"Kak Yuni," panggil Elenora lembut.
Wanita itu mendongak, matanya yang biasanya hangat kini diselimuti kekhawatiran.
"Non, apakah sudah ada hasil pemeriksaan Dante?"
Elenora menarik napas dalam, lalu duduk di samping wanita itu. "Sudah ada, Kak. Intinya, Dokter Alif bilang, kondisi Dante semakin mendesak. Dia butuh operasi secepatnya."
Yuni menggigit bibirnya, tatapannya langsung tertuju ke wajah putranya yang masih tertidur pulas. "Berapa biaya operasinya?" tanyanya dengan suara bergetar.
Elenora menelan ludah, mendadak kelu mendengar pertanyaan itu. Dia melihat kekhawatiran di wajah ibu Dante dan seketika tidak tega menambah bebannya.
“Aku belum membicarakan tentang biaya dengan dokter. Nanti aku beritahu kak Yuni kalau sudah ada info mengenai biaya operasinya.” Ujarnya kemudian.
Sebenarnya Elenora mengetahui persis biaya operasi penanganan VSD seperti yang diderita Dante, tapi dia tidak tega membicarakannya dalam situasi seperti ini.
Elenora paham betul kondisi keluarga ini. Setelah ayah Dante meninggal dalam kecelakaan, Kak Yuni membesarkan putranya seorang diri dengan membuka warung makan sederhana di depan rumah kecil mereka. Bibi Dina juga membantu dengan penghasilannya sebagai pelayan di keluarga Cahyadi. Tapi tetap saja mereka tidak akan mampu membayar biaya operasi sebesar itu.
Elenora menghela napas panjang, merasa sesak, memikirkan keadaan bocah laki-laki yang biasanya ceria sekarang terbaring lemah itu.
*
Elenora kembali ke poli umum dengan pikiran yang penuh beban. Dia berjalan dengan langkah pelan di lorong rumah sakit, pikirannya terasa berat.
Dante butuh operasi segera.
Elenora menggigit bibirnya. Biaya operasi dan biaya lainnya, paling tidak butuh lima ratus juta. Jumlah yang tidak kecil.
Sejak kecil, dia adalah bagian dari keluarga Cahyadi—setidaknya secara nama. Ayahnya, Suryo Cahyadi, adalah pemilik pabrik kertas yang cukup besar dan terkenal. Namun, semua kemewahan yang berasal dari nama itu bukan miliknya.
Itu hanya milik Kinanti dan Sofia.
Sejak neneknya meninggal, Elenora tak lebih dari bayangan di rumah besar itu. Seseorang yang hanya diingat ketika dibutuhkan, tapi tak pernah diakui. Ibu tirinya, Kinanti, memperlakukannya seperti pelayan. Sementara Sofia, adik tirinya, tak pernah melihatnya sebagai keluarga.
"Kamu ada di sini karena rasa kasihan Papa, bukan karena kamu berhak," kata-kata Sofia itu masih terngiang di kepalanya.
Mereka berdua tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengingatkan bahwa dirinya bukan bagian dari mereka. Haknya sebagai anak Suryo Cahyadi perlahan dirampas. Kinanti bahkan memutar balikkan fakta dan menceritakan ke semua orang kalau dia hanya anak haram dari wanita simpanan suaminya.
Tidak ada yang berani menentang Kinanti, termasuk Suryo.
Dan kini, ketika Dante membutuhkan bantuannya, Elenora tahu satu hal: meminta bantuan dari keluarga Cahyadi bukanlah pilihan.
Dia menatap lurus ke depan, mencoba menenangkan pikirannya. Dia harus mencari cara lain. Mungkin dia bisa mencari bantuan dari yayasan kesehatan. Atau meminta sumbangan dari para dermawan yang pernah ia temui saat menjadi relawan.
Langkahnya terhenti di depan pintu poli umum. Dia menghela napas panjang.
Elenora baru saja hendak masuk ketika mendengar suara memanggilnya.
"Elenora Cahyadi?"
Suara berat itu terdengar tegas dan menekan. Sebelum Elenora sempat berbalik, tiba-tiba sebuah tangan kokoh mencengkeram pergelangan tangannya. Dia tersentak dan menoleh, hanya untuk melihat seorang pria tinggi dengan ekspresi penuh amarah.
Dia adalah pria yang mendekatinya semalam, dan tadi pagi dia tinggalkan tertidur di sofa.
Mata pria itu berkilat tajam, dan sebelum Elenora bisa berkata apa-apa, dia menariknya dengan paksa ke sudut lorong rumah sakit yang lebih sepi.
"Hei! Apa-apaan ini?!" Elenora berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Elang terlalu kuat.
Begitu mereka sampai di sudut yang sepi, Elang melepaskannya dengan kasar. Nafasnya berat, matanya penuh kemarahan yang membara.
"Jelaskan sekarang juga!" suaranya dalam dan penuh tuduhan.
Elenora mengerutkan kening. "Jelaskan apa?"
"Jangan pura-pura bodoh! Aku tahu kau yang menjebakku semalam!"
Jantung Elenora berdegup kencang. "Apa? Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!"
"Jangan berpura-pura polos! Kau telah merencanakan skandal penggerebekan itu kan? Siapa yang menyuruhmu?!"
Elenora menatapnya dengan penuh keterkejutan. Pria ini g1la!
"Aku bahkan tidak tahu kau siapa! Aku tidak pernah merencanakan apapun!" serunya dengan suara bergetar antara marah dan terluka.
Elang terkekeh sinis. "Oh, jadi kau tidak tahu? Lalu kenapa kau pergi begitu saja pagi tadi dan pura-pura tak terjadi apa-apa?"
"Aku memang tidak tahu dan tidak ingat apa-apa! Aku hanya tahu aku terbangun di kamar itu dalam keadaan yang tidak aku mengerti!"
"Omong kosong!" Elang semakin mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Elenora. "Kau pikir aku akan percaya omonganmu? Semua ini jelas direncanakan!"
Elenora menatap mata pria itu dengan tajam, lalu berkata dengan suara dingin, "Percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Kau mengganggu tenaga medis yang sedang bertugas. Sekarang lepaskan aku atau aku akan teriak."
Elang terdiam beberapa detik, lalu melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Dia kembali menatap Elenora yang balas menatapnya garang dengan frustrasi. "Semalam aku berniat baik ingin menolongmu. Aku kira kau wanita baik-baik, tapi ternyata kau sudah berencana menjebakku. Kau ingin masuk ke keluarga Dirgantara dengan cara menjijikkan seperti ini, kau siapa sebenarnya?"
Elenora mendongakkan dagunya. "Soal video itu, aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak mengenalmu dan keluargamu. Aku bukan perempuan g1la yang terobsesi menjadi bagian keluargamu. Dan sebenarnya bukan hanya kau saja yang dirugikan. Reputasiku juga tercoreng. Semua orang di rumah sakit ini membicarakanku."
Elang tersenyum sinis. “Pura-pura menjadi korban juga heh? Sekarang ayahku memaksa aku harus menikahimu. Aku harus bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak kulakukan. Yang benar saja. Aku bahkan tidak menyentuh tubuhmu.” Ujar Elang sambil mendesis jijik.
“Silakan kau jelaskan itu pada ayahmu. Aku tidak ada urusan dengan itu. Maaf, aku harus bekerja.” Ujar Elenora acuh tak acuh. Dia tidak mau dituduh melakukan sesuatu yang sama sekali tidak dia lakukan.
Elang mengepalkan tangannya, susah payah menahannya agar tetap berada di sisi tubuhnya. Dia ingin sekali menampar wanita lancang di depannya ini, tapi saat itu beberapa perawat dan pasien mulai berkumpul menonton pertengkaran mereka.
Skandal semalam sudah sangat merepotkan. Dia tidak ingin menambah dengan membuat keributan di rumah sakit. Bisa-bisa semuanya akan semakin kacau. Terlebih karyawan rumah sakit ini sebagian besar pasti mengetahui siapa dirinya.
Elang berusaha mengendalikan kemarahannya dan berbalik menatap Elenora tajam. “Kau harus membuat video klarifikasi. Aku beri waktu paling lambat 2 jam. Kalau sampai dua jam kau tidak melakukan apa yang kuminta, aku pastikan, kau akan membayar mahal!!” ucap Elang tajam lalu meninggalkan Elenora dengan langkah cepat.
Ayu yang baru sampai di sana, menatap Elenora bingung. "Nora… apa yang terjadi? Itu kapten Elang…"
Elenora menggelengkan kepala sambil menggigit bibirnya. Ia tidak tahu. Benar-benar tidak mengerti dengan semua tuduhan pria itu. Namun satu hal pasti—pria itu telah meninggalkannya dengan kebencian di matanya, dan Elenora tahu masalah ini belum selesai.
***
Suara dering ponsel mengisi keheningan dalam mobil Elang. Dengan satu tangan di setir, dia menggeser layar dan menerima panggilan.
"Kapten Elang, Anda harus segera ke kantor. Ini darurat!"
Elang mengenali suara itu. Heru, asisten kepercayaan ayahnya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya tajam.
"Harga saham Dirgantara Group semakin anjlok dalam beberapa jam terakhir. Dewan direksi panik, investor mulai menarik diri, dan pak Ridwan ingin Anda di sini sekarang juga."
Sial.
Elang mengepalkan tangannya, lalu memutar kemudi, mengarahkan mobil langsung ke kantor pusat Dirgantara Group—berada di sebuah gedung pencakar langit megah yang berdiri di kawasan bisnis paling elit di Jakarta.
Seharusnya dia hanya perlu menunggu wanita itu membuat klarifikasi. Skandal ini seharusnya mereda dengan sendirinya. Tapi dampaknya ternyata lebih besar dari yang dia perkirakan.
Rasanya semua ini menjadi tidak masuk akal. Elang seperti terdorong ke dalam ruangan minim oksigen. Dia ditekan sedemikian rupa hingga sulit bernapas.
Tangannya mencengkeram setir dengan kuat. Jika ini terus berlanjut, kepercayaan publik akan runtuh, dan itu akan menjadi kehancuran perusahaan.
Saat lampu lalu lintas berubah hijau, Elang menekan pedal gas. Dia harus membantu ayahnya mengendalikan situasi sebelum semuanya benar-benar hancur.
*
Dirgantara Group.
Ruangan kerja Ridwan Dirgantara terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun pendingin ruangan berjalan normal. Selembar laporan terkini dari bursa saham tergeletak di atas meja, menampilkan grafik merah yang terus menukik turun. Sejak berita skandal Elang mencuat ke publik, saham Dirgantara Group anjlok dalam waktu kurang dari 24 jam.
Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, napasnya berat menahan amarah yang hampir meledak. Di hadapannya, beberapa direktur perusahaan duduk dengan ekspresi penuh ketegangan.
Seorang eksekutif berdehem sebelum berbicara. “Pak Ridwan, kami sudah mencoba meredam pemberitaan, tetapi dampaknya lebih besar dari yang kami duga. Media terus menggiring opini yang menjatuhkan reputasi keluarga Dirgantara. Sepertinya ini sudah dikendalikan oleh kekuatan pesaing bisnis kita.”
BRAK!
Ridwan menggebrak meja dengan keras hingga beberapa dokumen berhamburan. Tatapan matanya tajam, wajahnya memerah menahan kemarahan.
“Elang! Ke mana anak itu?! Kenapa dia belum datang juga?” suaranya menggema di ruangan, membuat semua orang di sana menegang.
Seolah menjawab panggilan itu, pintu terbuka, dan Elang melangkah masuk. Wajahnya tampak letih, tapi sorot matanya tetap tegas.
Suasana terasa mencekam. Para direksi duduk tegang di sepanjang meja panjang dari kayu mahoni, sementara di ujung ruangan, ayahnya berdiri dengan wajah merah padam.
“Kamu akhirnya muncul juga!” Suara bariton Ridwan menggema di seluruh ruangan.
Elang menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Aku baru mendapat laporan. Aku harap situasinya nggak seburuk yang—”
“Tidak seburuk apa?!” Ridwan membanting laporan ke atas meja. “Harga saham kita jatuh lebih dari lima belas persen dalam beberapa jam! Investor panik, media menggila, dan kamu bilang tidak seburuk itu? Elang, kau menodai pesta ulang tahun kakakmu dengan skandal murahan. Sekarang kau menjadi bahan tertawaan semua orang dan menyeret perusahaan bersamamu.”
Elang mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Dia sudah siap menghadapi amarah ayahnya, tapi tetap saja mendengarnya berbicara seperti itu membuat dadanya sesak.
“Aku sedang berusaha mengurusnya, Pa. Aku sudah menemui wanita itu, dia bakal memberikan klarifikasi. Dan aku juga bakal menuntut orang yang sudah membuat video itu ke ranah hukum.”
Ridwan tertawa sinis. “Dan kau pikir semua orang akan percaya begitu saja? Apa kau tahu berapa banyak perusahaan yang bisa mengambil kesempatan dalam situasi ini? Tidak ada banyak waktu untuk semua solusi konyolmu itu. Kita bisa kehilangan proyek-proyek besar dalam sekejap mata. Belum lagi kepercayaan publik yang telah tercederai oleh ulahmu. Aku tidak akan membiarkan Dirgantara Group hancur hanya karena kebodohanmu!”
Elang tetap berdiri tegak, meskipun setiap kata-kata ayahnya terasa seperti belati yang menusuknya.
Seorang direktur menimpali, suaranya terdengar cemas. “Pak Ridwan, jika kita tidak segera bertindak, harga saham bisa terus anjlok. Ini bisa berdampak besar pada kepercayaan mitra bisnis dan kontrak jangka panjang kita.”
Ridwan mengusap pelipisnya dengan kasar, lalu menatap putranya dengan penuh tekanan.
“Dengar baik-baik, Elang. Kau harus menikahi wanita itu secepatnya.”