Sebelum keluar, Irwan membagi kertas keputusan tentang penempatan mereka di perusahaan ini. Dia juga berpesan, agar para pegawai baru, bisa segera masuk ke divisi masing-masing dan mulai bekerja.
Luna yang merupakan salah satu lulusan terbaik Harvard mendapatkan posisi sesuai dengan incarannya. Dia ada di divisi pemasaran, sesuai dengan pilihannya.
Setelah saling memberi semangat pada teman lainnya, Luna mulai berjalan menuju ke ruang kerjanya. Dia harus segera melapor pada Pak Petrus, orang yang akan menjadi atasannya.
“Luna,” panggil seseorang yang melihat Luna yang sedang menanti kedatangan lift.
Senyum Luna merekah lebar saat dia melihat sosok yang dia kenal di kantor ini. Pastinya ini adalah orang kedua yang dia temui dan dia kenal.
“Rio. Kamu mau ke mana?” tanya Luna.
“Mau ke ruangan aku. Gimana, jadi dong divisi pemasarannya?” tanya Rio.
Luna membuka kertas keputusan yang dia pegang. “Jadi dong.” Luna tersenyum bangga.
“Perusahaan ini gak akan rugi memperkerjakan pegawai kayak kamu. Naik yuk,” ajak Rio saat dia melihat pintu lift sudah terbuka.
Luna dan Rio masuk ke dalam ruang besi itu yang akan mengantarkan mereka ke ruang kerja masing-masing. Rio adalah manajer di perusahaan ini dan mereka sudah saling kenal sejak Luna di Amerika.
“Atasan kamu Pak Petrus. Dia orangnya agak bawel. Banyak yang ngeluh ama dia, tapi tetep aja orangnya gak peduli ama protes anak buahnya,” ucap Rio memberi gambaran tentang atasan Luna.
“Orangnya ketat kah?”
“Hmm ... bisa dibilang gitu. Pokoknya ntar nilai sendiri aja lah. Tapi orangnya gak otoriter kok, masih mau terima saran.”
“Bagus deh kalo gitu. Setidaknya gak semena-mena.” Luna tersenyum lebar.
“Gak lah, Lun.”
Pintu lift terbuka dan kedua orang itu pun keluar bersama. Luna masih menanyakan beberapa pertanyaan tentang perusahaan, setidaknya dia ingin mendapat bekal pengetahuan tentang perusahaan tempat dia akan bekerja.
“Nah, ini divisi kamu. Selamat bekerja ya cantik,” ucap Rio sambil tersenyum pada Luna.
“Ruangan kamu di mana?” tanya Luna ingin tahu.
“Di sana.” Rio menunjuk ke seberang, tempat divisinya berada.
“Agak jauh. Tapi gak papa. Eh, ntar traktir aku makan siang ya,” bujuk Luna dengan senyum memanja.
“Gak salah tuh. Harusnya kamu yang traktir aku.”
“Iya deh iya. Ntar aku yang traktir. Aku masuk dulu ya,” pamit Luna.
“Ok! Semangat ya. Kita ketemu jam makan siang.”
Luna melambaikan tangannya seraya masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia merasa lebih tenang saat bertemu Rio dari pada saat dia bertemu dengan Dion tadi.
Langkah Luna terhenti saat dia melihat ada seorang wanita berdiri di depan pintu masuk ruangan. Wanita itu menatap tajam ke arah Luna sambil melipat kedua tangannya di depan d**a, menunjukkan kalau dia tidak suka pada wanita itu.
“Permisi,” ucap Luna sambil mencoba mengukir senyum.
Wanita itu menyipitkan matanya dan melihat Luna dari atas ke bawah. “Masih baru, tapi udah genit,” ucap wanita itu pelan.
Luna yang tadinya hendak masuk dan melapor, jadi mengurungkan niatnya saat dia mendengar ucapan wanita yang tidak dia kenal itu. Luna yang tadinya hendak melangkah maju, kini malah berbalik dan melihat ke arah wanita itu.
“Apa? Apa kamu bilang barusan?” tanya Luna memastikan pendengarannya tidak salah.
Wanita itu malah menaikkan dagunya dengan kesombongan maksimal. “Genit.” Dia mengulang tanpa ragu.
“Genit kamu bilang?” Luna melangkah mendekat. “Maaf ya, kita belum saling kenal. Jadi kayaknya gak sepantasnya kamu bilang gitu ke saya.” Luna masih protes dengan nada sopan.
“Kalo gak genit trus apa? Yang kamu lakuin tadi di depan itu apa?”
“Di depan?” Luna berpikir sejenak. “Oh itu tadi. Maksud kamu sama–“
“Heh kamu! Apa kamu karyawan barunya?” panggil seseorang dari dalam yang melihat Luna berdiri di depan.
Luna langsung menoleh ke sumber suara. “Iya, Pak.”
“Masuk sini. Lama amat!” pria paruh baya yang diyakini Luna sebagai Petrus itu pun segera masuk kembali ke ruangannya.
Luna kembali melihat ke arah wanita di depannya. Dia hanya menatap wanita itu dengan pandangan kesal.
Luna meninggalkan wanita itu dan menuju ke ruangan penguasa divisi. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu, sampai menyebutnya genit pada kekasih ya sendiri.
Luna mendapat pengarahan singkat dari Petrus. Dia juga langsung di bawa Petrus ke ruang kerjanya sebagai asisten manajer dan tidak lupa juga dikenalkan pada bawahannya.
“Bu Luna, kenal kan ... ini Sarah. Dia asisten manajer senior di divisi ini,” ucap Petrus memperkenalkan asisten manajer pertamanya.
“Ini kan cewek sinting tadi,” ucap Luna dalam hati.
Luna terpaksa menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum ramah pada wanita yang memandang dingin ke arahnya. “Halo, saya Luna. Mohon pengarahannya,” sapa Luna seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua.
“Iya. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik demi perusahaan,” jawab Sarah dengan senyum yang sangat ramah.
“Eh, manis banget. Abis keselek apa dia kok ampe jadi semanis ini ya,” gerutu Luna dalam hati melihat senyum palsu Sarah.
“Iya. Pasti.”
“Ya udah, kalo gitu kalian segera balik ke ruangan kerja kalian. Gak usah banyak ngobrol, kejar klien yang banyak!” tegas Petrus.
“Baik, Pak,” jawab kedua orang itu hampir bersamaan.
Setelah Petrus pergi, Luna langsung masuk begitu saja ke dalam ruang kerjanya. Dia bahkan tidak berpamitan pada wanita yang tadi berkenalan dengannya.
Tentu saja hal itu menjadi masalah buat Sarah. Dia yang merasa menjadi seorang asmen senior di tempat ini, telah diperlakukan tidak sopan oleh Luna. Tapi Sarah tidak ingin membuat masalah dulu saat ini, yang ada nanti dia yang disembur oleh atasannya.
Luna mulai melihat file yang ada di atas meja kerjanya. Dia mulai mempelajari pekerjaannya dan menggabungkan dengan ilmu yang pernah dia dapat saat kuliah dan bekerja sebelumnya.
Terlalu asyik bekerja, membuat Luna lupa diri. Dia memang selalu seperti itu sejak dulu dan kini dia baru bisa mengalihkan perhatiannya dari pekerjaan, setelah ada telepon masuk ke dalam ponselnya.
“Lun, ketemu di lobi ya. Aku lagi ambil mobil ini,” ucap Rio memberi tahu kekasihnya.
“Ok. Aku turun sekarang.”
Luna pun segera mematikan laptopnya dan meninggalkan pekerjaan begitu saja tanpa merapikannya. Kebiasaan Luna, saat pekerjaannya belum selesai, maka dia akan membiarkan semua berantakan.
Saat Luna keluar dari lift, ternyata pintu lift sebelah juga terbuka. Pandangan seseorang yang ada di dalam lift itu langsung mengikuti ke mana Luna bergerak.
“Mau ke mana dia. Buru-buru amat,” ucap Dion pelan yang mencoba mengikuti Luna dari belakang.
Dion melihat Luna berdiri di depan lobi. Wanita itu terlihat seperti sedang menunggu sesuatu. Alhasil Dion pun semakin penasaran.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di depan Luna. Tanpa ragu lagi, wanita itu pun segera masuk ke dalam mobil. Sayangnya, Dion tidak sempat melihat, siapa orang yang ada di dalam mobil.
“Mobil siap itu?” tanya Dion pada Irwan, sambil melihat ke arah mobil yang membawa Luna.
“Mobil? Mobil mana, Bos?” tanya Irwan.
“Itu,” jawab Dion yang untungnya masih bisa menunjukkan mobil yang dia maksudkan karena di depan sedikit macet.
Irwan melihat ke arah yang dilihat Dion. “Oh, itu mobil Pak Rio, Bos.”
Dion melihat ke arah asistennya. “Rio?”
“Betul, Bos. Rio Anggara. Manajer keuangan kita.”
Dion kembali ke arah depan. “Dari mana dia kenal sama Rio?” tanya Dion dalam hati.