"Kamu mau kerja hari ini?" sapa Aubrey ketika melihat Sera menuruni tangga pagi itu.
"Iya, Ma. Sudah tiga hari,” jawab Sera dengan nada yang sengaja dibuat lebih ceria. “Kasihan anak-anak ditinggal terlalu lama."
Aubrey menghampiri Sera, lalu memeriksa keningnya. "Kamu yakin sudah sehat?"
Sera mengangguk cepat. "Yakin, Ma."
Aubrey memicingkan mata, menilik wajah putrinya baik-baik. "Muka kamu masih kelihatan agak pucat."
Senyum lebar penuh dusta langsung menghiasi wajah Sera. "Rasanya sudah sehat, Ma. Tenang aja."
Sera telah memantapkan hati bahwa dia tidak akan berlarut-larut meratapi hidupnya. Kekurangajaran Abram tidak akan bisa menghancurkannya. Cukuplah empat hari saja Sera membuang-buang waktunya untuk berduka. Kini dia harus kembali kuat. Meski semua tidak akan kembali sama, setidaknya Sera merasa dia tidak boleh hancur.
"Kalau begitu, sini makan dulu!" Aubrey menggamit lengan Sera, hendak membawanya menuju meja makan.
"Enggak usah, Ma. Sera enggak lapar."
"Mana bisa begitu?” protes Aubrey jengkel. “Kamu harus makan, Sera!"
"Nanti aja Sera makan di Accent," jawab Sera cepat.
Jawaban Sera membuat Aubrey mendengkus sinis. "Mama yakin kamu tidak akan makan. Sudah disediakan saja kamu abaikan, apalagi kalau tidak ada."
"Nanti Sera titip sama Kinkin. Sera lagi pengin nasi uduk yang dekat kosan Kinkin," sahut Sera berdalih, padahal sebenarnya dia masih kesulitan untuk memasukkan makanan ke dalam mulut. Rasa mual masih terus mengusiknya. Setiap makanan yang masuk pada akhirnya akan berakhir di closet.
Sebenarnya Aubrey masih sangsi, tetapi dia memilih mengalah. "Kalau begitu, nanti Mama akan tanya sama Kinkin."
Sera segera berpamitan sebelum ibunya berubah pikiran. "Sera pergi dulu ya!"
Di teras, Sera berpapasan dengan ayahnya.
"Sudah mau berangkat, Sayang?" tanya Evrard sedikit canggung.
"Iya, Pa." Sera pun merasakan kecanggungan itu.
"Mau Papa antar?"
"Seri bawa mobil sendiri aja, Pa."
"Sera …," panggil Evrard dengan suara yang terdengar sedih.
"Ya, Pa?"
"Kamu baik-baik saja?" tanya Evrard hati-hati.
Sera mengangguk cepat sambil berusaha menampilkan senyum terbaiknya. "Sera sudah sehat, Pa. Tenang aja ya."
Namun, Evrard masih merasakan sesuatu yang mengganjal. Dia tidak bisa melupakan jeritan Sera semalam, apalagi tatapan matanya yang terlihat ketakutan.
"Sera, kenapa kamu menjerit?" tanya Aubrey bingung.
Melihat Sera meringkuk di sudut tempat tidur, Evrard tidak berani mencoba mendekat lagi. "Apa ada yang sakit?"
"Bukan, bukan!” Sera menggeleng panik. Dia sadar sikapnya barusan akan menimbulkan kecurigaan. “Enggak ada!"
"Kalau begitu, ada apa?" tanya Evrard tidak habis pikir.
"Sera cuma kaget aja," jawab Sera gugup.
Aubrey mengernyit bingung. "Kenapa harus kaget?"
"Tadi Papa tiba-tiba …." Sera tidak mampu menjelaskannya.
"Kamu kaget mau dipeluk sama Papa?" tanya Evrard sedih.
"Biasanya kamu paling senang manja-manja sama Papa," celetuk Aubrey.
Sera mencoba terlihat tenang, lalu menjawab, "Sera cuma agak malu aja."
Sorot mata Evrard benar-benar terlihat sedih saat ini. "Kenapa malu?"
"Sera sekarang sudah umur 23. Sudah makin besar. Malu kalau masih peluk-peluk Papa."
Sama seperti semalam ketika Evrard memandangi putrinya dengan perasaan sedih, sekarang pun demikian. Evrard mengamati punggung Sera yang menjauh menuju mobil. Rasanya ada jarak yang tiba-tiba terbentang begitu jauh di antara mereka saat ini. Putri kecilnya tidak lagi sama.
***
"Mbak Sera belum mau pulang?" tanya Kinkin saat dia dan dua rekannya yang lain sudah siap menutup toko, tetapi sang pemilik masih saja duduk tenang menekuni pekerjaan.
"Kalian duluan aja, aku masih mau di sini,” balas Sera sambil menepuk tumpukan kertas di mejanya. “Banyak kerjaan yang harus aku urus."
"Bisa besok lagi, Mbak," ujar Saras memperingatkan.
Sera tersenyum kecil. "Biar cepat selesai, Ras. Tiga hari enggak masuk, banyak kerjaanku terlantar."
"Justru karena Mbak habis sakit, jangan langsung capek-capek begini," tegur Kinkin khawatir.
"Enggak capek, kok," bantah Sera.
"Mau kita temani, Mbak?" tanya Jeje menawarkan diri.
“Iya, Mbak. Kita temani aja ya?” bujuk Saras.
Sera adalah bos yang baik dan royal, tidak rewel juga pengertian. Oleh karena itu, ketiga karyawannya sangat loyal terhadap Sera. Disuruh lembur pun mereka rela.
"Jangan, kalian pulang aja.” Sera menggeleng tidak setuju. “Selama aku enggak masuk kalian pasti repot."
Kinkin menatap Sera penuh khawatir. "Serius Mbak enggak mau ditemani?"
"Iya. Aku juga enggak akan sampai terlalu malam."
Akhirnya, ketiga karyawan Sera menyerah. Mereka berpamitan dan meninggalkan Sera sendirian.
Sera masih terus bekerja di Accentuate sampai menjelang pukul sembilan malam. Dia melakukannya untuk membunuh segala pikiran dan ingatan yang berseliweran. Menyibukkan diri dengan pekerjaan setidaknya dapat membuat pikiran Sera sedikit teralih.
Ketika waktu menunjukkan tepat pukul sembilan, Sera memutuskan untuk pulang. Setelah memastikan semua aman, Sera menuruni tangga menuju lantai bawah, lalu berjalan ke pintu. Begitu pintu terbuka, dia melihat sosok Abram di sana.
Seketika itu juga tubuh Sera gemetar. "Mau apa kamu di sini?"
Seluruh indera pada tubuh Sera langsung awas. Matanya bergerak cepat melihat sekeliling, telinganya mendengar dengan awas, dan kakinya bersiap untuk berlari sekencang mungkin. Sayang, semua itu percuma. Kawasan ruko tempat Sera menjalankan Accentuate sudah sepi sejak pukul tujuh malam.
Abram tersenyum sinis. "Menemui kamu tentunya."
Pemuda itu bergerak maju, lalu mencekal kedua belah pergelangan tangan Sera.
"Jangan ganggu aku!" Sera meronta dengan cepat. Dia pikir dirinya aman karena ruko sudah dikunci dari dalam saat ketiga karyawannya pulang. Sera tidak menyangka jika Abram akan menunggunya di luar seperti ini.
Dalam sekali gerakan Abram berhasil mendorong tubuh Sera kembali masuk. Dia merampas kunci di tangan Sera, lalu mendorong tubuh perempuan itu hingga terjatuh ke lantai. "Aku bukan mau ganggu, hanya menyelesaikan urusan yang belum selesai."
Sebelum beraksi lebih jauh, Abram mengunci pintu ruko, lalu mengantonginya.
"Urusan apa lagi?" Sera berdiri dengan cepat dan berusaha mengambil kembali kuncinya.
Abram menangkap kedua belah tangan Sera, lalu menguncinya di belakang tubuh. Dia menunduk sambil tersenyum licik ketika menjawab, "Aku belum selesai bersenang-senang sama kamu, tapi kamu main kabur begitu aja. Setelah itu, kamu sembunyi berhari-hari."
"Kamu mematai-matai aku?" tanya Sera marah.
"Jangan bilang begitu.” Abram mendengkus geli. “Aku itu kangen kamu, mau ketemu. Makanya aku cari kamu. Masa dibilang memata-matai."
"Aku mau pulang." Sera meronta sekuat tenaga. Dia bahkan berusaha menendang Abram.
Senyum licik Abram kembali tampak di wajahnya ketika melihat perlawanan Sera yang sia-sia. Dia malah memajukan wajah, lalu berbisik di telinga Sera. "Aku belum mau pisah."
"Lepas!" jerit Sera penuh kebencian seraya menendang dengan membabi buta.
"Jangan kasar sama aku, Sera,” desis Abram dengan nada mengancam. Saat itu juga dia membanting tubuh Sera ke lantai. “Aku bisa jauh lebih kasar ke kamu."
Kesempatan itu Sera pergunakan untuk menjauh. Dia berlari ke arah kamar mandi dan berniat mengunci diri di sana.
"Jangan kabur, Sera.” Sayangnya gerakan Abram jauh lebih cepat. Dia meraih pinggang Sera, lalu mengangkat tubuh perempuan itu. “Kesenangan kita baru mau dimulai. Nanti saja perginya."
Abram membaringkan tubuh Sera di atas karpet bulu berwarna nila, lalu mendudukinya. Kedua tangan Sera dalam posisi terkunci karena ikut diduduki sehingga dia tidak bisa bergerak sama sekali.
"Kamu bukan manusia, Abram!" jerit Sera ketika Abram mengoyak pakaiannya lagi seperti malam itu.
Abram terkekeh puas. "Katai aku apa saja sesuka kamu."
"Kamu enggak ada bedanya sama binatang!"
Abram mencekal pipi Sera, lalu tersenyum mengejek. "Kalau sudah begini, apa kamu menyesal memutuskan aku dan menolak waktu ajak pacaran lagi?"
"Aku menyesal pernah kenal kamu. Aku menyesal pacaran sama kamu." Sera merutuki kebodohannya sendiri. "Kamu enggak lebih dari sampah!"
"Lama-lama aku gerah dengar kata-kata kamu yang kasar. Mungkin sebaiknya aku tutup aja mulut kamu supaya kita bisa menikmati waktu ini dengan tenang."
Abram mengambil pakaian Sera yang koyak, lalu sengaja merobeknya. Dia memakai helaian kain itu untuk mengikat mulut Sera. Tidak berhenti sampai di sana, Abram pun mengikat kaki dan tangan Sera. Abram tersenyum puas melihat Sera tidak bisa berkutik lagi.
Pemuda itu berjalan ke arah tiang ring light yang biasa Sera gunakan untuk melakukan live dari Accentuate. Abram meletakkan ponselnya di sana, lalu mengatur posisi kamera agar mengarah ke titik yang dia inginkan. Setelah puas dengan hasilnya, Abram kembali menghampiri Sera.
Abram berjongkok di sisi Sera, kemudian membalik tubuh perempuan itu sampai tengkurap. Setelah itu, Abram menindihnya seraya berbisik, "Saatnya kita membuat kenangan manis, Sera."