“Mbak, makan di luar yuk! Satu minggu lebih makan di sini terus, Mbak Sera memangnya enggak bosan?" Kinkin mulai mengeluarkan jurus mautnya. Merengek sambil setengah memaksa.
Andai ini terjadi beberapa waktu lalu, Sera pasti langsung kalah. Dia tidak akan tahan mendengar rengekan Kinkin lama-lama. Lagi pula, Sera tidak tega.
Namun, Sera yang sekarang tidak lagi sama. Tanpa perlu mempertimbangkannya, Sera langsung menolak. "Aku malas ke mana-mana."
"Enggak ke mana-mana, Mbak," bujuk Kinkin pantang menyerah. "Cuma makan doang."
"Aku mau di sini aja," sahut Sera tidak goyah. "Kalau mau makan di luar, kalian aja."
Kinkin mengentakkan kaki seraya mendengkus sebal. "Mana tega deh kita tinggalin Mbak Sera sendirian!"
"Jadi, maunya gimana?" balas Sera lelah.
Ketiga karyawan Sera langsung menjawab serentak, "Maunya Mbak ikut!"
"Kalian aja ya. Enggak usah pikirin aku." Sera terus saja menolak mereka. Namun, seketika Sera teringat sesuatu dan langsung berujar dengan panik, "Eh, tapi jangan!"
Sontak ketiga karyawan Sera melongo.
"Jangan pergi bertiga," ujar Sera lagi. "Perginya berdua aja."
Kebingungan makin tampak jelas di wajah ketiga karyawan Sera. Mereka saling berpandangan penuh tanya.
"Jangan semua pergi, nanti aku sendirian di sini," ucap Sera gelisah. "Harus ada yang tetap di sini temani aku."
"Kalau gitu, kita semua di sini aja," putus Jeje yang langsung diikuti anggukan kepala kedua rekannya.
Akhirnya, mereka kembali menikmati makan siang yang sepi dan membosankan di Accentuate, padahal biasanya waktu ini selalu menjadi saat yang paling menyenangkan. Sera terbiasa mengajak mereka makan bersama dan melewati waktu sambil bergosip serta berkelakar. Mengisi tenaga dan membangun suasana hati sebaik-baiknya sebelum melakukan live. Kini, hal itu tidak lagi dapat mereka nikmati. Sera bagai raga tanpa jiwa yang hanya terus melamun tanpa peduli dengan sekitarnya.
Sore itu, usai live berakhir yang lagi-lagi tidak Sera ikuti, dia mendengar suara perdebatan yang cukup gaduh di bawah. Inginnya memeriksa ke bawah, tetapi tubuh Sera seakan-akan terpancang di kursi kerja.
Tidak lama berselang, Jeje naik dan rasa penasaran Sera dapat segera tercerahkan. “Ada ribut-ribut apa di bawah?”
Wajah Jeje tampak tidak karuan ketika menjawab, “Ada klien yang protes, Mbak.”
“Protes karena apa?”
“Gaun pesanannya enggak sesuai sama bayangan.”
“Gaun yang mana?”
“Mbak ingat Ibu Atmaja?” tanya Jeje hati-hati. Pasalnya ketika pertama wanita itu datang, Sera yang menangani. Namun, kedatangan selanjutnya tidak lagi karena bertepatan dengan absennya Sera. Sekarang ketika gaun itu telah selesai, semua terlanjur kacau.
Meski mentalnya berantakan, pikiran Sera masih bisa bekerja dengan baik. “Yang pesan gaun untuk menghadiri acara di Kementrian Perdagangan?"
Jeje mengangguk cepat. “Betul, Mbak.”
“Gagal apanya?” tanya Sera bingung.
“Gaun yang kita buat itu panjangnya hanya selutut, model tangannya juga hanya sepertiga lengan. Ternyata Ibu Atmaja maunya semata kaki dan tangannya model penuh.”
Sera mengembuskan napas perlahan. “Jadi, bagaimana?”
Jika seperti ini, kesalahannya memang fatal. Andai yang terjadi sebaliknya, tentu masih dapat diperbaiki. Ukuran yang terlalu panjang bisa dipangkas, tetapi lain ceritanya jika terlalu pendek.
Jeje meringis dan wajahnya tampak serba salah. “Ibu Atmaja minta uangnya dikembalikan.”
“Ya, sudah," ujar Sera pasrah. "Berikan saja.”
Jeje langsung mengernyit tidak heran. Belum pernah dilihatnya Sera mengalah demikian mudah tanpa terlebih dahulu mencoba berdebat. “Tapi, Mbak-”
“Enggak apa-apa, Je." Tanpa ragu Sera memotong ucapan Jeje. "Tolong sampaikan ke Kinkin dan Saras ya.”
Meski sebenarnya tidak setuju, terpaksa Jeje patuh juga. "Oke, Mbak."
Sebelum Jeje menghilang di tangga, Sera cepat-cepat berseru, "Je, kalau sudah langsung balik ke sini lagi ya!"
Ucapan Sera membuat Jeje tidak berlama-lama di bawah. Usai menyampaikan pesan bosnya, dia segera berlari kembali ke atas. "Mbak Sera butuh bantuan?"
Melihat Jeje terengah-engah, rasa bersalah langsung menghinggapi Sera. Sambil meringis dia berkata, "Aku … cuma mau ke toilet aja, Je."
Jeje melongo bodoh. "Kenapa enggak langsung aja, Mbak?"
"Aku mau minta kamu jagain di depan pintu," jawab Sera malu-malu.
Jeje mengerjap bingung sambil menatap ke arah kamar mandi. "Pintunya rusak, Mbak?"
"Enggak.” Cepat-cepat Sera berdiri, lalu berjalan menuju kamar mandi. Di depan pintu, dia kembali berpesan, “Pokoknya kamu jagain ya."
Sejak kejadian yang dia alami bersama Abram, entah mengapa Sera jadi selalu merasa ketakutan. Berbagai hal yang dahulu tidak pernah membuatnya cemas, sekarang mampu menimbulkan ketakutan yang tidak masuk akal dalam dirinya. Salah satunya urusan ke kamar mandi.
Sera takut jika di dalam kamar mandi mungkin ada seseorang yang bersembunyi. Kemudian, jika dia sudah aman di dalam, ketika keluar pun Sera cemas. Bagaimana jika ada orang yang menunggu di luar dan siap menyergapnya? Itulah sebabnya Sera memilih menahan keinginannya ke kamar mandi jika tidak terlalu mendesak. Namun, hari ini dia sudah merasa sangat terdesak.
"Makasih, Je," ujar Sera malu-malu saat keluar dari kamar mandi.
Jeje mengangguk kecil seraya tersenyum kikuk. Namun, dia tidak akan banyak bertanya.
Tidak lama berselang, Saras muncul di ujung tangga. "Mbak, ada tamu."
"Aku sudah bilang enggak mau ketemu klien, Ras,” sahut Sera dingin. “Kalau ada yang datang, langsung Kinkin yang urus aja."
"Yang datang bukan klien, tapi aku." Bukan Saras yang merespon, melainkan Keifer. Seiring suaranya terdengar, sosok Keifer muncul dari belakang Saras.
Melihat Keifer tiba-tiba ada di hadapannya, Sera langsung gelisah. Suaranya terdengar bergetar ketika bertanya, "Mau apa kamu datang?"
Jeje dan Saras segera melipir ke bawah dan membiarkan kedua orang itu berbicara dengan bebas.
Keifer mendekat, memandangi Sera penuh selidik, kemudian bergumam dengan nada kecewa, "Sudah tidak ada lagi senyum di wajah kamu kalau melihat aku."
"Masa-masa itu sudah berlalu, Keif," sahut Sera dingin. Dia bukan tidak bisa melihat kesedihan yang membayang di mata Keifer, hanya saja semua itu tidak berarti apa-apa lagi baginya.
"Apa kamu jadi seperti ini karena kecewa sama aku?"
Sera menggeleng tanpa mau menatap ke arah Keifer. "Aku kecewa sama diri aku sendiri."
Perlahan Keifer duduk di hadapan Sera, lalu bertanya hati-hati, "Apa yang salah dengan kamu?"
"Cepat katakan saja alasan kamu ke sini," ujar Sera datar.
"Aku membawakan sesuatu untuk kamu." Keifer mengulurkan sebuah kantung kertas berukuran sedang ke seberang meja. Sebisa mungkin dia menjaga jaraknya agar tidak terlalu dekat dengan Sera. Keifer masih bisa mengingat dengan jelas tatapan ketakutan Sera yang penuh penolakan malam itu.
Sera melirik sekilas, tetapi tidak menyentuhnya. "Apa ini?"
"Ponsel baru. Ponsel lama kamu tidak bisa diselamatkan." Saat mendatangi Accentuate usai Sera menghancurkan ponselnya, Keifer berinisiatif memunguti pecahan benda itu. Hal yang paling penting harus Keifer amankan adalah memori ponsel Sera.
"Kamu ambil ponsel yang hancur itu?" tanya Sera terkejut.
"Aku coba perbaiki."
"Enggak ada yang minta kamu memperbaikinya, Keif,” ujar Sera gusar. “Aku sengaja bikin itu hancur. Jangan coba-coba diperbaiki!"
Susah payah Sera menghancurkannya, tetapi Keifer malah memunguti dan mencoba menyatukannya kembali. Benar-benar meresahkan! Sera yakin jika Keifer dapat melakukan berbagai cara untuk membuat ponselnya bekerja kembali. Baik di tubuh yang lama atau baru, semua akun dan aplikasi dalam ponsel Sera pasti dapat diaktifkan kembali oleh Keifer.
"Aku tidak perbaiki. Aku belikan yang baru."
Sera menggeleng penuh penolakan seraya mendorong kembali kantung kertas yang Keifer berikan. "Aku enggak butuh ponsel baru."
"Kalau kamu tidak pakai ponsel, kamu akan sulit dihubungi."
"Aku tidak merasa perlu," sahut Sera keras kepala.
"Kamu mungkin merasa begitu, tapi aku sebaliknya,” ujar Keifer tanpa berusaha menutupi kecemasan dalam suaranya. “Aku perlu untuk bisa menghubungi. Aku perlu tahu keadaan kamu."
Sera memikirkannya beberapa saat, kemudian menyadari kebenaran kata-kata Keifer. Semua orang pasti akan kebingungan jika dia tidak bisa dihubungi. "Nomor mana yang kamu pakai untuk ponsel baru ini?"
"Nomor baru." Entah bagaimana, Keifer memiliki dugaan jika Sera ingin berhenti dihubungi oleh pihak yang membuatnya merasa terganggu. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk membeli nomor baru bagi Sera.
"Siapa aja yang tahu nomornya?"
"Sejauh ini baru aku."
"Akun-akunnya?"
"Belum terhubung. Mau aku aktifkan?"
"Jangan!" desis Sera seraya menggeleng panik.
Reaksi Sera jelas membangkitkan kecurigaan Keifer. "Kenapa?"
"Biar saja seperti ini. Aku tidak butuh lagi berurusan dengan orang banyak."
Dugaan Keifer makin kuat jika Sera memang ingin memutus kontak dengan pihak luar. "Kamu masih perlu mengelola media sosial demi urusan pekerjaan, Sera."
"Urusan pekerjaan bisa langsung ke akun Accent,” bantah Sera cepat. “Untuk aku sendiri, biar orang-orang menganggap aku hilang."
Kening Keifer berkerut dalam.
"Nama Sera tidak perlu ada lagi,” lanjut Sera setengah melamun. “Biar nama Sera perlahan menghilang dan terlupakan."