10. Semua Sudah Terlambat

1450 Words
"Kin, hari ini live seperti biasa, 'kan?" Mendengar Sera yang akhir-akhir ini sangat pendiam tiba-tiba saja mengajak berbicara terlebih dahulu, Kinkin tanpa sadar mengerjap senang. Cepat-cepat dia mengangguk dan menjawab penuh semangat, "Iya, Mbak. Setengah jam lagi mulai." "Hasil dari live gimana?" Setelah hampir tiga minggu berlalu, baru hari ini Sera menanyakan tentang perkembangan pendapatan mereka. Biasanya, Sera selalu rutin memeriksanya setiap hari. Namun, akhir-akhir ini kepala Sera seperti kosong, tidak bisa memikirkan hal lain kecuali kenangan hina itu. Semua yang coba dia kerjakan pun tidak berhasil baik adanya. "Menurun, Mbak," jawab Kinkin sedih. "Jumlah penonton berkurang?" tanya Sera lagi. Kinkin mengangguk pasrah. "Hilang sepertiga, Mbak." "Nanti sepuluh menit sebelum mulai panggil aku ya," pinta Sera. Sontak saja Kinkin mengerjap kaget. "Mbak Sera mau ikut?" Sera mengangguk kecil. "Aku temani, tapi tetap kamu yang handle." "Siap, Mbak." Sesungguhnya, Sera tidak yakin jika dirinya sudah mampu untuk ikut dalam live lagi. Namun, dia tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini, bukan? Sera merasa jika dia harus melawan ketakutannya untuk bisa kembali menjalani hidup dengan normal. Seorang Abram tidak boleh meluluhlantakkannya sampai tidak bersisa. Mungkin dirinya sudah tidak layak lagi untuk mengejar cinta Keifer, tetapi untuk tetap hidup dengan baik rasanya dia masih pantas. Ketika hampir tiba waktunya untuk live, Sera harus kembali diperhadapkan pada situasi sulit yang membuatnya ingin lari saja. Setiap kali menginjak karpet berwarna nila tempat Abram kembali menodainya dengan keji, Sera masih saja gemetar dan merasakan dorongan untuk memuntahkan isi perutnya. Namun, Sera menguatkan diri untuk bertahan. Kemudian, saat matanya menatap lurus ke arah kamera ponsel yang terpasang pada tiang ring light, ingatan akan malam itu kembali terasa nyata dan mencekiknya sedemikian rupa. Kinkin menyadari semua keanehan itu. Bibir pucat Sera, tubuhnya yang gemetaran, serta peluh yang terus mengalir di sekitar kening dan tengkuk bosnya. Cepat-cepat Kinkin mendekat sebelum live dimulai. "Mbak Sera sakit?" "Aku enggak apa-apa," sahut Sera berdusta. "Muka Mbak pucat banget loh," ujar Kinkin khawatir. Saras mendekat dari belakang dan melihat jejak keringat di pakaian Sera. "Mbak juga berkeringat begini, baju sampai basah." "Mungkin gerah." Kembali Sera berdusta. "Mbak, kalau memang enggak kuat ikutan live, enggak apa-apa kok," bujuk Kinkin menenangkan. Sera menggeleng keras kepala. "Aku harus ikut." "Mbak yakin?" tanya Saras sangsi. "Hm." Sera mengangguk penuh tekad. Kinkin cepat-cepat berpesan karena Jeje sudah memberi kode untuk segera memulai live mereka. "Kalau memang enggak kuat, nanti tinggalin aja ya." Nyatanya, meski tekad Sera sangat kuat, dia tetap saja kalah. Sera hanya mampu bertahan sekitar sepuluh menit sebelum melarikan diri dari kamera. Sama seperti live yang lalu, kali ini pun Sera langsung berlari menuju kamar mandi dan menguras isi perutnya di sana. Di tempat berbeda, seorang pria menggeleng frustrasi ketika melihat Sera tiba-tiba menghilang dari layar ponsel. "Dia begini lagi," desah Keifer putus asa. Dari gerak-gerik Sera dan raut mukanya selama live tadi, Keifer tahu ada yang tidak beres dengan perempuan itu. Asal tahu saja, sejak Sera aktif melakukan live selama lima bulan terakhir, Keifer hampir tidak pernah melewatkan satu kali pun menonton perempuan itu. Melihat Sera beraksi di depan penonton untuk menjual rancangannya dengan gaya santai dan kocak membuat Keifer merasa terhibur. Lelahnya pekerjaan dan penatnya beban pikiran seakan-akan dapat sedikit terobati ketika melihat wajah ceria Sera dan mendengar tawanya yang renyah. Sayangnya, tiga minggu terakhir Keifer kehilangan semua itu. Jujur saja, selama ini dia bukan tidak memendam rasa untuk Sera. Hanya saja Keifer merasa hal itu tidak pantas. Sera berhak mendapatkan pria yang jauh lebih layak darinya. Pria dengan latar belakang dan masa lalu yang bersih, bukan sosok seperti dirinya. Namun, ketika Keifer mulai memberanikan diri untuk menganggap dirinya pantas bagi Sera, perempuan itu berubah dalam sekejap. Tepat di tengah keruwetan pikiran Keifer, Jett muncul di pintu ruang kerjanya. "Keif, aku boleh masuk?" "Ada apa, Jett?" tanya Keifer heran. Biasanya jika ada Jett membutuhkan sesuatu, pria itu yang akan memanggilnya, bukan malah mendatangi seperti ini. Jett melangkah masuk, lalu berujar dengan wajah serius, "Ada sesuatu yang perlu aku tanyakan." Keifer menatap Jett dengan waspada. "Apa itu?" "Ada apa dengan kamu?" tanya Jett blak-blakan. Kening Keifer langsung berkerut seraya dia menunjuk dirinya sendiri. "Aku?" Jett mengangguk cepat. "Akhir-akhir ini aku mendapati kamu beberapa kali melamun saat rapat." "Maaf," ujar Keifer dengan perasaan bersalah. Memang benar jika dia seperti itu. Dalam rapat yang baru saja mereka selesaikan hari ini pun beberapa kali Keifer tidak fokus. "Apa yang salah dengan kamu?" tanya Jett tanpa nada menghakimi. Suaranya malah terkesan iba dan khawatir. "Aku hanya memikirkan Sera," jawab Keifer jujur. "Keanehan sikapnya masih terus berlanjut dan itu mengusik aku." "Apa kamu belum tahu penyebabnya?" Sedikit demi sedikit Jett harus mulai merelakan jika sekarang laki-laki yang paling dekat dengan Sera adalah Keifer, bukan lagi dirinya. Selama ini, dia adalah tempat Sera mengadu dan menceritakan semua hal. Jett bahkan lebih dekat dengan Sera ketimbang Raline. Bukan karena rasa sayang yang berbeda, hanya saja Sera lebih terbuka dan senang bermanja-manja, sementara Raline cenderung agak tertutup dan pemalu. Keifer menggeleng lesu. "Sera sama sekali tidak mau terbuka." Jett mengembuskan napas, kemudian mengungkapkan sebuah pemikiran yang sebenarnya dia sendiri ragu. "Apa mungkin dia marah dan kecewa sama kamu, lalu patah hati berat?" "Rasanya bukan itu.” Keifer langsung menggeleng. “Kalau memang hanya marah, tidak mungkin Sera sampai seperti ini. Kalau marah, Sera seharusnya jadi sangat agresif menyerang. Bukannya malah jadi pasif begini." "Benar juga.” Keifer mengangguk setuju. “Rupanya kamu memang sangat mengenal dia." Dalam hati Jett mengakui, nyatanya sekarang ini bukan saja Sera yang begitu bergantung kepada Keifer, pria itu pun memiliki kepedulian yang teramat besar untuk adiknya. Sudah sewajarnya jika hubungan mereka direstui. Wajah Keifer terlihat senewen ketika berkata, "Jett, kalau tidak ada lagi yang mau kamu bicarakan, boleh izinkan aku pergi?" "Kamu mau ke mana?" "Menemui Sera," jawab Keifer apa adanya. Jett mengernyit bingung. "Tanpa alasan?" "Aku mau memeriksa keadaannya." "Memangnya kenapa?" "Sera meninggalkan live lagi." Kening Jett makin berkerut. Dia sama sekali tidak tahu-menahu soal kegiatan adiknya. Segera saja Keifer menjelaskan, "Sudah tiga minggu dia jarang muncul saat live. Beberapa hari yang lalu sempat muncul, tapi hanya sebentar. Sekarang juga begitu." Jett mengangguk paham. "Pergilah, temui dia." Tanpa menunda lagi, Keifer langsung melesat meninggalkan ruang kerjanya di BLC Corp. Dia berjalan menuju area parkir tanpa memedulikan siapa saja yang berpapasan dengannya. Keifer mengemudi secepat yang dia bisa dan tiba di Accentuate sekitar 40 menit kemudian. Keifer masuk tanpa ragu, kemudian langsung bertanya kepada Saras, "Sera ada di mana?" "Di atas, Mas." Melihat Keifer yang tergesa-gesa jelas membuat Saras bingung. Akhir-akhir ini Keifer jadi sering datang ke Accentuate, padahal dahulu paling anti. Sebisa mungkin selalu menghindar. Jika tidak terpaksa, pasti sosoknya tidak akan muncul di sini. Namun, sekarang tanpa diminta pun Keifer berkunjung terus. "Apa dia bisa ditemui?" tanya Keifer waswas. Saras meringis, bertukar pandang dengan Kinkin dan Jeje yang kebetulan sedang berada di bawah juga, kemudian menggeleng ragu. "Saya enggak yakin, Mas." "Biar saya coba dulu," putus Keifer pantang menyerah. Tanpa berlama-lama lagi dia segera menaiki tangga untuk menemui Sera. Begitu Keifer muncul, Sera langsung bertanya dingin, "Mau apa lagi kamu ke sini?" "Melihat keadaan kamu.” "Untuk apa?" Sebenarnya Sera sudah mendengar kedatangan Keifer sejak pertama pria itu menginjak pintu masuk. Sera terlalu mengenal Keifer, bahkan langkah kakinya saja dia hafal. "Aku khawatir karena kamu tiba-tiba meninggalkan live dan tidak kembali lagi," jawab Keifer jujur. Wajah Sera tampak terkejut. "Sejak kapan kamu suka menonton live Accent?" Keifer tersenyum samar. "Jauh lebih lama dari yang kamu tahu." "Sekarang kamu sudah lihat aku baik-baik saja. Jadi, pergilah!" ujar Sera tanpa perasaan. Melihat Keifer selalu menimbulkan perih di hatinya. Kesadaran bahwa dia tidak lagi pantas untuk pria ini selalu membuat Sera merasa putus asa. Selama ini dia menjaga dirinya baik-baik untuk Keifer, tetapi ketika perjuangannya nyaris selesai, semua musnah begitu saja. Meski telah diusir, Keifer sama sekali tidak beranjak. Dia tetap di sana, bahkan berjalan makin dekat. Keifer memandangi Sera lekat-lekat, mencoba membaca pikiran perempuan itu. Setelah lelah mencoba, akhirnya Keifer bertanya, "Sera, apa kamu akan terus berkeras untuk tutup mulut?" "Soal apa?" "Aku dan semua orang yang kenal dekat dengan kamu pasti tahu kalau ada sesuatu yang salah. Hanya saja kami tidak tahu apa itu," ujar Keifer sedih. Sera mendengkus sinis. "Sejak kapan kamu peduli sama aku?" "Sejak awal aku selalu peduli." Senyum Sera tampak getir. "Bukan itu yang kamu tunjukkan selama ini." Keifer sadar jika perkataan Sera memang benar. Selama ini dia mati-matian bersikap menjaga jarak dan terlihat seolah-olah tidak peduli. Namun, sekarang dia menyesalinya. "Dulu aku tidak bisa, sekarang keadaan sudah berbeda." "Sayangnya sudah terlambat.” ujar Sera miris. Andai Keifer mengatakannya sebelum kejadian yang dia alami bersama Abram, Sera pasti sudah melemparkan diri ke pelukan pria ini. “Seharusnya kamu tunjukkan sejak lama karena sekarang aku yang enggak bisa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD