“Dion!”
Dion menoleh ke arah yang berbeda. Dia melihat ada Celia dan mamanya sedang berjalan ke arahnya.
Celia yang baru saja keluar rumah sakit, tampak masih duduk di kursi roda dan didorong oleh seorang perawat. Sedangkan Anita, mama Celia, berjalan di samping kursi roda putrinya.
Ternyata bukan hanya Dion yang mendengar panggilan Celia tadi, tapi Luna yang juga ada di sana, ikut menoleh saat dia mendengar ada nama yang dia kenal di sebut.
Luna menoleh ke belakang dan melihat ada Dion berdiri di sana. Dua orang wanita mendatanginya dan salah satunya langsung bergelayut manja di lengan Dion, setelah berdiri dari kursi roda.
“Oh, jadi itu pacarnya? Seleranya udah turun kayaknya sekarang. Kayaknya dulu mantannya di kampus lebih cantik dari itu deh,” gumam Luna pelan sambil terus melihat ke arah Dion.
“Eh, ngapain juga aku peduli. Bodo amat lah dia mau ama siapa. Gak penting banget!” Luna segera melanjutkan kembali langkahnya.
Dion menoleh sebentar ke arah dia tadi melihat Luna. Ternyata wanita itu sudah tidak ada dan menghilang begitu saja.
“Sayang, kamu ke sini mau jemput aku ya?” tanya Celia sambil bergelayut manja.
“Jangan gini ih! Duduk aja di situ,” ucap Dion kesal sambil mencoba membebaskan tangannya dari Celia.
“Gak mau. Mau jalan bareng kamu aja.” Celia makin mengeratkan tangannya di lengan Dion.
“Lepasin. Risih tau!” Dion tetap menggerak-gerakkan tangannya berusaha melepaskan.
“Gak mau!”
“Celia! Lepas gak!” bentak Dion kesal.
Celia menatap Dion yang baru saja membentaknya. Dia menatap wajah tampan di depannya dengan wajah memelas dan menyedihkan.
Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa dilakukan Dion selain mengalah. Apa lagi ini sedang ada di area publik, dia tidak ingin membuat Celia tantrum di depan banyak orang.
“Dion, bantu Celia pulang ya. Dia dari tadi nungguin kamu,” ucap Anita sedikit memohon pada calon menantunya.
Dion memutar bola matanya. “Buruan!” sentak Dion yang kemudian segera berbalik dan menyuruh Irwan segera menyiapkan mobilnya lagi.
Tentu saja Celia senang karena akhirnya dia bisa pulang bersama dengan Dion. Sejak dia di rumah sakit, pria itu belum menjenguknya sama sekali.
Tadinya Celia ingin langsung mendatangi Dion ke kantornya, tapi berhubung Dion datang menjemputnya, tentu saja dia mengurungkan niatnya.
“Abis ini kita makan dulu ya,” pinta Celia saat mereka berjalan ke arah depan lobi rumah sakit.
“Aku sibuk. Kapan-kapan aja,” tolak Dion dengan tegas.
“Tapi aku laper, Dion.” Celia sedikit merengek.
“Makan di rumah kamu kan bisa. Di sana banyak pelayan yang bisa buatin kamu makan. Buruan masuk!”
Dion tetap bersikeras menolak. Dia sangat menghindari berlama-lama dengan wanita tidak jelas seperti Celia.
Hanya karena Dion tidak pulang-pulang dari dinas luar kota, Celia nekat menenggelamkan diri di bak mandi. Untung saja saat itu ada pelayan yang mengetahuinya, sehingga Celia bisa di selamatkan.
Belum cukup sekali ini saja, Celia bahkan pernah hampir menabrakkan dirinya ke mobil Dion, saat Dion pulang paksa dari rumahnya. Celia langsung berlari dan berhenti di depan mobil Dion yang sedang melaju.
Tentu saja hal ini bertujuan untuk mencari perhatian dan menahan Dion di sisi Celia. Namun sayangnya hal itu semakin membuat Dion muak pada Celia.
Kalau bukan karena hubungan baik Anita dan Karin, tentu saja Dion malas menuruti keinginan mamanya itu. Apa lagi, mendiang papa Celia adalah rekan kerja papa Dion, yang sama-sama merintis perusahaan yang dia pimpin saat ini.
Saat mobil Dion hendak keluar dari area rumah sakit, dia lagi-lagi melihat Luna sedang tertawa bersama dengan bocah kecil yang tadi dia lihat. Mereka akan masuk ke dalam mobil dan sukses membuat Dion melihat sampai menoleh ke belakang.
“Kamu liat siapa sih?” tanya Celia.
“Hah, enggak. Cuma pegel aja,” jawab Dion asal.
“Tuh kan kamu capek. Makanya ka –“
“Udah lah, Celia! Aku banyak kerjaan. Gak usah ganggu bisa gak sih!” sungut Dion sambil mendengus.
“Tapi aku masih kangen kamu.”
Dion memilih tidak menjawab. Dia kesal setiap kali Celia bicara seperti itu.
Wanita itu sudah terlalu percaya diri dan merasa kalau dia adalah miliknya. Padahal, melihat wajah Celia saja dia sudah tidak minat. Tidak tertarik sama sekali.
Akhirnya mobil Dion sampai juga di depan rumah Celia. Wanita itu terus saja merengek, mengharapkan Dion akan turun dan singgah sebentar.
“Dion, masuk aja dulu. Bentar aja, biar Celia gak terlalu sedih,” pinta Anita.
“Iya. Masuk dulu bentar. Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu,” bujuk Celia lagi.
Dion mengembuskan napas kasar. Dia kemudian menoleh sebentar ke arah Irwan dan kemudian melihat ke arah Anita. “Ya udah, bentar aja.”
“Irwan, tunggu di sini. Aku gak akan lama.”
“Baik, Bos.”
Dion pun akhirnya masuk ke dalam rumah besar itu. Wanita yang berjalan di sampingnya, tersenyum sangat lebar dan bangga, karena dia bisa berjalan bersama lagi dengan pria idamannya.
“Tunggu di sini bentar ya. Aku ambilin dulu. Eh, apa kamu mau ke kamar aku aja?” tanya Celia.
“Gak. Aku di sini aja,” tolak Dion yang kemudian segera duduk di sofa tamu.
“Gak di dalem aja, Dion?” tawar Anita.
“Gak usah, Tan. Dion gak lama kok.”
“Ya udah, Tante suruh buat minuman dulu ya.”
Melihat Dion sudah duduk di ruang tamu, Celia segera berlari ke tangga untuk menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua. Dia sangat bersemangat, menunjukkan hasil karya merajutnya, sebagai terapi menenangkan diri yang dia ikuti.
Saat sedang menunggu Celia, Dion merasa ponselnya berbunyi. Pria itu pun segera mengambil ponselnya di dalam saku celana dan menerima panggilan itu.
Mendengar Dion bicara dengan orang lain, Celia menghentikan langkahnya dan melihat ke arah Dion.
“Baik, saya ke sana sekarang,” ucap Dion yang kemudian memutus sambungan teleponnya.
Dion melihat ke Celia. “Cel, aku harus pergi sekarang,” ucap Dion.
“Tunggu bentar. Jangan pergi.”
Bukan Dion namanya kalau dia bisa diperintah oleh Celia. Dia tetap melangkah keluar rumah, meski suara teriakan Celia mulai terdengar.
“Dion! Dion! Jangan pergi!” teriak histeris Celia.
Prank.
Suara benda pecah dari dalam rumah menghentikan langkah Dion. Tapi sedetik kemudian, pria itu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam mobil.
Tentu saja Dion tidak kaget lagi. Ini bukan pertama kalinya Celia melakukan hal itu. Para pelayan dan Anita sudah bisa mengatasi Celia jika wanita itu mengamuk karena Dion.
“Kita ke mana, Bos?” tanya Irwan yang juga langsung ikut masuk ke mobil setelah mendengar teriakan horor dari dalam rumah.
“Ke kantor.”
“Baik, Bos.”
“Irwan, apa yang aku minta sudah dapat?” tanya Dion.
“Tentang Bu Luna, Bos? Akan saya kirimkan sekarang.”
Dion langsung melihat berkas yang dikirimkan asistennya itu ke ponselnya. Dion menautkan kedua alisnya saat dia membaca keterangan kalau Luna tinggal di rumah kos.
Padahal wanita itu bukan dari keluarga yang sederhana di Bandung. Ayah mertuanya memiliki peternakan sapi dan teh cukup luas. Belum lagi wisata kebun stroberi dan berkuda. Ini tentu saja membuat Dion aneh dengan rumah tinggal pilihan Luna.
Tapi ada satu yang tidak ditemukan oleh Dion dari file itu. Tidak ada keterangan tentang bocah yang tadi dia lihat bersama Luna.
“Ini udah semua?” tanya Dion.
“Sepertinya sudah, Bos. Apa masih ada yang kurang?” tanya Irwan dari bangku depan.
Dion melemparkan pandangannya keluar mobil. “Kamu yang harus katakan sendiri ke aku siapa anak itu, Luna. Aku harus segera tahu siapa anak itu,” gumam Dion pelan.