06 - Cium Aku!

1093 Words
Kalandra masih memelukku sebentar sebelum akhirnya menatap ke arah Gilbert yang tergeletak. Ia meraih ponsel dari saku jasnya dan berbicara cepat dengan nada dingin. “Tolong ke sini sekarang. Ada insiden. Gilbert, anak Pak Sebastian, pingsan di depan kafe.” Begitu menutup telepon, ia menatapku yang masih gemetar. “Alea, ayo. Kamu ikut Om dulu.” Aku tidak banyak bicara, hanya mengangguk lemah. Tubuhku masih terasa aneh, panas dan tak stabil. Kalandra membuka pintu mobilnya dan membantu aku duduk di kursi penumpang. Udara dingin dari AC langsung menerpa, tapi tubuhku justru semakin gelisah. Aku bersandar, berusaha tenang, tapi jantungku berdegup cepat. Pandanganku kabur, kulitku terasa hangat seperti habis demam tinggi. Kalandra melirik, wajahnya tampak serius. “Alea, kamu kenapa? Badan kamu kelihatan panas.” Aku menggenggam lututku, bingung dengan perasaan di dalam tubuhku sendiri. “Aku nggak tahu, Om. Aku ngerasa aneh.” Kalandra memperlambat laju mobil. Ia memandangku lebih lama, rahangnya menegang. Dalam hati, mungkin saja ia tahu ada yang tidak beres sejak aku keluar bersama Gilbert. “Om sengaja ngikutin aku, ya? Kenapa om bisa ada di tempat tadi?” Kalandra menatapku, tak menjawab. Mobil terus melaju. Aku duduk di sebelahnya, gelisah. Tubuhku panas, kulitku seolah terbakar dari dalam, dan pikiranku kabur. Aku melirik ke arahnya. Rahangnya tegang. Tapi justru semakin kulihat, tubuhku makin bereaksi tanpa bisa kutahan. “Kamu masih ngerasa aneh?” tanyanya pelan. Suaranya rendah, tapi bikin jantungku berdentum lebih keras. Aku mengangguk. “Aku nggak ngerti, Om. Rasanya aneh banget. Tubuhku kayak bukan milikku sendiri.” Dia menarik napas pelan, lalu memelankan laju mobil. Udara dalam kabin terasa makin berat. “Aku sudah curiga dari tadi,” katanya tenang. “Kamu pulang bareng Gilbert, anak Pak Sebastian. Teman Alisa juga.” Aku menoleh padanya, bingung. “Emang kenapa?” Dia menepi. Mobil berhenti di sisi jalan yang sepi. Tatapannya menusuk. “Gilbert punya catatan buruk, bahkan ayahnya sendiri pernah konsultasi ke aku soal kelakuannya.” Aku terdiam. Tubuhku makin hangat. Rasa yang benar-benar menguasai tubuhku. Lembab dibawahku, ini menyiksa seperti kata-kata kotor yang makin memenuhi pikiranku. “Kamu sempat minum dari dia?” tanyanya serius. Aku mengangguk pelan. “Dia kasih air. Katanya biar aku nggak pusing.” Dia langsung memejamkan mata, mengatur napas, lalu menatapku tajam. “Alea ... kamu nggak salah. Kamu korban. Aku tahu ada yang nggak beres.” Tanganku mencengkeram lutut. Nafasku mulai tak beraturan. “Om, aku takut, aku ngerasa ... sial!" Aku gemetar sambil mengumpat atas rasa menjijikkan ini. "Aku nggak tahan!" Dia menyentuh bahuku dan terasa hangat. Tapi itu justru malah membuatku makin tak tenang. “Kamu tenang dulu. Aku nggak akan tinggal diam.” "Damn it!” sentakku, lalu ku tutup mulutku yang tak bisa dikendalikan. Dia menegangkan rahangnya, aku bisa melihatnya jelas. “Om...” bibirku gemetar. “Tolong jangan terlalu dekat. Aku malah makin nggak bisa mikir.” Tatapan kami bertemu. Dan dalam hening itu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar takut. Ada rasa yang jelas disebut hasrat. Ada kebingungan dariku. Dan aku benar-benar tak tahu harus lari ke mana untuk menghindarinya. Aku masih duduk gelisah di kursi penumpang. Tanganku gemetar, napasku tak stabil. Udara dingin dari AC pun terasa tak membantu apa-apa. Kalandra menatapku, raut wajahnya cemas tapi tetap terlihat tenang. “Alea, kenapa kamu nggak mau pulang ke rumah?” Aku menelan ludah, menunduk pelan. “Aku tinggal di rumah kost. Kamar sempit, sendirian. Kalau aku pulang sekarang, aku takut aku malah makin gila.” "Apa ada orang yang kurang baik di sekitar kost mu?" tanyanya lagi. Aku hanya diam, tidak membantah, karena kost ku hanya tempat murah. Dia diam beberapa detik. Matanya mengamatiku dalam diam. “Kamu nggak tahu harus pulang ke mana?” Aku menggeleng pelan. “Nggak tahu, Om. Aku cuma tahu, aku nggak bisa sendirian sekarang.” Kalandra mengalihkan pandangannya ke jalan sebentar, lalu menatapku lagi. Wajahnya tegas, tapi suaranya rendah dan penuh pertimbangan. “Kalau kamu nggak keberatan,” katanya tenang, “aku bisa bawa kamu ke apartemenku. Tempatnya aman. Nggak akan ada siapa-siapa. Kamu bisa istirahat di sana.” Jantungku berdetak lebih kencang. Aku menoleh perlahan, mencari isyarat di matanya. Tapi dia tetap tenang. Pria itu hanya menawarkan, sama sekali tidak memaksa. “Aku cuma menawarkan pilihan,” lanjutnya. “Biar kamu nggak sendirian malam ini.” Aku masih diam di dalam mobil. Suasana hening, hanya suara AC yang terasa terlalu dingin untuk tubuhku yang makin panas. “Om,” suaraku pelan, nyaris ragu. “Kalau aku ke apartemen Om ... Alisa?" Dia melirik ke arahku sebentar, lalu menjawab tenang. “Alisa tinggal bersama ibunya. Bukan denganku.” Aku menoleh. “Ibunya?” tanyaku agak kaget. “Istri Om, ya?” Kalandra menatapku lebih dalam. Ada jeda yang terasa berat sebelum ia menjawab. “Aku dan ibunya Alisa tidak pernah menikah.” Aku menegang. “A-Apa?” Tapi aku cepat-cepat membuang wajah. Aku nggak mau terlihat terlalu kepo. Dia terdiam sejenak. Lalu tiba-tiba tangannya menyentuh tanganku yang masih menghangat. “Aku coba sentuh kamu,” katanya rendah. “Kamu bisa jujur saja, apa ada efek yang berbeda?” Aku terkejut. Tapi sebelum bisa berpikir, tubuhku sudah lebih dulu bereaksi. “Aah...” desahanku lolos tanpa bisa kucegah. “Om Kalandra...” Tanganku mencengkeram jok mobil. Tubuhku menggelinjang pelan. Sentuhan itu terlalu ringan, tapi terasa seperti sengatan. Kalandra menatapku dalam. Rahangnya mengeras. Sorot matanya berubah dari tenang menjadi gelap dan tajam. “Sekarang aku yakin,” ucapnya pelan tapi penuh tekanan. Aku mengangkat wajah. “Y-Yakin soal apa?” “Tubuhmu bereaksi terlalu ekstrem untuk sekadar efek alkohol,” katanya. “Gilbert pasti mencampur sesuatu dalam minuman yang dia kasih ke kamu.” Darahku langsung berdesir. Aku menatapnya dengan mata membesar. "Mencampur apa?” Dia mengangguk pelan. “Obat perangs4ng, dalam dosis yang nggak main-main.” Aku menggeleng, dan ketakutan. “Aku bawa kamu ke apartemen sekarang, aku cuman mau bantu.” Aku hanya bisa mengangguk. Tidak ada pilihan yang lebih baik dari itu. ** Lift berhenti di lantai atas. Aku melangkah mengikuti Kalandra dengan langkah goyah, tubuhku makin sulit dikendalikan. Apartemennya sepi, tenang, dan terlalu nyaman untuk jantungku yang sedang kacau. Begitu pintu tertutup, aku berdiri mematung di tengah ruangan. Udara dingin menyentuh kulitku, tapi tubuhku tetap panas. Nafasku pendek. Tanganku bergetar. “Alea, duduk dulu. Biar aku ambil—” Aku tak bisa lagi menahannya. Langkahku maju cepat dan tanpa berpikir aku langsung memeluknya dari belakang. “Om...” suaraku pecah. “Maafin aku. Maaf karena aku lancang.” Kalandra terdiam. Tubuhnya menegang di pelukanku. Tapi aku justru memeluknya lebih erat. “Tapi aku mohon ... cium aku!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD