4. Dusta yang Terus Diulang-ulang

1743 Words
Jett segera berlari menyusul Keifer yang sudah lebih dahulu menghambur ke arah kamar Sera. "Pintunya terkunci!" desis Keifer panik sambil mengguncang pegangan pintu kamar Sera dengan kasar. Jett segera menggedor pintu kamar adiknya seraya berteriak, "Sera, buka pintunya!" "Kita dobrak saja!" usul Keifer tanpa pikir panjang. Terlalu lama jika harus membukanya dengan alat. Jett mengangguk setuju. Keduanya segera mengambil ancang-ancang. Mereka menjauh dari pintu, lalu menendangnya kuat-kuat bersamaan. Tenaga dari dua pria bertubuh tinggi tegap yang sedang dilanda kecemasan jelas tidak dapat dianggap sepele. Hanya butuh tiga kali tendang dan sekali terjangan saja pintu kamar Sera sudah jebol. Keifer langsung masuk mendahului Jett. Dalam keadaan biasa, Jett pasti akan membahas hal ini. Namun, sekarang dia membiarkannya saja. Lagi pula, Jett bisa melihat sebesar apa rasa khawatir Keifer untuk Sera dan dia yakin dugaannya tidak keliru. "Sera!" Keifer mendelik ngeri melihat Sera tengah terduduk di lantai dengan tatapan menerawang, memandangi gundukan kecil yang terbakar tidak jauh darinya. Keifer bergegas menuju kamar mandi. Dia membasahi keset, lalu kembali menghampiri Sera untuk mematikan kobaran api. Saat itulah Keifer melihat Jett sudah lebih dahulu berjongkok di hadapan Sera. "Sera, apa yang kamu lakukan?" Jett mengguncang bahu Sera sambil bertanya gusar, "Apa yang kamu bakar?" Sera menjawab datar tanpa balas menatap Jett sama sekali, "Bukan apa-apa." Keifer ikut berjongkok untuk memeriksa sisa gundukan yang tadi terbakar. Keningnya berkerut. "Ini seperti potongan pakaian." "Itu cuma rancangan yang gagal," ujar Sera dingin. Baik Keifer juga Jett merasa ada yang janggal di sini. Keduanya saling bertatapan dengan soror curiga. Seolah-olah sadar dengan kecurigaan mereka, Sera segera menambahkan, "Aku kesal karena sudah susah payah mengerjakannya, tapi malah gagal." "Jadi, ini yang membuat kamu bersikap aneh?" tanya Keifer hati-hati. Sera mengangguk kaku. Jett mendesah jengkel. "Tapi seharusnya kamu tidak membakar barang di kamar. Kamu tahu kalau alarm akan berbunyi, 'kan?" Untuk pertama kalinya Sera menatap Jett malam itu, kemudian menjawab tidak peduli, "Aku lupa." Jett terdiam mengamati sikap adiknya. Tatapan Sera malam ini terlihat janggal. Sorot matanya kosong dan dingin. Keifer menepuk pundah Jett perlahan. "Sebaiknya kalian turun saja, biar aku yang bereskan kekacauan ini." "Aku malas turun.” Sera menolak dengan cepat. "Jangan macam-macam!" desis Jett sambil mendelik jengkel. "Hari ini ulang tahun kamu, Sera." Meski enggan, Sera tidak bisa berbuat banyak. Andai dia tetap berkeras ingin di kamar pun, Jett bisa menyeretnya dengan mudah ke bawah. Sesungguhnya hal yang paling Sera khawatirkan adalah serangan pertanyaan dari keluarganya. Dia tidak mungkin menjelaskan hal yang sebenarnya terjadi. Namun, mengarang cerita dusta pun melelahkan. Pilihan terbaik adalah diam dan tidur saja di kamar. Nyatanya dugaan Sera memang terbukti. Saat semua keluarga sudah kembali berkumpul di dalam rumah, pertanyaan demi pertanyaan silih berganti ditujukan kepadanya. "Aduh, Sera!” ujar Aubrey gemas setelah Jett menceritakan penyebab alarm kebakaran bisa berbunyi. “Kenapa kamu bikin heboh begini?" "Maaf, Ma," sahut Sera lesu. "Sudah, sudah, kita makan saja.” Segera Evrard melerai keributan itu. Dia tidak tega melihat wajah lesu putrinya. “Semua pasti sudah lapar." Jika Evrard sudah bertitah, semua pasti patuh. Tidak ada yang membantah, semua berpindah ke meja makan tanpa banyak protes lagi. Cheri yang duduk persis di sebelah Sera tiba-tiba saja menyikut perempuan itu. "You enggak panas?" "Hm?" Sera menoleh, lalu menatap keponakannya dengan tatapan tidak mengerti. "Why you choose tangan panjang?” Cheri menunjuk blus berlengan panjang yang Sera kenakan. “I think this night gerah banget." "Lagi pengin aja," balas Sera asal. Sebenarnya, bukan tanpa alasan dia menggunakan pakaian berlengan panjang. Hal itu dia lakukan demi menutupi luka dan lebam yang tampak di bagian lengannya. Celana pun demikian. Dalam beberapa hari mendatang, Sera harus terus berpakaian serba panjang untuk menutupi semua itu. Untung saja Abram tidak meninggalkan jejak sama sekali di area wajah. Jika sampai demikian, Sera tidak tahu bagaimana cara menutupinya. "Kamu lagi sibuk ya?" tanya Raline yang duduk di sebelah Sera pada sisi berlainan dengan Cheri. Sera mengangguk kecil. "Lumayan." "Sepertinya Accentuate berkembang pesat," puji Raline bangga. "Enggak pesat, tapi cukup ada progres," sahut Sera merendah. "Kalau butuh sesuatu, jangan ragu untuk bilang," ujar Noe menyambung ucapan istrinya. Sera tersenyum samar. "Thank you, Noe." Jett yang duduk di seberang Sera ikut bertanya, "Butuh suntikan dana?" "Sejauh ini belum.” Sera menggeleng cepat. “Lagian aku masih punya tabungan." Jett tersenyum menggoda, tetapi tatapan matanya terlihat bangga. "Mandiri sekali adik kecil kita." Nayarra mengangguk setuju dengan ucapan suaminya, lalu menambahkan, "Kalau aku bantu promo di akun medsos aku boleh?" "Pasti boleh.” Kali ini Sera langsung setuju. “Thank you, Arra." Sera bisa bernapas cukup lega karena tidak ada lagi yang bertanya tentang keanehan sikapnya. Setidaknya makan malam itu bisa dia lalui dengan baik. Selesai dengan acara makan bersama dan potong kue, mereka kembali ke ruang keluarga. Perbincangan berlanjut disertai penganan kecil yang memanjakan lidah. "Okay, everybody!” Cheri bertepuk tangan meminta perhatian. “Now waktunya buat open kado!" Sera langsung mendesah tanpa minat, lalu bertanya dengan nada memohon, "Aku capek banget hari ini, boleh aku skip aja?" Seketika itu juga Cheri mendelik jengkel, persis seperti Jett. "How come yang birthday malah enggak join buka kado?" Segera saja Sebastian membela Sera. "Mungkin Sera capek, Cheri. Mukanya pucat dari tadi." Kini semua mata tertuju ke arah Sera, membuat perempuan itu mendadak gugup. "Sera, kalau kamu memang capek, naik saja," ujar Evrard penuh pengertian. "Mau Tian temani?" tanya Sebastian sigap. Sera menggeleng pelan. "Enggak usah, Tian. Makasih ya." Kembali ke kamar, Sera langsung berbaring di tempat tidur. Ketika Sera memeriksa ponsel, sebuah pesan dari sosok yang sangat dia benci membuatnya terbelalak. Pesan itu hanya berisi beberapa baris kalimat dan sebuah video. [Abram: Aku enggak bisa berhenti nonton video kita ini. Rasanya ingin terus diulang-ulang. Nanti kita buat yang lebih hebat lagi dari ini ya.] Rasa mual langsung menyerang Sera. Detik itu juga dia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Tanpa perlu memutar video tersebut, Sera sudah tahu isinya. Sebuah rekaman yang Abram ambil diam-diam saat menistakan Sera malam itu. Sera ingat benar jika malam itu dia berusaha menghapusnya. Namun, Abram tidak sebodoh itu. Sebelum tertidur lelap dan berhenti mengganggu Sera, Abram sudah terlebih dahulu memindahkan video tersebut ke komputer. Tentu saja perangkat itu pun dilengkapi dengan sistem keamanan yang cukup canggih. Sera tidak bisa mengaksesnya sama sekali. Setelah memuntahkan seluruh isi perutnya, Sera kembali ke tempat tidur. Namun, pesan dari Abram kembali masuk. Ingin rasanya diabaikan saja, tetapi Sera tidak bisa. Dia khawatir Abram akan bertindak nekat dengan melakukan hal-hal di luar kendali. [Abram: Aku jadi ingat. Jaga baik-baik rahasia kita ini kalau kamu enggak mau video kita tersebar ke mana-mana. Buat aku sih enggak ada ruginya. Muka aku sama sekali enggak kelihatan di sini, yang terlihat jelas itu muka. Kalau sampai tersebar, kamu dan keluarga kamu pasti malu besar.] Sera membanting ponselnya ke lantai beralas karpet tebal. Dia ingin mencoba tidur saja dan melupakan semua. Namun, nyatanya bayangan itu terus menghantui Sera. Baik ketika dia membuka mata, terlebih saat terlelap. Mimpi-mimpinya dipenuhi dengan perbuatan mengerikan yang Abram lakukan. Keringat membanjiri tubuh Sera saat perempuan itu tersentak bangun. Sentuhan Abram masih terasa demikian nyata di sekujur tubuhnya dan sensasi itu membuat Sera merasa kotor. Dari kepala hingga ujung kaki, Sera merasa dirinya sangat kotor. Satu-satunya hal yang dapat Sera lakukan agar bisa merasa lebih baik adalah mandi. Sepanjang malam itu dia duduk di bawah pancuran, menghujani tubuh dengan air, dan terus menggosok setiap jengkal kulitnya. Namun, tetap saja Sera merasa kotor sehingga dia terus mengulanginya sampai menjelang pagi. Alhasil, pagi harinya Sera tidak bisa bangun dari tempat tidur. Ketika matahari mulai meninggi, Aubrey masuk ke kamar putrinya. Cepat-cepat dia menghampiri Sera, lalu meletakkan tangan di kening putrinya. "Sera, kata Aryani kamu terlihat kurang sehat," ujar Aubrey cemas. Pelayan yang bertugas membersihkan kamar Sera tadi melapor dan benar saja, tubuh putrinya terasa hangat. “Kamu demam, Sera.” Sera hanya menanggapi dengan senyum samar. "Sepertinya kamu benar-benar kelelahan. Pantas saja kemarin kamu lesu begitu." "Sera hari ini enggak pergi kerja ya, Ma. Mau tidur aja." Aubrey langsung mengangguk setuju. "Mau ke dokter?" "Enggak usah, Ma." "Ya, sudah. Sekarang kamu makan dulu sedikit, minum obat, habis itu tidur. Setelah itu, Mama tidak akan ganggu kamu. Kamu bisa tidur sampai siang." "Makasih, Ma." Nyatanya keadaan Sera tidak juga membaik. Demam ringan itu ternyata berkepanjangan dan membuat Sera terus mendekam di kamar. Lebih tepatnya mengurung diri di balik selimut tanpa keinginan untuk beranjak dari tempat tidur, kecuali untuk ke kamar mandi. "Sera, sudah dua hari dan kamu masih begini juga. Mama panggil dokter saja ya?" Sebenarnya Aubrey bukanlah ibu yang cerewet. Hanya saja dia tahu jika ada sesuatu yang salah dengan putrinya. Sera itu biasanya kuat. "Enggak usah, Ma. Besok juga sembuh," sahut Sera tenang. "Mama khawatir sekali lihat kondisi kamu,” ujar Aubrey gusar. “Kamu itu jarang sakit dan kalau sakit pun biasanya tidak lama." "Mungkin Sera kemarin-kemarin terlalu maksain kerja, Ma.” "Oh ya, Accent bagaimana tanpa kamu?" "Aman, Ma. Kinkin bisa handle. Sejauh ini enggak ada kendala apa-apa." Setiap hari Kinkin selalu melaporkan perkembangan di Accentuate kepada Sera dan berpesan agar bosnya ini tenang-tenang saja. "Makanan kamu tidak habis lagi?" Aubrey mendelik gusar saat melihat piring Sera nyaris masih penuh. "Kenyang, Ma. Porsinya kebanyakan." "Kebanyakan dari mana, Sera?” desis Aubrey geregetan. “Ini porsi kamu yang biasa." Sera meringis kecil. Dia tahu takaran makannya memang selalu sama. Sera sendiri yang meminta agar semuanya ditimbang dengan cermat. "Mungkin mulut Sera lagi agak pahit, Ma." Aubrey mengembuskan napas perlahan sambil menatap putrinya dengan cemas. "Kamu mau makan apa? Biar Mama minta staf dapur buatkan apa pun yang kamu mau." "Sera lagi enggak mau apa-apa, Ma." "Semua makanan kamu tidak selera. Bagaimana ini?" Sera terselamatkan dari desakan Aubrey berkat kedatangan ayahnya. Evrard berdiri di depan pintu sambil tersenyum lebar. "Sayang, Papa boleh masuk?" Sera mengangguk kecil. "Masuk, Pa." "Ternyata kamu hari ini masih diam di rumah." Evrard mendekat, lalu duduk di sisi Sera. "Besok Sera pasti kerja, Pa." Evrard cepat-cepat menggeleng. "Papa tidak permasalahkan kamu mau kerja atau libur. Yang Papa khawatirkan itu kesehatan bungsunya Papa." "Sera baik-baik aja, Pa. Mungkin kebanyakan kerja beberapa hari kemarin." Selalu dusta itu yang Sera ulang-ulang setiap saat. Tidak terbayang oleh Sera jika kedua orang tuanya tahu dia telah dinodai. Akan sehancur apa hati mereka? "Coba sini Papa lihat." Evrard beringsut mendekat, lalu menarik selimut Sera. Dia berniat membantu Sera untuk duduk. Namun, Sera langsung menepis tangan Evrard seraya berteriak, "Jangan!" Sontak saja Evrard termangu melihat reaksi penolakan dari putrinya, sementara Aubrey mengerjap bingung. "Sera, kamu kenapa?" bisik Evrard dengan perasaan terluka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD