Bab 5

1236 Words
Jam menunjukkan pukul tujuh malam saat aku mendengar sepeda Sultan berhenti di depan rumah. Aku bergegas keluar dari kamar dan menunggu kepulangannya. Tidak lama Sultan masuk sambil membawa sebuah plastik kresek berwarna hitam. Ada raut kelelahan di wajahnya. "Udah pulang, mas?" Tanyaku lembut. Sultan mengangguk pelan dan menyerahkan kantong kresek tadi ke tanganku. "Apa ini?" Tanyaku. "Alhamdullilah, dibalik kesialan saya dua hari ini Tuhan ternyata masih iba dan memberikan sedikit rezeki untuk saya. Itu saya belikan bh, celana dalam dan daster serta s**u khusus ibu hamil. Maaf, seadanya aja ya. Saya nggak bisa beli yang mahal-mahal," balasnya. Aku menelan ludah dan membuka kantong kresek itu. Ada beberapa buah bh dan celana dalam dengan berbagai motif yang wow, ada motif macan dan ada juga berenda dengan bahan transparan. Astaga, mas satu ini kebanyakan nonton bokep apa ya. Kok seleranya luar binasah seperti ini. "Mas beliin aku bh dan celana dalam buat apa? Tau dari mana ukuran aku?" Sultan tersenyum lugu sambil menggaruk kepalanya. "Mbak e lupa saya sudah pernah lihat sampeyan telanjang, jadi sedikit taulah ukurannya. Pasti nggak enakkan nggak ganti bh dan celana dalam, makanya saya belikan. Mumpung murah tadi di pasar pengkolan," jawabnya. Fix, selain lugu mas mas satu ini cuma punya kelebihan mengingat hal-hal dalam sekali lihat. Aku harus waspada, jangan sampai telanjang lagi di depannya. Bisa-bisa ia mengingat bentuk tubuhku dalam tidurnya. "Makasih ya mas, ini sangat berguna." Aku mengeluarkan lima buah daster berbagai motif dan warna serta sekotak s**u hamil. "Jangan lupa diminum susunya, oh iya dasternya muat nggak? Mumpung murah saya beli sekalian," ujarnya antusias. Aku tertawa dan mengangguk pelan. "Muat kok, ya sudah mas mandi dulu terus makan tapi jangan lupa pasang kain. Nanti aku lihat mas telanjang juga," godaku. "Mbak e! Jangan ngadi ngadi lagi sama saya!" Aku tertawa keras dan meletakkan plastik kresek tadi di dalam kamar. "Mbak Estiiiii," teriakan menggelegar dari arah luar membuat Sultan kaget. "Astaga, mbak Mulan manggil siapa sih sekeras itu?" Tanyanya. "Panggil aku lah mas, mbak Mulan nanya namaku siapa. Mas tau sendiri kalau aku nggak ingat namaku. Ya udah, mumpung namanya Mulan sekalian aja aku bikin nama sendiri. Jadi namaku sekarang Esti, Maya Estianti." Aku menyunggingkan senyum lebar. Sultan langsung memukul keningnya dengan tangan kanan. "Haduh, banyak yang nggak waras di gang ini," ocehnya sebelum masuk ke dalam kamar mandi. "Mbak Estiiiii," teriak mbak Mulan lagi. Hidup di pemukiman padat penduduk membuatku harus siap menghadapi kerempongan dari tetangga-tetangga yang rumahnya saling berdempetan dan sialnya rumah Sultan berdempetan dengan rumah mbak Mulan Jamilah. "Iya mbak, sabar. Lagi kelonin suami dulu," sahutku asal setelah membuka pintu. "Ya ampun, mbak Esti ini. Saya jadi mupeng juga kan. Tau aja sekarang malam Jumat, waktunya w*****k w*****k sama suami." Sahut mbak Mulan dengan malu-malu. Aku berusaha menahan tawaku. "Ada apa mbak?" "Itu, ikut saya yuk ke balai pemuda di ujung gang. Ada acara ibu-ibu PKK gang senggol bacok," balas mbak Mulan. "Buat apa mbak?" "Mbak Esti kan istrinya mas Sultan tapi sebagian ibu-ibu PKK belum tau, jadi saya mau kenalin mbak Esti ke ibu-ibu lainnya," balasnya. Iya juga, aku hanya tau mbak Mulan Jamilah ini sedangkan tetangga lainnya aku belum kenalan. "Ya sudah, aku izin suamiku dulu. Takutnya nanti minta nambah eh aku nya nggak ada," balasku asal. Mbak Mulan tersipu malu, mungkin lagi ngehalu bayangin aku dan Sultan melakukan adegan tidak senonoh. Aku pun masuk ke dalam rumah dan sengaja berteriak hanya melalui pintu dapur agar aku bisa memberitahu Sultan. "Mas, aku ke balai pemuda dulu ya. Di ajak mbak Mulan ke perkumpulan ibu-ibu," teriakku agar didengar Sultan. "Hah, apa?" Aku melihat kepala penuh busa nongol dari kamar mandi. "Aku pergi sama mbak Mulan ke balai pemuda," teriakku lagi. "Ngapain?" "Ghibahin mas lah," jawabku asal. Sultan menggelengkan kepala beberapa kali lalu kembali melanjutkan mandinya. Setelah minta izin aku mengganti baju kaos dengan daster yang dibeli Sultan tadi. "Mbak, yuk." Ajakku. Mbak Mulan melihatku dari atas sampai bawah, kami pun melanjutkan perjalanan menuju balai pemuda. "Mbak Esti punya daster baru ya? Ini mah murah di pasar pengkolan, lima buah 100ribu." Ujarnya tanpa henti. "Oh ya? Nggak apa-apa sih murah, lagian nanti juga dicopotin sama mas Sultan pas mau bobok dan kadang dirobekin pas mas Sultan lagi panas-panasnya," bisikku pelan untuk membalas sindiran tajamnya. Aku sih nggak masalah pakai daster murah apalagi ini dibelikan Sultan dari rezekinya hari ini. Mbak Mulan aja resenya nggak ketolong. "Ih mbak Esti, aku makin mupeng kan." Malam ini akhirnya aku membungkam mulut rese Mbak Mulan dengan cerita-cerita halu tentang hubungan ranjang aku dan Sultan, biar nggak berisik lagi dengan sindiran-sindiran halusnya. **** Jam menunjukkan pukul 10 malam saat aku pulang ke rumah. Sultan sedang duduk di lantai sambil membaca sebuah buku. "Mas, aku pulang." Sultan melihat ke arahku, "Udah selesai ghibahin saya? Pantasan telinga saya berdengung sejak tadi," sindirnya. "Ih papah mulai deh main sindir sindirnya," aku melenggang masuk dan melihat meja makan masih sama seperti sebelum aku pergi ke balai pemuda. "Loh mas belum makan?" Aku membuka tudung saji dan memang hanya ada telur dadar seadanya. Hanya telur dan bawang yang aku temukan di dapur. "Nungguin mbak e, biar bisa sama-sama makan," balasnya. Aku diam membisu mendengar ucapannya barusan. Baru kali ini ada manusia berhati baik seperti Sultan, rela menungguku walau aku yakin ia sangat lapar. "Maafin aku ya, tadi mbak Mulan ngajakin ke balai pemuda eh taunya di sana malah asyik ngegosip sama ibu-ibu lainnya," kataku nggak enak karena menungguku Sultan belum makan malam. "Santai, mbak e. Namanya pendatang baru ya wajar ibu-ibu sini pengen kenalan sama 'istri' saya," ujarnya dengan sengaja menekan kata istri untuk menyindirku. Aku tersenyum lebar dan mengajaknya untuk makan malam, aku sengaja mengambil porsi lebih sedikit agar Sultan bisa makan lebih banyak. "Ini mas," aku meletakkan piring di dekatnya, setelah itu aku pun duduk di kursi satunya dan mulai menikmati makanan sangat sederhana tapi cukup menyenangkan ini. Ternyata hidup sederhana bisa menyenangkan juga. "Mbak e, masih belum ingat?" Tanyanya dengan wajah menyelidik setelah kami selesai makan. Aku menggeleng pelan. "Papah kok nanyain itu lagi? Masih pengen nolak mamah dan dedek ya? Jadi buat apa papah belikan daster, bh, celana dalam serta s**u hamil? Buat apahhh? Hiksssss," astaga, sejak kapan aku selebay ini. "Bukan, ih mbak e selalu gitu deh sama saya. Nanya aja kok, biar saya tau sampeyan ini berasal dari mana, takutnya suami sampeyan kelimpungan cariin sampeyan," balasnya. Aku langsung memukul meja dengan tanganku hingga Sultan terkejut sambil memegang dadanya. "Nah kan, papah masih denial. Masih nolak kita dek, mamah sakit hati banget dek. Kita bunuh diri aja!" Aku pura-pura berdiri agar Sultan berhenti membahas masalah hilang ingatan dan benar Sultan langsung panik. "Ih mamah sensi, bukan gitu maksud saya. Nggak kok dek, papah nggak nolak eh kok saya ikutan panggil papah sih," Sultan menggaruk kepalanya. Ya ampun, lucu sekali Sultan ini. Reflek aku mencubit pipinya saking gemasnya. "Mbak e!" "Mas, lucu." Ujarku sambil membawa piring kotor ke dapur. Sejak bertemu Sultan aku jadi sering tertawa lepas, sungguh aku bersyukur bisa bertemu dengan Sultan dan kehadirannya bisa membuatku perlahan melupakan masa lalu menyedihkan antara aku dan Trias. "Mbak e," panggil Sultan. Aku menoleh ke arahnya, "Ada apa mas?" "Mbak e, jangan keseringan senyum. Nanti saya bisa meleleh dan jatuh cinta sama sampeyan kan gaswat eh gawat," ujarnya. Aku kembali tersenyum. "Kalau itu terjadi, mungkin karena dedek pengen mas jadi papahnya," balasku. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD