangnya, wajahnya merah padam. “Huh! Aldo menyebalkan!!” serunya tersinggung, lalu segera berlari pergi dari sana.
Ketiga orang itu mengamati si gadis ABG yang dramatis.
“Tuh, pasanganmu lari. Kenapa kau hanya diam saja?” sindir Rene.
Julian menatap Aldo. “Kurasa di sini ada yang lebih bertanggung jawab.”
Aldo tampak kalut, sepertinya menyesal dengan apa yang terjadi, Ia lalu segera beranjak lari menyusul Melly yang merajuk.
Tinggallah Julian dan Rene. Gadis itu mendelik dari sudut matanya.
“Cih! Ternyata selain picik, pewaris Nararya ini juga pengidap lolita syndrom…”
“Enak saja bicara! Dia mengaku sudah lulus kuliah!”
“Ha! Lulus kuliah? Kau tidak lihat caranya bicara? Mencicit begitu. Jelas terlihat dia itu masih anak-anak!”
Dan drama pun berlanjut.
“d**a dan bokongnya lebih besar darimu!”
“Mungkin itu sumpalan!!’
“Mungkin punyamu yang sumpalan.”
“Enak saja! Semua yang ada pada diriku ini asli, tahu!”
“Tidak tahu. Coba, aku mau tahu…” iseng Julian mengarahkan tangannya kepada Rene.
“Ikh!” Spontan Rene menyilangkan lengan di dadanya, lalu memicingkan matanya. “Kau...! Dasar kurang ajar!” desisnya penuh dendam. “Kau mau merasakan tinjuku lagi?”
“Rene!!” seru Alicia, yang akhirnya menemukan sahabatnya itu, mencuri perhatian kedua saingan yang tengah bersitegang “Kenapa diam saja di pintu begini? Ayo cepat masuk!” ajaknya. Alicia lantas tertegun, melihat siapa yang berada di hadapan Rene. “Kau…”
Julian beralih menatap Alicia, gadis kurus tinggi dengan rambut bob sebatas telinga yang terlihat fresh dan cantik. “Julian Severino Nararya,” ucap Julian dengan intonasi tenang dan dalam, mengulurkan tangannya. “Dari Creative Universe.”
“Dia tidak tertarik berkenalan denganmu!” Rene segera menarik tangan Alicia beranjak dari sana, sementara Alicia sempat tak bisa menolehkan wajahnya dari Julian, apalagi saat lelaki itu memberikan smirk tipis kepadanya.
“Damn he’s so hot!” desis Alicia hampir tanpa suara saat beranjak menjauh dari Julian.
“Like hell? Yeah, he’s the devil.” tukas Rene keki.
“Omong-omong, kau datang sendiri? Mana si… Aldo?”
“Forget him,” Rene mengepakkan telapaknya kesal, “Dia menipuku. Mengaku lulusan luar negeri entah apa, ternyata dia belum lulus kuliah bahkan terancam DO.
“What!?” Alicia terperangah. “Poor you,” ia menepuk bahu Rene. “Sudahlah, ayo kuperkenalkan kepada seseorang.”
Alicia menyeret Rene mendekati seorang pria tinggi bertubuh atletis. Otot-ototnya sangat besar—mungkin terlalu besar karena jasnya saja tidak bisa menyembunyikannya. Wajahnya cukup tampan, lehernya agak pendek dan terlalu besar, untuk wajahnya yang agak bulat dan meninggalkan kesan babyface.
“Rene, perkenalkan, ini Mario. Atasanku.”
Pria bernama Mario itu melebarkan matanya saat melihat Rene.
Mario mengangsurkan tangannya dan menyebut namanya. "Mario Hernando."
“Rene,” gadis itu bersalaman ringan dan segera melepasnya lagi.
Kejadian menyebalkan di pintu masuk tadi masih membuatnya kurang berminat untuk bersosialisasi malam ini. Mood-nya benar-benar hancur.
“Kau Rene dari Jehan, bukan? Putri Pak Johan Pradipta?”
“Ya.” Memangnya aneh jika ada yang mengenalnya? Sama sekali tidak.
“Dia ini putra Pak Samuel Ricardo,” imbuh Alicia.
Pak Samuel Ricardo adalah seorang promotor music yang sangat terkenal sekaligus kolega Johan, ayah Rene. Salah satu perusahaannya adalah tempat Alicia bekerja.
“Oh… kau putra Om Samuel?” Rene mengangguk-angguk. “Sampaikan salamku kepada Om ya,” tukasnya basa-basi. “Aku permisi dulu sekarang, perutku lapar,” ujarnya.
Dan Rene segera berlalu dari sana, membuat Alicia merasa tidak enak hati kepada atasannya itu. “Sorry, Mario, mungkin dia sedang badmood. Maklum, dia sedang banyak pikiran dan melihat musuh besarnya membuat dia semakin keki.”
Mario memang sengaja meminta Alicia memperkenalkannya kepada Rene.
“Musuh besarnya? Siapa? Anton Nararya?”
“Bukan, putranya, Julian,” koreksi Alicia.
Wajah Mario mendingin. “Julian Nararya ada di sini?” desisnya.
“Tuh! Yang sedang dikerubungi gadis-gadis di sana,” ada senyum jenaka dari cara gadis itu bicara.
Mario menoleh ke arah Julian yang memang tampak menonjol di tengah para gadis yang tersenyum kagum kepadanya.
Julian Severino Nararya… tidak disangka, kita berjumpa juga di sini…
Julian mendengarkan pujian dan obrolan dari gadis-gadis yang mendekatinya. Ia hanya menanggapi seperlunya. Mungkin inilah senjatanya yang membuat banyak gadis terlena. Bukan hanya karena fisiknya, tetapi caranya membawa diri yang sempurna, tidak banyak bicara, hanya menyunggingkan sedikit senyuman misterius dan tatapan tajam menaklukkan, membuat gadis-gadis itu penasaran. Hingga Julian menemukan gadis incarannya, barulah dia akan bergerak, dan dia tidak pernah gagal mendapatkannya.
Tetapi sejauh ini, ada sesuatu yang masih tidak dia mengerti. Tidak satu gadis pun menarik perhatiannya. Entah dia merasa bosan atau apa. Hatinya terasa hampa. Bukan karena acaranya kurang meriah, bukan juga karena teman kencannya yang tiba-tiba pergi. Mungkin karena belum apa-apa dia sudah bertengkar dengan Rene.
Bertengkar dengan Rene…
Ah, benar. Kemana gadis sialan itu tadi? Yang kalau bicara mulutnya tidak bisa dijaga dan tingkah sombongnya melebihi Cleopatra?
Sepertinya dia belum puas membuat gadis itu marah-marah.
Di sisi lain Rene benar-benar sedang dalam suasana hati yang buruk. Ini pertama kalinya dia ditipu lawan kencannya—biasanya, dia yang melakukannya. Apalagi, hal itu terjadi di hadapan Julian, dan sekarang dia berkeliaran sendirian.
Tentu, bukannya tidak ada yang mendekati. Si Mario itu tadi, dari tatapan matanya saja Rene sudah tahu dia memiliki minat tinggi kepadanya, juga pria-pria lain yang hadir di sana.
Tapi Rene cenderung jujur dengan suasana hatinya. Dia tidak akan memaksakan bercengkrama saat sedang enggan, dia terus kabur-kaburan dari para lelaki itu.
Ia melirik ke arah Julian yang juga sedang mengikuti acara gathering itu sesekali.
Cih! Sungguh menyebalkan berada satu atmosfir dengannya. Lelaki murahan itu! Bagaimana dia membiarkan dirinya dikelilingi gadis-gadis seperti di tengah pameran.
Memuakkan! Hatinya dongkol sekali. Sungguh sebuah kesialan bertemu Julian di sini. Acara gathering paling menyebalkan yang pernah dia hadiri.
Rene memutuskan melampiaskan semuanya pada makanan saat waktunya tiba. Untunglah, dia bukan tipe gadis yang mudah gemuk. Rene mencari di antara hidangan Eropa tersebut yang menggungah seleranya.
Hingga tiba-tiba dia menabrak seseorang yang sedang berdiri di sana.
“Ah, So—“ ia mengangkat wajahnya. “Kau!” Rautnya sontak berubah geram.
“Sudah menabrak, tidak meminta maaf!” ketus Julian.
“Salahmu sendiri! Kenapa berdiri di sana?”
“Aku tidak melihat rambu-rambu dilarang berdiri di sini. Apa kau melihatnya?”
“Cih!” Rene mendongkol lagi. “Kau benar-benar mau mencari masalah denganku ya?”
“Apa itu yang akan kau katakan jika mobilmu menabrak mobil lain yang sedang parkir?” geram Julian.
Rene menggeretakkan giginya.
Tuhan! Kenapa bisa Dia menciptakan makhluk yang begini menyebalkan?
“Aku tidak akan pernah meminta maaf kepadamu! Lagipula, aku tidak melihatmu.”
“Tidak akan meminta maaf? Sangat khas Pradipta,” sinis lelaki itu.
“Apa kau bilang?” Rene mengecamkan matanya. “Jangan menyebut—“
“Rene! Julian! Kalian di sini rupanya!”
Kedua pasangan yang tadi menghilang sebelum acara itu kembali lagi. Aldo dan Melly menghampiri mereka, sambil bergandengan tangan. Sepertinya ada sebuah kejadian luar biasa jika dilihat dari wajah mereka yang lebih cerah dari kembang api.
“Kami mau bicara dengan kalian! Sebentar saja!” Aldo dan Melly menarik pasangan mereka masing-masing agak menjauh dari keramaian. Rene dan Julian saling bertukar tatap heran ketika diseret menuju balkon.
“Ka-kami… mau meminta maaf kepada kalian,” aku Melly.
“Tapi kami juga sekaligus mau berterima kasih kepada kalian, karena berkat kalian… kami akhirnya…” malu-malu Aldo melirik Melly, “kami sekarang sudah jadi sepasang kekasih.”
“Apa!?” Rene dan Julian terperangah bersamaan.
“Yaaa… kami sebetulnya bertetangga, dan bersahabat sejak kecil. Aku mengasuhnya sejak lahir,” kata Aldo yang lebih tua 7 tahun dari Melly. “Tadi kami bicara dari hati ke hati, dan baru menyadari bahwa… walaupun kami sering bertengkar, sebetulnya kami… sudah lama saling mencintai.”
Melly tersenyum imut, “Aku sering sebal melihatnya bersama gadis-gadis lain. Aku tidak menyadari kalau aku ternyata cemburu. Apalagi, sebetulnya tidak ada yang lebih mengerti aku dari Aldo.”
“Kami sering saling mengejek hanya karena menutupi perasaan dalam hati kami.”
“Tapi sekarang semuanya sudah terbuka dan tidak ada salah paham lagi,” imbuh Melly, ia lantas meraih tangan Julian, dan Aldo meraih tangan Rene. “Jika bukan karena kalian yang membawa kami kemari, mungkin kami masih belum menyadarinya. Terima kasih ya!” ucapan Melly sungguh-sungguh.
“Sekarang kami mau pulang dulu. Terima kasih, Julian, Rene,” pamit Aldo.
Julian dan Rene hanya bisa bengong tanpa berkomentar apa-apa.
“Ternyata, ada juga kisah cinta yang seperti itu, aneh sekali,” gumam Rene heran sekaligus meremehkan.
“Kami sering saling mengejek hanya karena menutupi perasaan dalam hati kami.”
“Yah, setidaknya, sekarang jelas sudah siapa yang mengidap lolita syndrom, pasanganmu itu tadi!” serang Julian.
“Apa perlu aku ingatkan kalau si Merry—“
“Melly.”
“Yeah, whatever! Dia itu berkutu dan berkutil!”
“Itu dulu! Tapi Aldo masih ompong, sampai sekarang!” Julian mencondongkan wajahnya.
“Ikh!” Rene membuang wajahnya dan mendelik, “awas kalau kau berbuat kurang ajar lagi,” kecamnya.
“Kau sendiri, mau sampai kapan kau menggenggam tanganku?” tanya Julian datar.
Rene tertegun, mengamati tangannya dan tangan Julian yang sedang bergenggaman karena ulah Melly dan Aldo tadi yang mempertemukan tangan mereka.
“Ikh!” pekik Rene tertahan, sontak menarik tangannya dari Julian. “Menjijikkan!” Rene bergidik, melap tangannya pada dress yang ia kenakan sambil bergidik.
Julian mengeratkan rahangnya, menatap Rene tajam.
“Apa!?” bentak Rene, mengangkat dagunya.
“Tidak ada,” tanggap Julian datar. “Aku hanya bingung kenapa banyak yang mengatakan kau adalah primadona dan lain sebagainya.” Ia mengamati Rene dari atas ke bawah. “Aku sama sekali tidak melihat ada yang menarik darimu.” Ia mengingkari kata hatinya sendiri.
“Hal yang sama kukatakan kepadamu,” Rene balik menyerang. “Lelaki murahan sepertimu, berdekatan saja aku sudah mual. Mungkin sudah ada dalam gen mu kalau kalian membawa DNA menyebalkan.”
Keduanya saling menatap penuh kegeraman. d**a mereka mengembang dan mengempis penuh rasa kesal.
“Tidak perlu bicara lagi. Persiapkan saja dirimu untuk menjadi pelayan pribadiku. Dan asal kau tahu, aku tidak suka seseorang yang tidak melakukan pekerjaannya dengan layak. Sebaiknya kau mulai training dari sekarang,” Julian meraih dagu Rene yang runcing.
Tatapan keduanya bertemu, dan secepat kilat gelombang listrik meluncur tersebar ke seluruh sel tubuh mereka. Rene membuang wajahnya cepat, berusaha menenangkan dirinya.
“Hal yang sama kukatakan kepadamu,” gumam Rene geram, sebelum kembali menatap tajam. “JU-LI-AN.”
Keduanya saling menatap seakan-akan listrik saling menyerang dari bola mata mereka.
"Rupanya kau di sini, Rene," sebuah suara memecah ketegangan keduanya.
Mario sudah berdiri di pintu dan menghampiri Rene. sambil menatap Julian dia bertanya, "Apa ada yang mengusikmu, Rene?"
Julian mendengus dan menatap dingin.
"Kau juga berada di sini rupanya."
"Sudah lama tidak berjumpa, Julian."
Rene tertegun. Mereka saling mengenal?
"Ayo Rene, kita masuk. Dingin di sini kau bisa masuk angin."
Rene tidak menunggu lama, gadis itu melangkah kembali ke dalam pesta bersama Mario, dengan kemarahan tergambar di wajahnya.
Julian sejenak mengamati keduanya berlalu. Jadi, pria yang paling memuakkan berteman dengan wanita yang paling menyebalkan? seharusnya dia sudah bisa menduga hal itu.
Di pesta itu, tidak sekali dua kali Julian dan Rene saling bertemu pandang dengan satu sama lain. Walaupun keduanya bertahan dengan wajah kecut, dan semakin kecut saat mata mereka bersirobok di ruang pandang, sesuatu mengusik mereka, atau mungkin mengatur mereka—di luar logika, hingga sering sekali tatapan keduanya bertabrakan.
Dua jiwa itu merasa dunia semakin sempit sejak mereka bertemu. Seakan mereka tidak bisa lagi, berlari dari satu sama lain.