Sakit tapi tak berdarah

1995 Words
"Permisi, Tuan. Rapatnya akan dimulai 10 menit lagi." Sekertaris Roy memberitahu, kedua pria itu sangat disiplin. Mereka tidak mentolerir siapapun yang datang terlambat dan tidak patuh. Meski itu sekelas manager sekalipun, laki-laki ataupun perempuan. Ziko menatap Roy sekejap kemudian melanjutkan kegiatannya menganalisa proposal proyek Bali yang sebentar lagi akan launching. "Bagaimana dengan pria tua itu?" "Dia sudah mendapatkan kembali posisinya dengan penjagaan ketat. Perusahaannya akan hancur seketika jika Tuan Sutomo kembali melakukan kesalahan." Sekertaris Roy menjelaskan dengan sangat sopan. "Bagus!" "Tapi, Tuan." Ucapan tertahan Sekertaris Roy menghentikan gerakan tangan Ziko. "Tuan Sutomo telah mengganti nama saham kepemilikannya atas nama Celine," ucap Roy menjelaskan kemudian tertunduk, menimbang apakah informasi yang dibawanya ini akan menarik perhatian tuannya atau tidak. "Celine?" Dahi Ziko berkerut. "Betul, Tuan. Putri pertama mereka." Ziko terdiam. Sebenarnya dia tidak terlalu peduli dengan mereka. Namun, setiap kali ia melihat gadis menyedihkan itu membuat rasa penasarannya meningkat. "Bukankah bocah ingusan itu juga putrinya?" ‘itu’ Sekertaris Roy tentu tahu kata ‘itu’ di tunjukan untuk siapa. "Iya, Tuan." Ziko kembali terdiam, sekelebat bayangan gadis kecil yang berani menghentikan ucapannya itu kembali. "Besok! Aku ingin semua datanya sudah ada di meja!" ucap Ziko kemudian beranjak meraih jasnya. “Baik, Tuan,” tutur Sekertaris Roy kemudian ikut keluar, berjalan tegap di samping tuannya menuju ruang meeting. *** Disebuah Cafe di pusat kota, seorang koki wanita sedang memasak dengan sangat bersemangat. Dia menyalurkan seluruh perasaannya pada masakan yang ia buat. Tak jarang teman-temannya rela menahan lapar hanya agar bisa mencicipi masakan buatannya setelah pekerjaan mereka selesai. “Hmm wangi ini mengundang nafsu makanku,” ujar Toni, pria tampan yang memiliki tubuh besar dan pendek. Toni merupakan sahabat Hana yang bekerja di cafe yang sama, sebagai waiters. “Ingat badan!” sindir Caca yang baru tiba. Toni hanya cengengesan. Begitu juga dengan Hana. Gadis itu tersenyum hangat melihat sahabatnya yang selalu bertengkar seperti Tom and Jarry namun sebenarnya saling sayang seperti upin ipin. “Heh jin tomang! Lo itu ya, makan mulu otaknya,” timpal Salsa yang juga baru tiba di dapur. Ia tidak habis fikir dengan nafsu makan Toni yang menurutnya melebihi kadar kenafsuan. Terlihat Toni sedang melahap satu piring penuh yang berisi nasi goring buatan Hana. Padahal baru saja satu jam yang lalu pria itu di beri makan. Caca dan Salsa juga merupakan sahabat Hana. Mereka berprofesi sebagai Koki, meski masakan mereka tidak se enak Hana. Mereka tidak mempermasalahkannya, tetap bekerja dengan professional dan mengakui jika Hana lebih hebat dari mereka. “Suka-suka gue dong!” jawab Toni acuh pada Salsa. “Yeh ni anak di bilangin. Lo, kalau badan kayak jin terus begini kasian bini lu nanti,” ujar Salsa. “Ngapa emang?” tanya Toni dengan mulut yang penuh dengan makanan. “Kasian! Pengek dia nanti,” timpal Caca di ikuti tawa Salsa dan Hana. “Sialan!” Mendengar umpatan Toni, Hana, Caca dan Salsa kembali tertawa. Menikmati wajah gembul Toni yang masih bergerak mengunyah makanan. “Oh iya Han?” Suara Salsa tiba-tiba mengejutkan Hana yang baru duduk terdiam di depan mereka. “Iya?” “Nenek sihir itu udah lu masukin SDIT belum?” tanya Salsa membuat Hana, Caca dan Toni berkerut. “Maksudnya?” “SDIT, Sekolah Dasar Ibu Tiri,” “Buahahahahaha.” Jawaban Salsa membuat Toni yang baru saja menyelesaikan makannya tertawa terbahak-bahak. Ketiga sahabat Hana tahu jika Hana mempunyai ibu dan saudara Tiri yang kejam, meski Hana tidak pernah menceritakannya namun mereka tahu karena sering kali melihat Nenek sihir dan anaknya itu menyiksa Hana, seenaknya. “Eh bambang! Jangan keras-keras kita bisa di tegur kepsek MTs nanti," ujar Salsa sambil asik mengaduk masakannya. Mereka bertiga kembali bingung, karena setau mereka tidak ada yang berprofesi di bidang pendidikan apalagi sebagai kepala sekolah Mts disini. “Apa ni MTs? Aneh-aneh ni pasti.” Caca menebak. “Madrasah Tante Semok, hahahaha.” Salsa tertawa puas ketika mendapatkan singkatan yang pas. Diikuti tawa oleh semua temannya. “Apa kalian sudah bosan bekerja?” Suara bariton sukses membungkam mereka berempat. Suara itu tak lain adalah manager mereka, Morgan. Morgan terkenal sebagai manager yang tampan, kaya dan playboy. Tak jarang Salsa memergoki Morgan tengah berduaan dengan seorang wanita yang berbeda beda setiap malamnya. Di dalam ruangan tanpa ada siapapun selain mereka. Pria itu kembali setelah semuanya kembali hening, dengan wajah datar menghardik semua karyawannya dengan tatapannya. Tatapan elang yang tajam namun tetap terlihat lucu di wajah Caca. “Kan, ditegur kepala MTs,” ujar Salsa lagi membuat mereka semua kembali tertawa tanpa suara. Hana begitu senang, kesenangan sementara bersama sahabat-sahabatnya ini membuat Hana menghilangkan semua masalahnya. Meski hanya untuk sementara, setidaknya dia masih di ijinkan bahagia dan tersenyum. Hana sangat bahagia dan bersyukur karena tuhan memberikan sahabat yang baik untuknya. Menjadi teman suka dukanya selama ini. Keesokan harinya. Semua aktifitas berjalan seperti biasanya, hingga akhirnya mereka yang berkutat dengan setumpuk pekerjaan yang biasa di geluti membuat waktu istirahat tiba tidak terasa. Sama halnya dengan Ziko yang baru saja meregangkan otot-otonya. Menarik dasi hingga membuatnya longgar, membuka kancing tangan dan melipatnya hingga siku. Terlihat sangat sempurna. Pria bertubuh tegap itu perlahan berjalan kearah dinding kaca yang memamerkan keramaian kota, sangat indah terlihat dari atas. Sangat pas untuk menghilangkan kepenatan dan menyegarkan mata dari berbagai tulisan yang tertera di lembaran lembaran kerja. Mata biru tersebut terus saja memandang tanpa berkedip, hingga akhirnya tibalah seorang pria dengan fashion kerja yang sangat rapih masuk kedalam ruangan setelah mengetuk pintu. “Selamat siang, Tuan muda,” ucapnya sangat sopan Ziko bergeming. “Mobilnya sudah siap, Tuan,” ucapnya lagi masih dengan nada rendah. Ziko mengangkat tangan, pria tersebut langsung membungkuk dan kembali. Sekelebat sebelum dia membalik badan, dia melihat tuannya dengan aneh. Tak biasanya tuan muda Ziko betah berlama lama memandang keramaian meski hanya dari jauh. “Tunggu!” “Ya, Tuan. Anda yang anda butuhkan?” tanya pria itu sangat sopan dan selalu menurunkan nada bicara 1 oktaf dari tuannya. “Aku ingin kesana, Roy,” ucap Ziko kepada sekertarisnya. “Baiklah.” Tanpa Ziko ucapkan, Sekertaris Roy sudah mengetahui keinginan tuannya. Roy adalah orang tercerdas yang Ziko pilih dari ratusan ribu orang yang Ziko seleksi menjadi sekertaris pribadinya. Roy sangat hafal peta tata telat perusahaan tempat ia bekerja dan setiap inci didalamnya, Roy bahkan mampu menghafal seluruh isi buku hanya dalam 30 menit dan Ziko sudah mengakui kecerdasan dan kesetiaan sekretarisnya. Hingga akhirnya mobil sport hitam tiba di parkiran 'Cafe Kirana' Cafe tersebut terletak tidak jauh dari perusahaan Pernanda Wijaya. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja untuk tiba di sana. “Silahkan tuan.” Roy membungkuk mempersilahkan tuannya masuk kedalam ruang VIP yang telah ia sediakan sebelumnya. Ziko terdiam menatap ukiran nama cafe yang terpampang jelas dan besar di bangunan tersebut kemudian berjalan menghiraukan tatapan para wanita dan karyawati yang terkagum-kagum akan ketampanan dan kharismanya. “Tumben Tuan Ziko makan siang disini.” “Iya, suatu keberuntungan bisa satu ruangan dan satu udara dengannya.” Bisik bisik tersebut sudah biasa Ziko dengar, dia segera mempercepat langkah untuk melalui wanita yang menurutnya menganggu. “Panggilkan dia kesini!” “Baik, Tuan.” Benar tebakannya. Roy yang sangat cerdas tentu mengetahui alasan tuannya makan disini. Sebelum tiba tadi, Roy sudah mengamati dan mencari informasi dari orang suruhannya akan ada apa di dalam cafe kecil ini hingga membuat tuannya meminta datang ketempat yang sebelumnya tidak pernah ia kunjungi. Dan benar saja tebakannya. Tuan Ziko kesana hanya ingin bermain main dengan mainan barunya. “Selamat siang, Tuan. Silakan, anda mau pesan apa?” tanya seorang koki wanita dengan ramah yang tak lain adalah Hana. Karena posisi pelanggan VIP nya yang membelakangi membuat Hana tidak mengetahui siapa pelanggan menyusahkannya itu. Seorang koki cafe keluar dengan susah payah atas permintaan Morgan. Hana mendengus kesal karena kerjaannya yang menumpuk ditambah dengan pelanggan VIP yang meminta dia sendiri yang melayaninya. Dia bahkan masih menggunakan hat cook untuk menemui pelanggan VIP yang kata morgan penting itu. Huh! Menyusahkan saja! Ziko berbalik dan menatap gadis yang sedang sibuk dengan dunianya. Hana belum menegakan kepala, mata dan tangannya masih sibuk pulpen dan buku. Bersiap menulis apa saja yang akan di pesan tamu VIVnya. Ziko tercekat, ia menganggap jika dirinya lebih rendah di bandingkan dengan pulpen dan buku yang di genggam gadis itu. “Begitukah caramu melayani pelanggan,” tukas Rangga sinis. DEG! Suara itu, Hana mengenalnya. Suara itu, bukankah itu suara tuan Ziko. Perlahan Hana menegakkan kepalanya, berharap jika suara itu bukanlah orang yang sama. Matilah aku! Manik mata mereka beradu, sepersekian detik Hana sempat terkagum akan ketampanan pria di hadapannya. Namun di detik kemudian ia sadar. “Ma-maaf, Tuan,” jawab Hana gugup. Tangan dan kakinya mulai lemas melihat tatapan Ziko yang merah padam, entah apa yang terjadi pada pria tua ini hingga membuatnya semarah itu. Mata Ziko melirik Sekertaris Roy sekejap kemudian beralih kepada Hana. Kakinya perlahan berjalan dan mendekati Hana yang semakin gemetar. Jantungnya semakin berdetak kencang ketika semua pelayan di sana termasuk Sekertaris Roy undur diri dan menutup pintu. Hey kalian mau kemana? Tuhan, kumohon lindungi aku. Ziko tersenyum puas melihat ketakutan Hana. Seorang gadis dari seorang koruptor itu ternyata sangatlah lembek dan jalang. Adegan demi adegan pagi tadi terus terlintas di pikirannya. Membuat darahnya mendidih. Perlahan, Ziko terus berjalan mendekati Hana, mengikis jarak diantara mereka. Hana bahkan sudah terpojokkan. “A-Apa yang anda lakukan, Tuan?” Hana sangat ketakutan melihat wajah Ziko yang merah padam, rahangnya yang kokoh terlihat sangat jelas jika dia sedang murka. BUGH! Ziko menonjok tembok tepat di samping wajahnya membuat Hana terperanjat, semakin gemetar karena ketakutan. Tak sampai disitu, Ziko mencengkram leher Hana hingga meninggalkan bekas memar merah disana. Hana memejamkan mata ketika Ziko menguatkan cengkramannya, Ibu, aku akan nyusul ibu ke surga sekarang. Lirih Hana sambil tersenyum. Kekerasan fisik biasa Hana dapatkan semenjak ibunya sudah tiada. Maya bahkan tidak segan-segan menggunakan pisau untuk memberikan luka kecil di wajahnya. Bahkan Hana sudah menduga jika pria ini pasti akan melakukan hal yang sama. Emosi Ziko semakin naik pitam kala melihat senyuman Hana terbit dikala kesakitannya. Bukankah harusnya dia menangis dan memohon belas kasih padaku. Udaranya semakin sempit, Hana semakin tersenyum ikhlas dan senang hati akan kepergian dan menyudahi hidupnya yang sangat lelucon ini. Namun naas, lagi-lagi semua orang tak mengizinkan apa yang menjadi keinginannya itu terjadi walau hanya ingin mati. “Huh huh huh huh.” Ziko melepas cengkraman. kemudian beralih mencengkram kedua lengan Hana. Belum sempat Hana menghirup udara dengan tenang, Dengan brutal Ziko mencumbui Hana tanpa ampun. Hal itu membuat Hana semakin merasakan nyeri di dadanya. Benar kata Ibu tirinya, dia hanya akan di jual dan di jadikan pemuas nafsu oleh pria ini. Hana menumpahkan segala kesakitan lewat tangisnya tanpa suara. Semakin Hana memberontak semakin Ziko menciumnya lebih kasar dan brutal. Tidak ada kelembutan dan kasih sayang didalamnya, hanya ada kemarahan dan hasrat yang bergejolak mengalir dalam darah Ziko saat ini. Srek! Ziko menarik paksa baju bagian atas Hana hingga sobek dan memperlihatkan kedua gunung kembarnya. Membuat Hana semakin terisak dan merasakan rasanya menjadi wanita tidak dihargai. Puas mencumbui semua wajah Hana, kini bibir Ziko berlari di area leher dan dada Hana. Menikmati seluruh bagian tersebut, mencumbui menyesapi membuat Hana menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Ziko merasakan air mata yang menetes tepat di pipinya. Membuat Ziko tidak berselera melanjutkan aktifitasnya. Ziko mendorong kasar Hana hingga terjatuh. Sedangkan Hana terus saja menangis dalam diam. Tanpa berniat berdiri dan menatap pria keji di depannya. Hana hanya menutup dada. Ziko berjalan menuju meja dan mengambil tissue, membersihkan bibir serta membersihkan kedua tangannya menggunakan hansanitizer. Sangat sakit Hana melihatnya, dia terus saja menangis hingga akhirnya suaranya keluar setelah pria itu keluar dan melemparkan pakaian koki baru kepadanya. “Ibu! Hana rindu hiks.” Hana menangis menumpahkan seluruh kesedihan dan kekecewaannya. Kenapa tuhan sangat tidak adil kepadaku. Disaat adik tiriku bisa kuliah dengan tenang, aku harus bekerja dan mencari uang untuk membayar kuliahku. Disaat orang lain bahagia dengan keluarganya, aku harus menjadi pelacur demi keluargaku sendiri. Puas menangisi nasib hidupnya yang menyedihkan, Hana meraih baju itu dan menggantinya. Untung saja tempat itu sangat sepi membuat Hana leluasa ke toilet dan mengganti seragam nya. Bersambung….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD