Bibir kami nyaris bersentuhan. Napasnya hangat, memenuhi udara di antara kami. Aroma wine dari bibirnya membuat tubuhku semakin panas.
“Gadis kecil yang nakal.” Suaranya lirih, nyaris seperti erangan tertahan, sambil jemarinya masih menggenggam daguku. Tatapannya menusuk seolah menguliti pikiranku dari balik gaun tipis ini.
Tiba-tiba terdengar ketukan. Tiga kali, pelan tapi tegas. Seperti cambuk yang menyadarkan kami dari bara yang hampir meledak.
Tubuhnya menegang. Ia menatapku cepat, lalu bergerak tanpa sepatah kata. “Masuk ke kamar mandi,” bisiknya rendah, dingin, dan menggoda.
Aku terpaku. Jantungku berdetak cepat. Tubuhku panas, pikiranku tak mampu berpikir logis. “Apa?” bisikku lemah, kerah kemejanya masih kugenggam erat.
Dia tak menjawab. Hanya meraih pergelangan tanganku, menarikku pelan ke pintu kamar mandi yang temaram dan dingin, memantulkan cahaya lampu gantung dari luar.
Cermin besar dan marmer putih berkilau menyambutku. Terlalu mewah untuk persembunyian. Tapi aku justru mematung di ambangnya.
“Ayo masuk.” Suaranya kini tegas. Tapi aku malah melangkah mundur, memandangi wajahnya yang membuat tubuhku bergelora.
“Sebentar.” Jemariku menyentuh dadanya yang terbuka. “Aku belum selesai menatapmu, Daddy.”
“Daddy katamu,” ucapnya pelan, rahangnya mengeras. Napasnya mulai berat, matanya penuh tekanan yang tertahan.
Tanganku menyusup ke sela kancing kemejanya. Kulitnya hangat. Aku tersenyum manja, mabuk oleh aroma dan hasrat yang menyala di antara kami.
“Kamu tahu kamu juga menginginkannya.” Bisikanku mendarat di bibirnya. Tapi dia menahan wajahku, menekan daguku dengan lembut namun tegas.
“Berhenti.” Suaranya pelan. Tapi cukup untuk menyayat. “Jangan lakukan ini.”
“Aku ingin kamu, Daddy.” Suaraku serak, bisikan yang dibakar oleh api di dalam d**a. Tangan kiriku kini meremas kemejanya dengan keras.
Dia tiba-tiba mengangkat tubuhku. Tanganku refleks melingkar di lehernya. Tubuhku menggantung, hanya ada napas dan detak yang menggila.
Aku kaget. Tapi juga terangsang. Dipeluk seperti ini membuat tubuhku terasa hidup dan siap meleleh.
“Kalau kamu gendong aku begini, aku makin nggak bisa berhenti.” Bisikanku nyaris menyentuh telinganya, tubuhku bergetar oleh gairah yang menyesakkan.
Langkahnya mantap menuju kamar mandi. Nafasnya berat. Tapi tangannya tetap kuat menahan tubuhku yang nyaris terbakar.
Sesampainya di depan kamar mandi, dia menurunkanku perlahan. “Kunci pintunya,” katanya pendek, tatapannya tajam menusuk.
“Tapi aku lebih suka kamu ikut masuk dan kunci dari dalam, Daddy.” Suaraku lembut, namun penuh tantangan. Mataku tak lepas dari miliknya.
Dia diam. Menatapku dengan rahang tegang. Tatapannya seperti badai yang hampir meledak. Tapi lalu dia menutup pintu pelan.
“Jangan.” Suaranya singkat. Kini aku berdiri sendiri di kamar mandi yang terlalu dingin untuk tubuh sepanas ini.
Tubuhku masih gemetar. “Alea, kamu gila.” Kataku pelan, menatap cermin dengan wajah berantakan dan bibir bengkak.
Dress ini terlalu ketat, mudah melorot, dan membuatku terlihat seperti wanita yang haus sentuhan. “Sial,” gumamku lirih.
Tubuhku masih berdenyut. Aroma kulitnya masih melekat di tanganku. Bagian dalam pahaku bergetar, menuntut kelanjutan.
Kutatap refleksiku di cermin. Ada garis tipis di bawah mata, antara pengaruh alkohol dan rasa bersalah.
Aku hampir meniduri ayah sahabatku. Ini gila, tapi aku tidak menyesal. Karena aku memang menginginkannya.
Suaranya masih terngiang di telingaku. Dalam, dingin, berwibawa. Cara dia mengangkat tubuhku membuatku merasa istimewa.
Dia tak menatapku seperti gadis kecil. Dia melihatku sebagai wanita. Wanita yang b*******h dan siap membuat kesalahan.
Tiba-tiba suara pintu terbuka. Aku membeku. Napas tercekat. Langkah kaki masuk perlahan. Lalu terdengar suara yang membuat darahku berhenti mengalir.
“Daddy!” Itu suara Alisa. “Ternyata benar kata resepsionis.” Suaranya pelan tapi jelas. “Ini kamar Daddy.”
Deg. Jantungku nyaris copot. Rasa bersalah dan takut datang bersamaan. Aku berdiri mati di balik pintu.
“Apa kamu sendirian, Daddy?” Suaranya terdengar ragu. Tapi juga menyelidik. Aku menahan napas, jantungku berdegup kencang.
“Maksudmu?” Suara pria itu terdengar tenang. Tidak ada kepanikan sedikit pun.
“Tadi ada pelayan yang lihat perempuan masuk.” Alisa melangkah pelan, high heels-nya bergema lembut.
“Ada banyak tamu malam ini,” jawab pria itu santai. “Mungkin mereka salah lihat. Siapa juga yang mau masuk kamar Daddy?”
“Benar juga,” sahut Alisa. “Aku Cuma cari sahabatku. Nggak ada yang lihat dia turun lagi sejak naik ke atas.”
Aku menutup mulut sendiri. Jantungku menjerit. Tanganku gemetar. Setiap kata Alisa terasa seperti pisau.
“Apa dia seksi?” tanya pria itu santai. Suaranya nyaris menggoda, seperti menusuk langsung ke arahku.
“Kalau iya, mungkin Daddy harus kenalan. Siapa tahu cocok buat teman minum.” Aku ingin ambruk. Wajahku panas karena sadar aku gadis itu.
“Sadarlah, Daddy.” Suara Alisa terdengar kesal. Antara jijik dan kecewa. “Dia sahabatku. Kamu nggak boleh lihat dia seperti wanita biasa.”
“Daddy Cuma bercanda.” Suaranya tetap tenang. “Apa sahabatmu secantik itu sampai kamu cemburu?”
Tawanya ringan. Tapi aku tahu dia sedang bermain peran dengan sempurna. Tubuhku melemas, jiwaku terguncang.
“Hey bukan begitu.” Suara Alisa menguat. “Aku cemburu karena hanya aku yang boleh dekat dengan sahabatku.”
Aku menunduk. Kata-kata Alisa seperti tamparan. Kesadaranku perlahan kembali. Aku terlalu jauh melangkah.
“Alisa, kamu malah bikin Daddy penasaran.” Suaranya masih tenang. Tapi aku bisa merasakan godaan dalam setiap katanya.
“Hentikan, Daddy!” Alisa mengeluh. “Baiklah, aku pergi. Nikmati kesunyian yang kamu sukai. Pasti berat jadi duda seperti ... ah, aku lupa, daddy bahkan tak punya status semacam itu."
Aku memegang dadaku. Kata-kata itu menyentakku. Aku sudah salah bersikap. Tapi yang paling gila, aku masih menginginkannya.
“Anak ini, malah meledek.” Lalu suara pintu ditutup. Dan aku berdiri sendiri dalam kamar mandi yang terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Aku menatap bayangan sendiri di cermin. Napasku belum sepenuhnya tenang. Rasanya seperti baru saja melewati batas yang seharusnya tidak kulangkahi. Air masih menetes di lantai, dingin, dan setiap tetesnya terdengar lebih keras dari biasanya.
Kupikir semua sudah tenang, sampai lampu di atas kepala bergetar pelan. Aku menatap ke arah langit-langit, berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya korsleting ringan. Tapi suara itu datang lagi, samar, seperti langkah kaki di luar pintu.
Aku menahan napas.
“Maaf?” panggilku perlahan.
Tidak ada jawaban.
Langkah itu berhenti, lalu suara gesekan terdengar di dinding. Pundakku menegang. Aku tahu pria itu ada di luar sana. Tapi bisa saja itu Alisa?
Aku mendekat ke pintu dan menempelkan telinga. Hening.
"Apa dia mengantar Alisa ke luar?" gumamku.
Aku terdiam, sampai tiba-tiba lampu padam. Gelap menyergap ruangan, dan sebelum aku sempat bergerak, sesuatu menyentuh bahuku secara mengejutkan.
"Argh!!"