05 - Ah, Om...

1129 Words
Mobil terus melaju. Lampu jalan berkelebat di kaca. Tapi pikiranku mulai kabur. Tubuhku terasa makin aneh. Rasanya seperti panas dari dalam. Bukan karena suhu, tapi dari kulit, dari d**a, dari paha bagian dalam yang mulai gelisah. “Alea, kamu oke?” tanya Gilbert santai, melirik sekilas tanpa curiga. Aku mengangguk pelan. “Iya... mungkin Cuma lelah.” Tapi napasku mulai terdengar berat, dan entah kenapa aku mendesah pelan tanpa sadar. Gilbert menoleh cepat. “Kamu kenapa? Ada yang sakit?” Nadanya tetap sopan, seolah benar-benar khawatir. Aku menggigit bibir, menahan sesuatu yang tidak kumengerti. Badanku seperti kehilangan kendali. Gilbert menghentikan mobil di pinggir jalan. Suasana mendadak sepi. Lampu interior menyala. “Kamu baik-baik aja kan?” tanyanya lagi. Aku menggeleng. “Aku nggak tahu ... tapi kayaknya enggak.” Aku menyatukan lutut, tetapi gesekan kain rok justru memancing geraman pelan dari tenggorokanku. “Maaf, aku nggak biasanya begini.” Dia menyentuh tanganku perlahan. Tapi aku segera menariknya, panik dan reflek menjauh. “Maaf Alea,” katanya cepat. “Aku Cuma mau cek, kamu demam atau enggak. Wajahmu merah banget.” Aku menatapnya dengan pandangan kabur. “Kamu jangan sentuh aku. Aku mau turun di sini.” Gilbert menatapku kaget. “Jangan, itu bahaya. Aku antar kamu sampai kost.” Aku menggeleng keras. “Aku takut ... kalau aku terus bareng kamu, aku bisa melakukan sesuatu yang salah!" tegasku. Kepalaku berdenyut. Tapi pikiranku belum sepenuhnya jernih. Dalam hatiku, aku masih percaya Gilbert orang baik. Dia mengambil satu botol kecil dari konsol tengah. “Minum ini aja lagi, biar nggak makin panas.” Aku mengangguk, mencoba tenang. Kuambil botol itu dan meminumnya perlahan, berharap tubuhku kembali normal. Tubuhku bukannya makin dingin setelah meneguk air itu, malah terasa semakin panas. Kulitku seperti terbakar dari dalam, dan napasku makin tak teratur. Dadaku bergetar, jantungku berdetak tak wajar. Aku menggenggam rokku erat, mencoba mengendalikan diri yang entah kenapa mulai goyah. Setiap getaran roda di aspal memantul ke kursiku, mengirim gelombang panas yang membuat napasku terhenti sesaat. Dalam bayanganku, pria berjas hitam di lorong hotel muncul lagi, tatapannya ganas, senyumnya tajam. Pahaku menegang, jari-jariku meremas rok agar lutut tak terbuka. "Om Kalandra," gumamku tak sadar. Desah tertahan lolos satu kali lagi, lebih berat. "Ah!" “Alea, kamu masih ngerasa nggak enak?” suara Gilbert terdengar dekat, lembut tapi anehnya membuatku makin gelisah. Aku melihatnya meneguk ludah berulangkali. Dia mencondongkan tubuh, jemarinya menyentuh leherku dengan alasan mengecek suhu. Sentuhan itu membuatku kaku, tapi aku terlalu bingung untuk menolak. “Aku cuma mau pastiin kamu nggak demam aja Alea,” katanya pelan. Aku tak menjawab. Rasanya tubuhku bukan milikku. Saat dia mendekat lebih jauh, aku baru sadar wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku. “Jangan...” suaraku keluar pelan, tapi sebelum sempat menjauh, dia semakin dekat. Refleks, aku mendorongnya sekuat tenaga. “Jangan sentuh aku!” Gilbert terdiam sejenak, lalu tertawa kecil yang membuat darahku dingin. “Kamu kenapa sih? Tadi juga kamu terlihat menikmati. So, why, Alea? Don't be a hypocrite!" Kata-katanya menusuk tajam. Saat itu aku sadar ada sesuatu yang salah sejak tadi. Ada sesuatu dalam tubuhku yang bukan reaksi normal. “Kamu yang jebak aku, kan!" sentakku gemetar. Tanganku berusaha meraih gagang pintu. Gilbert mencoba menahan. “Alea, tenang. Aku cuma mau—” Aku menepisnya keras. “Lepas!” Mobil berguncang ketika aku akhirnya berhasil membuka pintu. Aku turun terburu-buru, terengah, sementara Gilbert ikut keluar mengejarku. Beberapa orang di trotoar menoleh. Seorang pria mendekat. “Ada apa, Kak?” Gilbert langsung bicara lebih dulu. “Maaf, pacar saya lagi kurang enak badan.” Aku menatapnya dengan ngeri. “Aku bukan pacar kamu! Jangan sentuh aku!” Beberapa orang mulai memperhatikan. Gilbert mundur sedikit, wajahnya menegang. Aku mengambil langkah cepat menjauh, tubuhku masih panas, tapi kali ini karena marah dan takut bersamaan. Gilbert menahan lenganku semakin keras. Aku berusaha melepaskan diri, tapi cengkeramannya membuatku makin panik. Nafasku memburu, dadaku terasa sesak oleh ketakutan. “Lepas! Jangan sentuh aku!” teriakku, tapi suaraku nyaris tenggelam oleh deru mobil di jalan. Gilbert tidak mendengarkan. Wajahnya menegang, matanya gelap. Kata-kata yang keluar dari mulutnya membuatku ngeri. Aku ingin menangis, ingin lari sejauh mungkin dari tempat ini. Kenapa dia melakukan ini? Bukankah dia teman Alisa? Bukankah seharusnya dia orang baik? Aku menepisnya lagi, berontak sekuat tenaga. Tapi tubuhku lemah, pandanganku berkunang. Rasa takut bercampur bingung membuat semuanya kabur. Tiba-tiba cahaya terang menyilaukan wajah kami. Sebuah mobil berhenti tak jauh dari situ. Suara pintu terbuka terdengar keras. Gilbert masih berusaha menarikku. Tapi sebelum sempat bereaksi, seseorang datang dan merebutku dari tangannya. “Lepaskan dia!” suara berat itu bergema tajam, penuh amarah dan wibawa. Aku terpaku, menatap sosok yang kini berdiri di antara kami. Matanya tajam, wajahnya menegang oleh emosi. “Om Kalandra?” suaraku pecah, setengah tidak percaya. Gilbert mematung. Tatapannya langsung berubah begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya. “Om Alan?” suaranya tercekat, wajahnya pucat seketika. Kalandra melangkah pelan, sorot matanya tajam. “Kamu Gilbert, anak Pak Sebastian, kan?” Gilbert mengangguk cepat dan tertawa canggung. “Iya, Om. Saya ... saya teman Alisa dari SMA. Kita pernah makan malam bareng keluarga, Om masih ingat, kan?” Kalandra tak menjawab. Matanya tak lepas dari Alea yang masih gemetar di samping mobil. “Kamu pikir karena kita kenal, kamu bebas memperlakukan anak perempuan seperti ini?” “Enggak, Om. Saya nggak bermaksud jahat,” ucap Gilbert gugup. “Saya Cuma mau antar Alea pulang. Dia mabuk, saya khawatir...” “Cukup.” Suara Kalandra datar tapi tajam. “Dia jelas tidak baik-baik saja.” Gilbert menunduk. “Om, saya sumpah! Saya cuma pengin bantu. Tadi juga dia bilang mau pulang...” “Kalau aku lihat lagi kamu macam-macam sama siapa pun, apalagi sahabat anakku, aku nggak segan menuntut kamu. Paham?” Gilbert langsung gemetar. “Om, jangan bilang ke Papa. Tolong, saya janji nggak bakal ngulangin. Saya cuma iseng, Om!" Kalandra melangkah mendekat, suaranya menurun tapi dinginnya menusuk. “Iseng? Kamu hampir menyakiti dia!” Gilbert membuka mulut, tapi belum sempat bicara, satu pukulan mendarat telak di rahangnya. Tubuh Gilbert terhempas ke tanah. Tak bergerak, hanya dengan satu sentuhan dan efek mabuk, dia pingsan. Kini tertinggal napas Alea yang tersengal di tengah malam yang mendadak senyap. Kalandra masih berdiri, tangannya mengepal, dadanya naik turun menahan emosi. “Om....” suaraku gemetar, antara syok dan lega. Dia menoleh cepat. Tatapannya berubah, kini penuh kecemasan. “Kamu nggak kenapa-kenapa?” Aku belum sempat menjawab saat tangannya menyentuh pipiku. Rasanya lembut dan hangat hingga cukup membuat dadaku terasa sesak. Tanpa sadar aku menatap tangannya, dan mendesah pelan. "Ah, Om..." "Hei, kamu yakin kamu oke?" tanyanya menatapku serius. Tubuhku tersengat. Saat aku menatap matanya ada rasa yang tak bisa kutahan, hingga membuatku langsung memeluknya. “Om, aku takut,” bisikku pelan. “Aku nggak mau pulang dalam kondisi begini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD