03 - Daddy Yang Panas

1004 Words
Pintu berputar terbuka setelah lampu kembali menyala. Aku nyaris melompat. Dia berdiri di sana, tegap dan tenang, menatapku tanpa ekspresi berarti. Aku keluar buru-buru, mencoba menjauh, tapi tatapannya menelanjangiku tanpa sentuhan. “A-Aku ... maaf tadi kaget karna listriknya..." Suaraku pecah, mataku menunduk, tak sanggup menatap lebih lama. “Jadi ini wajah wanita yang memanggil Daddy sambil nyaris membuka pakaiannya?” suaranya dalam, tenang, tapi penuh godaan halus yang membuat lututku lemas. “Aku minta maaf.” Suaraku serak, nyaris tak terdengar. “Aku mabuk, aku tak tahu kenapa bisa seperti itu. Aku sadar itu salah, maaf sekali lagi, Pak!" Kata-kata itu bahkan terdengar menyedihkan bagi diriku sendiri. Dia menyilangkan tangan di d**a, menatapku dengan senyum kecil yang menusuk. “Kesalahan seperti itu sangat sayang kalau cuma sekali.” Aku menggeleng keras, melangkah mundur. “Aku tidak akan mengulanginya. Aku tahu ini gila.” Tubuhku bergetar saat menyebut nama Alisa dalam pikiranku. “Aku sadar setelah dia datang.” "Dia ... maksudmu, putriku, Alisa?" "Ya...." jawabku pelan. Dia menaikkan alis, bibirnya membentuk senyum tipis. “Tapi kamu masih di sini, di depanku dan wajahmu masih merah.” Tatapannya jatuh ke bibirku yang kugigit gelisah. “Kamu belum berhenti menginginkannya, ya?” "B-bukan begitu,” bisikku pelan. “Jangan katakan hal-hal seperti itu. Aku ingin melupakannya!” Tapi tubuhku tetap berkhianat, setiap napasku menyebut namanya tanpa suara. Dia melangkah mendekat, tatapannya memburu. “Apa kamu benar-benar ingin melupakan, atau cuma pura-pura kuat?” suaranya datar tapi menjerat. “Aku tidak akan menilai, aku hanya heran kenapa kamu berhenti di tengah jalan?” Aku menelan ludah, malu dan takut bercampur. Apa dia serius, atau sedang meledek. “Maaf, aku sudah terlalu jauh.” Dia hanya tersenyum tipis, membuat darahku berdesir. “Tapi aku tidak akan teruskan. Aku sahabat Alisa, aku tidak akan menghancurkan apa pun.” Senyumnya makin dalam, seperti menikmati ketakutanku. “Kamu sudah mengguncang duniaku, siapa tadi, Daddy katamu?" Aku memejamkan mata, mengumpat atas sikapku yang keterlaluan tadi. "Anehnya, aku tak merasa kamu sama dengan putriku. Kamu sedikit ... genit." Aku menggeram tertahan. "M-Maaf." “Hm, kamu mengguncang duniaku hanya dalam sepuluh menit.” Tangannya masuk ke saku, tatapannya menantang. “Sekarang Daddy hanya ingin tahu, kamu akan lari atau kembali?” “Jangan begitu, Om. Maaf aku lancang.” Pria itu malah tertawa, tapi suara tawanya membuatku menggelenyar aneh. “Aku akan kembali ke pesta.” Suaraku tegas meski langkahku gemetar. Aku berjalan melewatinya tanpa menoleh. “Aku akan berpura-pura tidak pernah masuk kamar ini.” “Oh, baik. Tapi sepertinya tubuhmu akan mengingat.” Suaranya terdengar ringan di belakangku, tapi menusuk. Aku membuka pintu dan keluar. Langkahku berat, tapi aku berhasil menjauh dari aroma tubuhnya. “Sial, benar-benar sial!" Jantungku masih berdetak keras. Aku kembali ke pesta dengan jantung berdentum. Lampu-lampu berkilau di langit-langit, musik mengguncang udara, tapi semua terasa hampa. “Selesaikan dan pulang!" kataku pada diri sendiri. “Lea!” Suara Alisa memecah pikiranku. Ia datang dari tengah kerumunan, wajahnya lega sekaligus kesal. “Kamu ke mana aja?” tanyanya dengan nada setengah marah, matanya menyelidik. Aku tersenyum kikuk. “Maaf, aku cuma cari udara segar.” “Udara segar?” Alisa mencibir lembut. “Aku keliling nyari kamu, tahu. Kamu bikin aku panik, Astaga!” Aku nggak bermaksud bikin kamu cemas,” jawabku cepat. “Aku Cuma perlu sendiri sebentar.” Alisa menarik lenganku, matanya berbinar. “Udah, sekarang ikut aku. Malam ini belum selesai.” Ia membawaku ke sudut ruangan. Beberapa orang tertawa sambil mengangkat gelas. Musik makin keras, udara penuh alkohol dan parfum mahal. “Guys, ini sahabat aku, Alea,” seru Alisa. “Baru aja bikin aku stres karena hilang.” Seorang pria bangkit dari kursinya dan menatapku dengan senyum percaya diri. “Gilbert. Temannya Alisa sejak SMA.” Aku menyambut tangannya dengan kikuk. “Hai, Alea.” Suaraku nyaris tenggelam oleh musik. “Kamu beda dari cerita Alisa,” katanya ringan. “Dia bilang kamu kalem dan pintar.” Aku hanya tersenyum kecil. “Mungkin karena kamu dengarnya dari Alisa.” “Aku ambilin kamu minum ya.” Aku mengangkat gelas yang masih kugenggam. “Masih ada, terima kasih.” Alisa tertawa kecil. “Gilbert, hati-hati. Dia kelihatannya kalem, tapi kalau udah tiga gelas, bahaya.” Gilbert menatapku dari ujung kepala. “Kalau begitu, aku tunggu performanya malam ini.” Nada suaranya licin, membuatku ingin pergi. Aku berpura-pura mengecek ponsel. “Aku ke toilet sebentar.” Tanpa menunggu balasan, aku melangkah cepat meninggalkan meja itu. Aku tak tertarik pada Gilbert, tak ingin siapa pun malam ini. Aku hanya ingin melupakan pria di kamar itu. Tapi semakin aku berusaha, semakin kuat jejaknya menempel di kulitku. Air dingin menyentuh wajahku. Kupandangi pantulan diriku di cermin, basah, merah, dan bingung. “Aku harus pulang,” gumamku pelan. Kututup keran dan menarik napas panjang. Sudah cukup aku bermain api. Aku membuka pintu toilet, melangkah ke lorong sepi. Musik terdengar jauh di belakang. Hanya sunyi yang tersisa, membuat langkahku semakin cepat. Aku hendak kembali ke arah pesta, berniat pamit pada Alisa. Tapi baru belok di sudut lorong, langkahku berhenti. Dia berdiri di sana. Menyender santai ke dinding, jas hitam dilipat di lengannya, kemeja putih terbuka di bagian atas, menampilkan dadanya yang kencang. Rambutnya sedikit berantakan, dasinya longgar, satu tangannya memasukkan ponsel ke saku celana. Gayanya terlihat seperti pria yang baru saja keluar dari ruangan penting, siap pergi, tapi tertahan. Tatapannya langsung menangkap mataku. Dingin, tajam, tapi juga membuat jantungku berdetak cepat. Aku refleks ingin mundur, tapi dia lebih dulu melangkah. Langkahnya tenang membuatku merinding. "Ah ... Om, aku mau pamit pulang ke Alisa," kataku gagap. "Em, gadis kecil, jangan buru-buru. Apa kamu takut?" Aku hanya menggeleng ragu dan gemetar. “Aku baru saja berpikir,” katanya pelan, suaranya nyaris lebih berbahaya dari diam. “Kalau aku tak sengaja mematikan lampu tadi ... apa kamu masih akan memanggilku Daddy?” Aku menelan ludah. Udara seolah menguap dari paru-paruku. Dia tersenyum kecil, lalu mencondongkan tubuh, cukup dekat untuk membisikkan sesuatu yang membuat darahku berhenti mengalir. “Karena aku belum sempat menjawabnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD