Bab 4. Pasangan

1089 Words
Setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Luna pergi bersama dengan pria lain, hati Dion meradang. Dia yang mendengar kalau Luna pindah ke Amerika setelah lulus kuliah untuk melanjutkan program S2, tidak menyangka kalau akan secepat itu akrab dengan orang baru. Sejak dulu Luna memang terkenal sebagai anak yang supel dan temannya banyak. Beda dengan Dion yang digilai banyak wanita tapi dia tetap cuek, kalau wanita itu tidak menarik perhatiannya. “Irwan, kirim resume Rio sekarang,” perintah Dion yang duduk di bangku belakang. “Pak Rio Anggara, Bos?” tanya Irwan. “Ya emangnya Rio yang mana lagi, hah?!” sembur Dion kesal. Irwan menoleh ke sopir yang duduk di sampingnya. “Dia juga Rio,” gumam Irwan pelan. Demi keselamatannya, Irwan segera meminta resume Irwan lada bagian SDM. Dia sampai memerintah orang SDM mengirim sekarang juga, meski sekarang jam istirahat. “Sudah saya kirim, Bos,” ucap Irwan setelah dia mengirim berkas resume milik Rio. Dion segera membuka file yang dikirim asisten pribadinya. Dia membaca dengan teliti, untuk mencoba mencari tahu apa hubungan Luna dan Rio. “Dia gak lulusan Amerika tuh. Trus mereka kenal di mana ya?” gumam Dion sambil terus membandingkan resume Luna dan Rio. Semakin lama Dion melihat dua resume itu, dia semakin frustrasi. Dia tidak menyangka, pertemuannya lagi dengan Luna malah membuat dia sangat penasaran dengan wanita itu. Tentu saja perubahan drastis penampilan fisik Luna lah yang menjadikan alasan utama. Wanita yang dulu dia kenal tidak mengerti make up sama sekali itu, kini berubah menjadi wanita yang sangat menarik. “Apa ini cara dia buat masuk ke perusahaan ini? Apa dia minta pertolongan Rio biar dia bisa di terima? Dasar licik! Awas kamu ya!” Dion menjadi sangat geram karena dia akhirnya tahu kalau nilai sempurna yang didapatkan Luna pasti karena campur tangan orang dalam. “Irwan, cari tahu semua tentang Luna. Termasuk di mana dia tinggal saat ini dan hubungannya dengan Rio.” Dion mengeluarkan titahnya. “Luna? Maksudnya pegawai baru itu, Bos?” tanya Irwan. “Hmm. Cari secepatnya. Besok sudah ada di meja saya.” “Besok? Buset! Aku mau nyari di mana soal pegawai baru itu ya. Duh, ni orang dari tadi aneh banget kenapa sih,” gerutu Irwan yang sejak tadi kebingungan menuruti perintah atasannya yang mendadak aneh. Rasa penasaran Dion menyiksa asisten pribadinya. Padahal selama ini dia tidak banyak mau, bahkan dikenal sangat dingin dan juga misterius oleh para karyawannya. Dion yang masih melihat laporan tentang Luna, sedikit terganggu perhatiannya, saat ada sesuatu yang bergetar di saku celananya. Pria tampan itu merogoh sakunya dan mengambil benda pipih yang ada di dalam sana. Dion mendengus saat di melihat nama orang yang dia kenal di sana. “Iya, Ma,” sapa Dion malas. “Dion, kamu di mana?” tanya Karin. “Di jalan, mau ketemu klien.” “Dion, kamu jangan lupa jemput Celia nanti di rumah sakit. Dia nungguin kamu loh.” Karin mengingatkan putranya. “Bisa gak sih dia pulang sendiri. Lagian kan ada mamanya juga, Ma.” “Dion! Inget gak, yang bikin Celia sakit gak mau makan itu kan kamu. Jadi kamu yang harus tanggung jawab lah!” “Emang Dion ngapain? Gak mau ah, males banget ketemu sama cewek gak jelas kay –“ “Dion! Yang sopan kalo ngomong!” tegur Karin keras. “Pokoknya kamu harus jemput Celia. Dia gak mau pulang kalo kamu gak jemput dia. Mama udah bilang ke Celia kalo kamu ntar sore jemput dia. Inget ya.” “Tapi Ma, Di –“ “Ish! Kebiasaan banget main perintah seenaknya. Lagian siapa juga yang mau sama cewek lebay kayak Celia,” gerutu Dion menahan geram. Dion memang sedang dijodohkan mamanya dengan putri sahabatnya. Meski Celia anaknya cantik, tapi Dion sama sekali tidak tertarik. Apa lagi Celia terkadang bisa marah berlebihan, jika Dion menolaknya. Bukan hanya marah, tapi dia juga suka menyiksa dirinya sendiri demi mendapat perhatian Dion. Meski Dion sering protes, tapi Karin tetap merasa Celia anak yang manis. Karin berharap, putranya akan bisa mengendalikan wanita pilihannya, setelah sebelumnya gagal mengendalikan Luna. Saat Dion sedang dobel kesal, maka lain halnya dengan Luna. Wanita cantik itu tengah menikmati semangkuk ramen bersama dengan Rio di sebuah mall, yang tidak jauh dari kantor mereka. “Lun, kamu kenapa gak tinggal di apartemej aja sih? Kenapa harus tinggal di kos?” tanya Rio yang sedikit tidak suka dengan tempat tinggal pilihan wanitanya. “Aku dah bosen tinggal mandiri dan individualisme. 3 tahun udah cukup lah. Sekarang pengen ngerasain lagi kayak orang Indonesia, punya tetangga,” jawab Luna sambil meraih gelas ocha-nya. “Aneh-aneh aja kamu ini. Semua orang lagi pengen iduonya gak di ganggu orang, kamu malah pengen di ganggu. Tapi di situ aman kan?” “Aman kok. Santai aja. Lagian kan ada penjaganya juga. Penghuni juga gak banyak. Aku lebih nyaman gini. Ayah juga setuju aku tinggal di situ.” “Ya udah, tapi tetep jaga diri. Kalo sekiranya tetangganya gak baik, langsung bilang ya. Kamu itu tanggung jawab aku tau.” “Idih, siapa bilang? Aku gak selemah itu tau,” ucap Luna sambil tersenyum. “Ayah. Ayah kamu udah titipin kamu ke aku. Kalo bantah dan gak nurut ... aku aduin ke ayah kamu ntar.” “Dasar kang ngadu.” “Ini demi kebaikan kamu tau. Awas kalo nakal,” ucap Rio memberi peringatan sambil mengacak lembut puncak kepala Luna. Luna dan Rio memang telah berkencan selama satu tahun. Mereka bertemu secara tidak sengaja di Amerika di ulang tahun teman mereka. Setelah perkenalan secara online dan lewat perantara teman mereka, Luna pun akhirnya menerima Rio menjadi kekasihnya. Lewat Rio juga lah dia mengetahui tentang lowongan eksklusif di perusahaan milik Dion. Setelah memutuskan kembali ke Indonesia karena permintaan ayahnya yang sempat sakit, Luna pun kembali meninggalkan Bandung untuk bekerja di Jakarta. Meski baru dua minggu tinggal di Jakarta, tapi Luna sudah merasa akrab. Dia dulu kuliah S1 di Jakarta bahkan menjadi istri tersembunyi seseorang selama satu tahun. *** Setelah mendapat ancaman kedua kalinya dari mamanya, Dion pun akhirnya dengan sangat terpaksa menjemput Celia di rumah sakit. Dia berjalan malas ke lobi rumah sakit, meski dia sudah tahu kalau kedatangannya sudah ditunggu. Dion berjalan bersama dengan Irwan. Setidaknya dia tidak akan terlalu kesal kalau masih ada orang lain bersamanya. Tatapan mata Dion tiba-tiba menangkap sesuatu yang janggal di depan matanya. Langkah kakinya sampai terhenti dan pandangan matanya terus mengikuti gerak orang yang dia lihat. “Luna. Luna sama siapa itu. Apa dia ....” Dion terus melihat Luna yang sedang berjalan sambil bercanda dengan seorang anak kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD