Bab 8 Solusi Terbaik

1639 Words
Elang menoleh dengan cepat, matanya melebar. "Apa?!" "Saat ini kehormatan keluarga kita dan perusahaan sedang menuju kehancurannya karena skandal itu. Satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah dengan pernikahan. Kau harus bertanggung jawab." Ucap ayahnya tegas, mengabaikan raut protes putranya. Elang menggeleng, langsung menolak mentah-mentah. "Aku nggak akan menikahi seseorang yang bahkan nggak kukenal. Lagi pula, apa yang terjadi nggak seperti yang orang-orang pikirkan. Aku nggak melakukan apa-apa pada wanita itu, jadi buat apa aku bertanggung jawab?" Ridwan berdiri, suaranya penuh wibawa. "Aku tidak sedang bernegosiasi, Elang. Ini perintah. Kau harus memperbaiki kesalahan yang kau buat. Di luar sana namamu sudah menjadi buah bibir semua orang. Sebelum terjadi kerusakan yang lebih besar, kau harus menyelesaikannya. Aku tidak akan mempertaruhkan reputasi dan bisnis keluarga kita!" Elang menatap ayahnya dengan rahang mengeras. Ia tahu betapa keras kepala ayahnya, tetapi kali ini, ia tidak akan tunduk begitu saja. Wanita itu pasti telah menjebaknya. Dia yakin itu. Elang bertekad akan mencari tahu lebih dalam sebelum semuanya benar-benar lepas kendali. Dia harus mencari wanita itu, sesuatu yang tidak sulit untuk dia lakukan. “Mama papa tenang saja, aku akan menyelesaikan masalah ini tanpa pernikahan. Wanita itu menjebakku, dan aku akan membuatnya membayar atas semua kekacauan ini.” Dia bukan anak kemarin sore yang bisa diperdaya dengan trik murahan seperti itu. Elang berdiri, dan melangkah cepat keluar dari rumah itu. Ayah, ibu serta adiknya hanya bisa menatap punggungnya dengan tatapan prihatin. * Elang duduk di dalam mobilnya, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan tak sabar. Mata cokelat gelapnya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya sibuk memutar ulang kejadian semalam. Rasa marahnya semakin memuncak. Wanita itu terlihat begitu polos dan rapuh. Tidak menyangka niat baiknya malah berakhir seperti ini. Dengan gerakan cepat, Elang mengeluarkan ponselnya dan menekan kontak seseorang yang bisa membantunya. "Halo?" suara di seberang terdengar malas. "Gue butuh bantuan," suara Elang rendah, nyaris geram. "Elang? Lo sadar ini masih pagi, kan? Gue baru tidur sebentar gara-gara acara kakak lo." "Gue sedang pusing gara-gara kejadian semalam." “Oh, memangnya ada kejadian apa?” Elang terdiam, rupanya temannya ini belum mengetahui berita viral tentang dirinya itu. Dia terdiam sejenak, menimbang-nimbang, lalu memutuskan untuk tidak menceritakan hal memalukan itu. “Gue butuh bantuan lo. Serius!” ujarnya kemudian. Terdengar suara temannya menarik napas dalam sebelum menjawab, "Oke, spill. Lo mau apa?" Elang mengusap wajahnya, mencoba meredam emosi yang mendidih. "Ada cewek, dia membuat gue terjebak dalam masalah. Gue perlu tahu siapa dia." "Cewek?" Tawa kecil terdengar di ujung sana. "Jangan bilang lo akhirnya kejebak sama salah satu penggemar lo." "Gue nggak tahu siapa dia, tapi dia bisa masuk ke pesta semalam. Dia mungkin bekerja di rumah sakit keluarga gue. Gue mau lo cari tahu. Nama, posisi, semua informasi yang bisa lo dapat." "Deskripsiin dulu," suara di ujung sana mulai serius. Elang teringat video itu, tapi tidak mungkin dia memberitahu temannya mengenai hal itu. Jadi dia berusaha mengingat wajah wanita itu. Mata cokelat yang sempat menatapnya dengan kebingungan. Rambut hitam panjang yang kusut dan tergerai di atas seprei. Dia pun memberikan penjelasan termasuk beberapa arahan untuk membantu temannya yang jago IT itu. Hening sejenak. Lalu suara sahabatnya terdengar lagi, "Gue bakal cari tahu. Tapi kalau dia kerja di rumah sakit keluarga lo, kemungkinan besar ada hubungan sama nyokap lo. Lo yakin ini bukan rencana keluarga lo buat ngejodohin lo?" Elang mendengus. "Nggak mungkin. Kalau iya, mereka nggak bakal bikin gue sekacau ini." Elang sangsi, karena walaupun ayah dan ibunya terus mendesak dia segera menikah, tapi tidak mungkin mereka sedemikian putus asa sampai merekayasa drama konyol itu. "Oke, oke. Gue bakal kabari lo secepatnya. Tapi serius, Elang, kali ini lo kena batunya, ya?" Elang tidak menjawab. Memutus panggilan lalu memusatkan tatapan ke jalan di depannya. Satu tangan memegang setir, sementara tangan lainnya menggenggam ponselnya erat. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian semalam—penggerebekan yang berujung skandal, dan wanita yang meninggalkannya begitu saja. Tidak mungkin dia bisa terbang dalam kondisi seperti ini. Dia menekan kontak salah satu rekan pilotnya, Radit. Butuh beberapa dering sebelum akhirnya suara malas itu menjawab. Rupanya dua panggilan telepon yang dia lakukan pagi ini sukses mengganggu tidur nyenyak teman-temannya. Suara Radit terdengar serak, jelas baru bangun tidur. "Bro, lo tau nggak sekarang jam berapa? Gue…" "Gue butuh tukar jadwal," potong Elang tanpa basa-basi. "Hah? Tunggu… apa?" Seketika terdengar suara gesekan kain dan gerakan dari seberang telepon. Radit pasti langsung duduk tegak. "Lo serius? Lo nggak pernah tukar jadwal kecuali lagi sekarat." Elang menghembuskan napas panjang, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama cepat. "Gue lagi nggak bisa terbang dalam tiga hari ke depan. Gue harus beresin sesuatu dulu." "Beresin sesuatu? Masalah atau… cewek?" Ada nada menggoda di suara Radit. Elang memejamkan mata sejenak. "Bukan urusan lo." Terdengar tawa kecil dari seberang. "Oke, oke. Gue ada flight ke Bangkok minggu depan. Kalau lo bisa gantiin flight gue itu, gue setuju." "Gue gantiin flight lo minggu depan, deal." Radit menghela napas. "Gila, ini pertama kalinya lo nggak naruh kerjaan di atas segalanya. Serius, ini tentang siapa sih?" Elang mengabaikan pertanyaan itu. "Thanks, bro. Lo bantuin gue kali ini, gue bakal beliin macchiato sebulan penuh buat lo." "Lo pikir gue mau disogok kopi doang? Gue mau cerita lengkapnya nanti." Elang hanya mendengus sebelum menutup telepon dan meletakkan benda pipih itu di atas dashboard. Dia sudah menyelesaikan satu masalah. Sekarang tinggal mencari tahu siapa sebenarnya wanita yang membuat hidupnya berantakan dalam semalam. Elang memutar setir ke kanan, mengarah ke jalan yang lebih sepi. Ia tidak benar-benar tahu ke mana tujuannya. Tangannya mencengkeram kemudi lebih kuat, matanya menatap lurus ke jalan, tapi pikirannya melayang jauh. Wanita itu… siapa sebenarnya dia? Tidak mungkin hanya kebetulan. Tidak mungkin seseorang tanpa alasan bisa terjebak dalam situasi itu bersamanya. Semakin ia memikirkannya, semakin yakin bahwa semua ini adalah jebakan. Entah ada orang yang ingin merusak reputasinya, atau seseorang yang ingin mengejar keuntungan dari kesialannya. Ponselnya tiba-tiba bergetar di dashboard. Nama temannya yang pertama dia hubungi tadi, Vano, muncul di layar. Elang segera meraih ponsel dan mengangkatnya. Sebelum sempat berbicara, dia mendengar tawa ngakak di seberang. “Jadi lo uring-uringan minta gue mencari tahu cewek yang digerebek bersama lo di hotel? Ampuun, Elang, gue baru tahu, lo benar-benar viral sekarang.” Elang mendengkus kesal. "Lo udah dapat infonya?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi, dan mengabaikan komentar temannya. Mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur viral dan terjebak masalah rumit ini. Yang bisa dia lakukan sekarang adalah menyelesaikan masalah ini secepatnya. Terdengar helaan napas dari seberang. "Dapat. Apa sih yang tidak buat gue? Nama cewek itu Elenora Danastri Cahyadi. Lo benar, dia bekerja di rumah sakit lo." Elang menyipitkan mata, mendengar nama itu untuk pertama kalinya. "Elenora?" ulangnya pelan. "Yes! Dia seorang perawat. Gue udah cek daftar pegawai, dan dia ada di sana sekarang ini, lagi tugas. Lo temui aja langsung di rumah sakit." "Lo yakin dia orangnya?" tanyanya memastikan. "Seratus persen. Gue dapet foto ID-nya di daftar pegawai. Cewek itu bukan sosialita, bukan juga model atau semacamnya. Perawat biasa. Lo yakin dia sengaja jebak lo?" Elang mengerutkan kening. Itu yang ingin ia buktikan. "Gue akan cari tahu sendiri," katanya dingin sebelum menutup telepon. Tanpa ragu, dia memutar kemudi. Tujuannya sekarang jelas, Rumah Sakit Dirgantara Medika. *** Elenora merapikan kembali catatan medis di tangannya sambil mengantar seorang pasien keluar dari poli umum, tempat dia bertugas setiap hari. Senyum lembutnya terukir saat wanita paruh baya di depannya mengucapkan terima kasih sebelum beranjak pergi. Saat Elenora berbalik menuju meja perawat, seorang rekannya, Rina, menghampirinya dengan ekspresi sedikit serius. "Nora, dokter Alif manggil kamu," kata Rina sambil melirik ke arah ruang konsultasi di ujung lorong. Elenora mengernyit. "Ada apa, ya?" tanyanya heran. "Katanya ini soal Dante," jawab Rina pelan. Jantung Elenora mencelos. Ia langsung meletakkan clipboard di tangannya dan minta izin sebentar pada rekan perawat yang sama-sama bertugas di sana. Dia lalu melangkah cepat menuju ruangan dokter Alif Bramantyo, yang merupakan kepala departemen jantung dan pembuluh darah. Dia mengetuk sebelum membuka pintu. Begitu masuk, ia melihat dokter berusia sekitar pertengahan empat puluhan itu sedang duduk di balik meja, menatap layar monitor dengan ekspresi serius. “Selamat pagi, Dok!” "Selamat pagi. Silakan duduk, suster Nora," kata dokter Alif ramah, sejenak mengalihkan pandangannya dari monitor. Elenora menarik kursi dan duduk, jari-jarinya saling menggenggam di atas pahanya. "Bagaimana kondisi Dante, Dok?" tanyanya hati-hati. Dokter Alif menghela napas. "Kita sudah mendapatkan hasil echocardiography-nya. Celah di jantungnya lebih besar dari yang kita duga sebelumnya." Elenora merasa dadanya mengencang. "Itu artinya…?" Dokter Alif akhirnya menatapnya, ekspresinya penuh pertimbangan. "Itu artinya, dia harus segera dioperasi. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi." Elenora menggigit bibirnya. Dante adalah cucu bibi Dina, pelayan di rumahnya yang sudah seperti keluarganya sendiri. Sejak kecil, bocah itu selalu ceria meskipun memiliki kelainan jantung bawaan. Tapi biaya operasi jantung bukan angka kecil. "Dokter sudah memberitahu keluarganya?" tanyanya pelan. Dokter Alif menggeleng. "Belum. Kau yang bertanggung jawab atas perawatan anak itu, jadi aku memberitahumu lebih dulu. Mungkin kau bisa membantu untuk mencari solusi masalah ini dengan keluarganya." Elenora mengangguk. Siang kemarin Dante dibawa ke rumah sakit oleh gurunya, dalam keadaan lemas dan sesak napas. Elenora saat itu sedang bertugas dan segera mengambil alih tanggung jawab sebagai keluarga Dante. Yuni, ibunya pasti sedang sibuk di warungnya, jadi baru bisa datang hampir satu jam kemudian. Elenora sudah mengajari Dante untuk minta diantar ke rumah sakit tempat dia kerja kalau ada apa-apa. Untung saja anak itu mengingatnya. "Baik, Dok. Saya akan memberitahu keluarga Dante. Terima kasih." Elenora berjalan menuju ruang perawatan Dante dengan langkah sedikit terburu-buru. Setelah percakapannya dengan dokter Alif, pikirannya dipenuhi oleh satu hal—bagaimana caranya membantu Dante agar bisa segera menjalani operasi? Di samping ranjang, Yuni, ibu Dante duduk dengan tangan menggenggam erat jemari kecil Dante. Anak itu tertidur dengan jarum infus di tangannya. Wajah wanita berusia 30-an itu tampak lelah dan penuh kecemasan. Elenora merasa sedikit lega, Dante sudah bernapas lancar tanpa bantuan tabung oksigen. Tapi hatinya tetap diliputi perasaan sedih, melihat tubuh kecil itu terbaring lemah di atas ranjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD