Perjanjian

1694 Words
Keesokan harinya. Seperti biasa, Hana mengepang rambut sebelum akhirnya ia berangkat kerja. Tuntutan lingkungan keluarga yang membuatnya harus bekerja, mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang nantinya ia bayarkan ke Universitas tempatnya menimba ilmu. Sisanya, ia serahkan untuk amal bakti pada panti asuhan dan panti jompo. Sebenarnya, Sutomo bukankah orang biasa. Dia memiliki perusahaan yang cukup besar di bidang properti. Tapi, lagi dan lagi atas usul ibu Maya membuat Hana harus bekerja jika ingin melanjutkan pendidikan. Berbeda dengan Celine yang mendapatkan fasilitas pendidikan dari ayah mereka. “Heh gadis pembawa sial! Mau kemana kamu?" Maya berteriak kala melihat Hana berjalan melewatinya. "Utusan Ziko mau jemput ntar siang. Awas kamu, kalau berani kabur!” kecam Maya sambil menatap jijik pada Hana. Maya sangat tidak menyukai gadis berambut kepang, tapi dengan sengaja Hana malah selalu mengepang rambutnya. Meski tak jarang Maya meneriaki dan menarik rambut Hana hingga akhirnya Hana membuka kembali kepangan rambutnya. Hana tidak menjawab, dia hanya mengangguk kemudian melangkah pergi. “Dasar gadis bisu! Sudah pembawa sial bisu lagi,” gerutu Maya kesal ucapannya tidak di tanggapi. Seorang wanita paruh baya berlari mengejar Hana hingga ke depan rumah. “Non, ini bibik siapin sarapan buat non.” Hana memeluk Bi Jum dan menangis. Pelukan ini yang selalu setia menemaninya selama 19 tahun ini, setelah kepergian Ibu, Bi Jum sudah Hana anggap sebagai ibu sendiri. Begitu pula dengan Bi Jum yang sudah menganggap Hana sebagai anak sendiri dan menyayanginya lebih dari Bayu, anaknya sendiri. “Sabar ya, Non. Nyonya besar pasti seneng liat non bisa tumbuh besar dan cantik begini.” “Makasih banyak bik,” ucap Hana diiringi senyum kemudian pamit undur diri. Hana berjalan menuju halte bus dengan kotak makan di tangannya. Pagi hari adalah waktu yang pas untuk menikmati indahnya langit, apalagi pagi ini sangat cerah. Hana mengangkat wajah dan menatap langit sebelum bus tiba. Di sudut lain, seorang pria tampan dengan fashion yang elegan duduk di mobilnya sambil menatap gadis yang sedang menatap langit di pagi hari. “Kotak makan, rambut kepang,” gumamnya kecil kemudian memerintahkan supirnya untuk jalan. Yang ditunggu akhirnya tiba, dengan segera Hana bergegas masuk ke dalam Bus karena tidak ingin datang terlambat. “Hanaaaa!" Hana berhenti saat seseorang memanggil namanya, menoleh kemudian tersenyum. “Bawa bekal lagi?” tanya Morgan, teman dekat Hana. Dia adalah orang kedua yang paling tau kisah hidup Hana. Morgan selalu ada dikala Hana sedih dan terpuruk, mereka berteman sejak SMA kelas 1. Morgan seorang pria tampan dan pria terfavorit kala itu. Hana selalu bertanya, kenapa Morgan mau berteman dengan gadis cupu sepertinya, Morgan selalu menjawab. “Penampilan tidak menjamin baik, tapi baiklah yang mempercantik penampilan.” Gombalan luar biasa bukan? Entahlah, tapi Hana yakin Morgan orang baik. Buktinya mereka akrab dan sering berbagi kisah hingga saat ini. “Iya,” jawab Hana kemudian menarik tangan Morgan. Mengajaknya masuk untuk segera masuk. Morgan dan Hana memang bekerja di tempat yang sama. Hanya saja, Hana bekerja sebagai koki sedangkan Morgan bekerja sebagai Manager disana. “Hey kau merindukanku ya hingga menarik-narik tanganku seperti ini,” goda Morgan sambil tertawa cekikikan. Hana sontak melepas genggamannya. “Ish kau ini, ayo kita masuk nanti telat." "Hey tenanglah! Kau lupa, aku managernya disini," ucap Morgan sedikit menyombongkan diri. “Ya iya, baiklah!” ujar Hana kemudian melengos pergi meninggalkan Morgan yang masih tertawa sambil memegangi perut. Morgan sangat menyukai gadis polos dan lugu seperti Hana. Baginya, gadis seperti Hana sangatlah menarik, selain mudah membuat kita tertawa, mereka juga tidak pernah macam-macam akan suatu hal. Selalu jujur dan apa adanya. “Hana tunggu!” teriak Morgan kemudian berlari mengejar Hana. Tiba waktu siang menjelang, Hana menoleh kesana kemari kemudian menatap ponsel yang digenggamnya. Jl.Mawar sebelah kiri. Hana mengulang bacaan yang tertera di dalam ponselnya untuk memastikan. Hana sudah tiba di tempat yang disampaikan seseorang. Dia sudah meminta izin pulang lebih dulu kepada Morgan dengan alasan tidak enak badan dan tentu saja Morgan dengan mudah mengatakan “Pulang dan istirahatlah!” Hana menarik diri lebih mundur ketika mobil hitam berhenti tepat di depannya. Jika saja Hana telat mundur selangkah saja, mungkin kakinya sudah terlindas ban mobil tadi. “Silahkan, Nona," ujar pria berpakaian formal mempersilahkan Hana masuk. Hana mengikut patuh, Maya mengancam akan meracuni ayahnya jika dia berani kabur. Hana terdiam sambil meremas ujung baju menatap kedua pria di depannya. Dia akan dibawa kemana? Hana sendiri tidak tahu. Mungkinkah tuan kejam bernama Ziko itu menyerahkannya kepada kedua pria yang menyeramkan ini. Huft, tapi entahlah, Hana sudah pasrah dia menerima semua resiko yang akan ditanggung demi sang ayah. Hana duduk diam, tubuhnya sudah berkeringat. Tak ada obrolan selama perjalanan, Hana hanya fokus menghafal setiap jalan yang ia lewati, takut sewaktu waktu jika ia ingin dibunuh atau disiksa ia bisa kabur lewat jalan yang sama. Jalan yang Hana lewati sangat asri, pepohonan besar berbaris rapi di pinggirnya. Tak tertinggal juga bunga bunga berwarna warni menghiasi jalanan tersebut. Tapi sayang, jalanan itu sangat sepi tak ada satupun pengendara lain atau rumah yang ia lewati. Hana semakin mencengkram kedua tangannya. Aku akan dibawa kemana? Lirihnya dalam hati Mobil yang Hana tumpangi berbelok dan tiba akhirnya disebuah rumah besar yang dibatasi pagar tinggi, pagar itu terbuka sendiri ketika mobil yang kami tumpangi mendekat. Sangat luas dan besar namun arsiteknya yang kuno dan letaknya yang jauh dari keramaian membuat rumah tersebut sedikit terlihat menyeramkan. “Silahkan, Nona.” Hana patuh keluar dan mengikuti pria tadi masuk kedalamnya. Hana masuk ke dalam sebuah ruangan besar yang hanya terdapat satu meja besar dan beberapa kursi di sana. Terlihat Hana duduk sangat nyaman di kursi yang empuk, lain nyatanya. Tubuh dan tangan Hana sudah bergetar sejak kakinya melangkah ke rumah besar ini tadi. Hana menarik napas berusaha untuk kuat dan terlihat biasa saja. Ia tidak ingin terlihat lemah oleh siapapun. Suara pintu terbuka membuat hati Hana berlonjakan semakin cepat. Pria itu muncul dari balik pintu ditemani seseorang yang menjemput Hana tadi. Pria itu sangat tampan dan rapi. Jika saja pria itu baik mungkin Hana sudah melabuhkan hatinya pada pria itu. Hana dapat melihat wajah pria itu dari pantulan meja kaca di depannya. Hana tidak berani walau hanya mengangkat kepala atau menyapa. Hana baru mengangkat kepala ketika Ziko melempar selembar kertas di hadapannya. “Baca!” Hana meraih kertas tersebut dan membacanya. SURAT PERJANJIAN Pihak kedua wajib mematuhi seluruh perintah pihak pertama. Pihak pertama adalah seluruh aturan yang wajib dijalankan oleh pihak kedua. Pihak pertama Ziko Pernanda Wijaya Pihak kedua Hana Kirana Perjanjian macam apa ini. “Apa maksudnya tuan?” Hana memberanikan diri untuk bertanya. Ziko menatap Hana yang menggunakan pakaian sederhana dan tidak fashionable. Hana sangat di bawah kriterianya, tidak memikat dan lusuh. Hana langsung terdiam ketika melihat Ziko memicingkan matanya. Hana kembali tertunduk. Apa itu artinya aku harus patuh atas semua perintahnya tanpa terkecuali? “YA!” Seakan tau apa yang dikatakan Hana, Ziko menjawab tegas pertanyaan Hana. “Cepat tanda tangani, aku tidak biasa membuang waktuku," ucapnya tegas. Hey tuan? lagipula siapa yang mengajakmu bertemu? jika bukan karena ayah aku tidak akan mau menemuimu. “Tapi tuan,,, tidak bisakah aku mem?” Hana berusaha bernegosiasi. Tapi belum sempat Hana menyelesaikan ucapannya, mata elang Ziko kembali menyerang kornea matanya. “Baiklah Roy! Hancurkan semua keluarganya!” “Tidak!! Kumohon tuan jangan lakukan itu kepada keluargaku," lirih Hana sambil mengatup kedua tangannya membuat Ziko tersenyum sinis. "Baiklah baiklah aku akan segera menandatanganinya.” Hana meraih selembar kertas kutukan itu dan menandatanganinya. Meski mereka tidaklah bersikap baik kepadaku, namun Hana tetap menyayangi mereka. Karena merekalah yang Hana punya saat ini. “Bagus!” Tanpa Ziko sadari ia tersenyum tipis yang terlihat oleh Hana. Aku bahkan terlihat sangat menyedihkan didepannya. Lirih Hana menatap kepergian Ziko dan sekretarisnya. Keesokan harinya. Sepulang kuliah, Hana kembali bekerja dan bertemu dengan Morgan. “Hey, ada apa dengan wajahmu?” Mereka berjalan beriringan, sesekali Morgan memainkan rambut kepangan Hana. Entah kenapa pria ini sangat menyukai kepangan rambutku. padahal, ibu saja sangat membencinya. Tidak ada jawaban. Hana terus memikirkan akan bagaimana nasibnya setelah menandatangani perjanjian aneh itu. ditambah dengan ucapan ibu Maya yang mengatakan jika ia akan dijual dan dijadikan pelacur oleh Tuan Ziko. Ingin sekali rasanya Hana bercerita dan meminta pertolongan kepada Morgan. Namun Hana urungkan niatnya ketika teringat ibu Morgan yang sangat tidak menyukainya. Ibunya pasti akan lebih tidak menyukainya bahkan membencinya jika dirinya terus menyusahkan dan memasukan Morgan kedalam masalahnya. Huft “Kau ini!” bentak Morgan mengejutkan Hana. Hana menoleh menatap Morgan, seolah bertanya Ada apa? “Gara-gara wajahmu ini!!!” sergah Morgan sambil menunjuk wajah Hana. “Gara gara wajahmu pagi ini sangat mendung dan akan hujan, Caféku pasti sepi jika hujan tiba,” celoteh Morgan terus menerus. “Aku? aku ini kenapa?” balas Hana yang tidak mengerti ocehan Morgan yang sedari tadi diacuhkannya. “Karena wajah ini sedih, pagi ini menjadi mendung,” ujar Morgan lembut sambil membelai pipi Hana dan memojokkannya hingga tubuh Hana terbentur ke tembok. “A-apa yang kau lakukan?!” tanya Hana terbata bata. Ketakutan melanda ketika wajah Morgan semakin mendekati wajahnya. Kukungan tangan kekar Morgan membuat Hana tidak bisa lari. Semakin dekat, Hana memejamkan matanya kuat-kuat. Berdoa agar hal selanjutnya tidak terjadi. Dia sangat hafal adegan yang akan terjadi selanjutnya jika wanita dan pria berdekatan seperti ini. Morgan tersenyum setiap kali melihat tingkah polos Hana. Morgan memang hanya sedang mengerjai Hana, meski jauh di lubuk hatinya morgan sangat ingin sekali benar-benar mencium gadis ini walau hanya sekilas. Morgan menghentikan aksinya kemudian menatap wajah Hana yang memejamkan mata. Sangat cantik dan sayu. Puas memandangnya, dia memundurkan wajah dan tertawa “HAHAHAHAHA.” Tawanya lolos melihat wajah Hana merah seperti tomat. “Ish, sialan!” “Hey, kau berani mengumpatku ya,” bentak Morgan dengan nada yang masih rendah. “Hehe. Tidak tidak, ampun," ujar Hana sambil mengangkat kedua tangannya. “Lariiiii!!!!” Hana berlari kencang membuat Morgan semakin tertawa terbahak-bahak. Morgan sangat suka jika mengerjai sahabatnya, dia menyukai kepolosan dan keluguan Hana. “Buahahahaha.” Morgan terus saja tertawa melihat kegugupan dan wajah merah Hana setiap kali ia mengerjainya. Morgan menyukai semua yang ada pada diri Hana. Tidak jauh dari tempat kejadian terdapat seseorang yang sedang memperhatikan mereka, seseorang itu terus berdiam diri hingga akhirnya morgan berlari menyusul Hana kemudian menancapkan gas menuju perusahaan miliknya. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD