Bab 6

1415 Words
Satu bulan kemudian. Aku pikir mual dan muntah saat hamil muda hanya ada di FTV atau novel yang aku baca tapi sekarang untuk pertama kalinya aku merasakan hal tersebut dan sungguh rasanya sangat luar biasa. Pagi-pagi aku sudah nongkrong di kamar mandi untuk mengeluarkan seluruh isi perutku. "Mbak e, masuk angin ya? Mau saya kerokin?" Wajah Sultan berubah jadi sangat kuatir melihatku sedang jongkok di kamar mandi sambil memegang perut. "Papah ini gimana sih, mamah ini bukan lagi masuk angin pah tapi morning sicknes alias lagi hamil. Ih papah lugu-lugu meong nih," ocehku. Lagi-lagi Sultan menggaruk kepalanya. "Ya maaf, namanya juga baru sekali ini berhadapan dengan ibu hamil rese seperti sampeyan, tak kirain muntah-muntah karena masuk angin taunya karena hamil dedek," balasnya dengan suara kecil agar aku tidak mendengar ocehannya. "Pah! Ngedumel lagi kan." "Iya iya iya, dedek mau teh hangat? Atau mau dipijit?" "Pijit kayaknya lebih enak mas," Sultan lalu mendekatiku dan memijit pelan bahuku dengan kedua tangannya. Lumayan juga pijitannya, jangan-jangan kerjaannya sebagai tukang pijit? Ah aku jadi penasaran dengan pekerjaannya, pengen nanya tapi nanti takut dianggap kepo kayak mbak Mulan. "Udah mendingan?" Tanyanya lagi. "Lumayanlah, pijitan mas ternyata lumayan enak juga." Sultan tersenyum dengan wajah bangganya, aku tertawa pelan lalu mencoba untuk berdiri dari posisi jongkok tapi ternyata posisi kakiku salah dan menginjak lantai yang licin. "Arggggg," aku hampir saja terpeleset andai tangan Sultan tidak segera menangkap pinggangku. "Astaga, mbak e hati-hati! Nanti dedeknya terluka kalo sampeyan jatuh di kamar mandi," ujarnya memarahiku. Aku mengedipkan mata beberapa kali karena posisi kami benar-benar sangat dekat dan Sultan masih memeluk pinggangku. "I ... Iya mas, to ... tolong bantu aku berdiri," ujarku dengan gugup. Sultan pun melepaskan pelukannya dan membantuku untuk berdiri dengan sempurna. Setelah itu aku langsung keluar dari kamar mandi. Saat akan masuk ke kamar tiba-tiba aku mendengat ketukan di pintu. Tok tok tok "Siapa?" Tanyaku. Nggak ada jawaban. Tok tok tok. Paling mbak Mulan mau ngajak ngerumpi pagi-pagi, aku bergegas menuju ke pintu depan dan membuka pintu. "Sabar, jalan dulu." Kebiasaan mbak Mulan yang nggak sabaran kalau bertamu ke rumah orang, lagian pagi-pagi bertamu ke rumah orang bikin runsing saja. "Maaf mbak Mulan, saya habis gituan dulu sama mas ..." Belum selesai aku bicara tapi ternyata bukan Mbak Mulan yang datang tapi seseorang yang tidak aku kenal. Aku melihat dari atas sampai bawah, wanita seusia Ryan aku rasa dan ia membawa plastik kresek hitam besar dua buah serta baju standar khas gadis kampung. "Mbak cari siapa?" Tanyaku. "Maaf saya salah rumah," ujarnya dan ia hendak berbalik untuk pergi tapi matanya tertuju pada sepeda Sultan yang terparkir di samping rumah. "Itu sepeda mas Sultan, kayaknya aku nggak salah rumah tapi siapa ya mbak tadi," ocehnya. Ia berbalik lagi ke arahku dan menatapku dari atas sampai bawah. "Ini rumah mas Sultan kan?" Tanyanya. Aku mengangguk pelan, oh ternyata wanita ini tamunya Sultan. "Iya, ini rumah mas Sultan. Adek siapa ya?" Tanyaku dengan ramah. Bukannya menjawab pertanyaanku, wanita itu malah menatapku tajam. "Mbak e yang siapa? Kok ada di rumah mas Sultan? Tanyanya menyelidik. Aku tertawa simpul. "Adek tamu kan? Ya jawab dulu pertanyaan saya nanti saya jawab balik pertanyaan adek," ujarku tidak mau kalah. Situ tamu situ juga yang rese. Ih menyebalkan. "Saya Queen Larasati, adik kandungnya mas Sultan, puas?" Ujarnya sambil melewatiku dan masuk ke dalam rumah. Oalah, adik iparku ternyata. Nama mereka menyiratkan kegemerlapan. Satu Sultan satu lagi Queen, jangan-jangan mereka ini anak orang kaya yang menyamar jadi masyarakat sederhana? "Aduh, maaf ya dek. Saya nggak ingat kalau adek itu ternyata adiknya mas Sultan. Oh iya perkenalkan saya Maya Estianti, istri mas Sultan dan sekarang saya hamil anaknya mas Sultan," aku menjulurkan tangan sambil tersenyum malu. Kadung basah sekalian saja hanyut, mumpung ada adik kandungnya sekalian saja menghayati akting hilang ingatan ini agar keluarga Sultan tau tentang aku. "Hah, istri? Hamil? Mbak e jangan guyon toh. Mana mungkin mas Sultan menikah tanpa memberitahu mbok dan pak e di kampung," ujarnya dengan suara medok hampir sama dengan Sultan. Aku mengangguk pelan. "Tapi mas Sultan nggak pernah mengakui saya dan dedek, mentang-mentang saya hilang ingatan terus mas Sultan berusaha cuci tangan agar tidak repot mengurusi saya dan dedek," ujarku dengan mendayu-dayu. Wajah Queen berubah dari tidak percaya dengan ceritaku menjadi wajah penasaran. "Mbak e serius lagi hilang ingatan? Kok iso? Mas Sultan ke mana sih?" Tanyanya sambil celingak celinguk ke arah dalam rumah. "Mandi, kan tadi habis gituan." Mata Queen membesar dan aku cuma bisa balas dengan senyum lebar. "Masssss o masssss," teriak Queen. Tidak lama Sultan keluar hanya memakai handuk yang melingkari pinggangnya. Aku terpana sambil menatap buliran air yang masih membasahi tubuhnya, aku menelan ludah dan membuang wajah agar Sultan tidak melihat perubahan wajahku. "Oalah, Queen adikku tersayang. Kapan kowe datangnya sih, kok nggak bilang mas e dulu." Sultan masuk ke dalam kamar dan aku mendengar grasak grusuk dari arah kamar. Tidak lama Sultan keluar memakai kaos terbalik dan celana pendek milikku yang dibelinya minggu lalu. Aku berusaha menahan tawaku karena celana pendek yang dipakainya warna pink dan terlihat sangat ketat di tubuhnya. "Mas e! Celana siapa yang mas pakai sih?" Teriak Queen. Sultan melihat ke arah bawahnya dan langsung bergegas masuk lagi ke dalam kamar. Terdengar lagi grasaj grusuk dari arah kamar dan tidak lama keluar lagi Sultan. Kali ini ia memakai kaos tidak terbalik serta celana training miliknya. "Mas e, ada apa ini? Siapa mbak e ini? Dia bilang kalau kalian sudah menikah dan sekarang sedang hamil? Benaran info itu?" Tanya Queen bertubi-tubi. Sultan melihatku tapi aku langsung buang muka, aku yakin Sultan pasti akan berkilah seperti biasa dan bilang kalau aku ini ngadi-ngadi. "Iya, mbak e cantik yang duduk di depan kamu itu adalah istrinya mas dan ada dedek di rahimnya. Itu anaknya mas," balas Sultan. Aku langsung terpana dan melihat Sultan tanpa berkedip, satu bulan tinggal di sini baru kali ini aku diakui sebagai istrinya. Wajah Queen masih menyiratkan ketidak percayaan atas ucapan Sultan barusan. "Benaran, ya kan bebih?" Tanya Sultan padaku. Aku mengangguk cepat. Queen sepertinya mulai percaya dengan ucapan Sultan. "Mas e ini kok iso jaga rahasia dari aku, mbok e dan pak e? Mereka pasti kaget kalau tau anak lanang satu-satunya udah nikah dan sekarang mau punya dedek," ujar Queen. Sultan memilih duduk di sampingku, dengan tiba-tiba ia menggenggam tanganku dengan sangat erat dan aku merasakan sesuatu yang tidak pernah aku rasakan saat Trias memegangku. Aku gugup dan menjadi salah tingkah, tapi aku tutupi dengan bersikap seadanya agar Sultan tidak melihat perubahan raut wajahku. "Sengaja, mas tau pasti mbok e dan pak e akan nolak kalau ternyata pilihan mas nggak sesuai dengan keinginan mereka. Kamu tau sendiri alasan mas merantau ke sini karena bosan dijodohkan dengan anak juragan ini juragan itu," balas Sultan. Oh ternyata Sultan dijodohkan di kampungnya. Mungkin karena itu juga akhirnya Sultan berbohong ke Queen tentang pernikahan kami. "Nah itu, mas e pikir nggak kenapa aku ke sini? Aku juga pengen merantau jauh dari kampung karena nggak mau dijodohkan sama anak juragan cabe yang istrinya udah dua itu. Mending aku ke Jakarta, cari kerja dan tinggal sama mas dan mbak e," ujar Queen. Wajah Sultan langsung berubah panik. "Hah, kamu mau tinggal di sini? Oalah, ada dua manusia rese dong?" Cicitnya pelan tapi aku mendengarnya. "Mas bilang apa?" Tanya Queen. "Ah nggak, tapi kamu mau tidur di mana? Kontrakan mas cuma ada kamar satu dan juga kasur tipis di luas?" Tunjuk Sultan, tempat biasa ia tidur selama ini. Queen melambaikan tangannya pelan. "Nggak usah kuatir mas, aku nggak akan ganggu mas dan mbak e kalau lagi gituan. Aku tidur di luar saja dan kalian bisa di dalam, hati-hati jangan kebawa nafsu nanti dedeknya mabok titttttt," ujar Queen dengan senyum meledeknya, setelah itu ia menuju dapur dan meninggalkan aku bersama Sultan berdua saja. Sultan langsung lemas sedangkan aku berusaha menahan tawa. Aku mendekati telinga Sultan dan berbisik pelan. "Akhirnya dedek tidur di samping papah, nanti peluk dedek ya pah." Godaku. Sultan membesarkan bola matanya. "Dedek atau mamah yang pengen dipeluk?" Sindirnya. Aku kembali mendekati telinganya, "Dua-duanya juga boleh," balasku pelan. "Mbak e, jangan mancing ya." "Emang mas ikan," balasku dengan senyum lepas. "Nggak, saya hanya manusia biasa yang punya hasrat dan keinginan untuk mencium sampeyan, jadi berhenti memancing saya." Sultan tiba-tiba mencium pipiku. Aku langsung mengedipkan mata berkali-kali. "Mas." "Maaf, papah kebawa perasaan." Ujarnya sebelum pergi meninggalkan aku yang masih diam seperti patung dengan posisi memegang pipi. Jantungku berhenti berdetak selama beberapa menit. "Mas ..." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD