Atlantic Harvest adalah sebuah perusahaan yang menarik. Aku meminta Isac untuk mencari informasi yang berkaitan dengan perusahaan tersebut dan menemukan beberapa kejanggalan di dalamnya. Pertama, Atlantic Harvest tidak memiliki penjualan yang baik, namun perusahaan itu tetap berjalan bahkan semakin besar. Kedua, secara berkala terjadi kecelakaan kerja di perusahaan pengolahan ikan sarden tersebut. Rata-rata korban adalah pekerja rantau yang berasal dari wilayah utara negara ini yang merupakan daerah pegunungan. Dugaanku mengatakan jika ada hubungan dari kecelakaan pekerja dan juga Hook, organisasi penculik yang bergerak di belakang Atlantic Harvest. Entah apa motif di baliknya, tetapi aku tidak boleh abai atas kemungkinan itu.
Sore hari setelah aku menghubungi Zayn, berbekal informasi yang diberikan oleh Isac, aku pergi mengendarai mobil milik Isac menuju Atlantic Harvest yang terletak di bagian utara Kota Nelayan, sekitar 700 meter dari pelabuhan ikan yang merupakan kompleks pengolahan hasil laut. Dari depan, tidak tampak sesuatu yang istimewa dari perusahaan ini, hanya ada papan nama kecil di sebelah gerbangnya dan bangunan khas pabrik ketika masuk ke dalamnya. Estetika perusahaan ini juga tidak terlalu bagus, aku rasa Atlantic Harvest lebih mengedepankan fungsi daripada estetika.
Ketika memasuki gerbang, aku disambut oleh petugas keamanan berwajah afro-american dengan badan yang cukup tinggi dan kekar. Wajahnya terlihat tegas dan berkharisma. Potongan rambut cepak khas petugas keamanan membuatnya semakin terlihat jantan.
“Selamat sore, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu? Apakah anda sudah memiliki janji?” sapanya ketika memberhentikan mobil yang aku kendarai.
“Selamat sore, Tampan. Aku memiliki janji dengan Tuan Zayn,” jawabku sambil melepaskan kacamata hitam yang kukenakan.
“Tuan Zayn? Beliau tidak pernah memiliki janji dengan orang luar, Nyonya.” Petugas keamanan itu terlihat bingung ketika aku menyebutkan nama Zayn, tetapi ia masih mempertahankan sikap tegasnya dengan berusaha tetap terlihat tenang di depanku.
“Silakan kau konfirmasi kepadanya, kau dapat mengatakan jika Lilia mencarinya.” Petugas keamanan itu berjalan menuju pos keamanan, kemudian ia terlihat sedang menghubungi seseorang melalui telepon yang ada di pos tersebut. Beberapa kali aku mendapatinya melirik ke arahku sejenak, lalu beberapa kali juga aku mendapatinya menganggukkan kepala sebelum kemudian melangkah cepat ke arahku.
“Maafkan saya, Nyonya. Tuan Zayn telah menunggu anda di dalam,” ucap petugas keamanan itu sambil membuka portal gerbang mempersilakan aku untuk masuk dan menunjukkan tempat di mana harus memarkirkan mobilku.
Aku masuk dengan santai ke sarang musuh seperti tidak memiliki dosa sama sekali, padahal aku tahu jika ada kemungkinan aku tidak akan pulang dalam keadaan hidup dari sini. Ketika sampai di front office, pegawai yang bertugas di sana mengarahkanku ke sebuah ruangan yang berada tidak jauh dari tempat itu. Terletak sekitar tiga ruangan di belakang, sebuah pintu berwarna putih bertuliskan direktur utama terpampang jelas di depan mataku. Pegawai front office mengatakan kepadaku jika ruangan itu adalah ruangan milik Zayn. Tanpa ragu aku segera mengetuk ruangan itu, dan terdengar suara yang memintaku untuk langsung masuk ke ruangan tersebut.
Lagi, sebuah pemandangan yang cukup mirip seperti ketika aku bertemu dengannya di Coco Bar di mana Zayn tengah berc*mbu dengan seorang perempuan berambut panjang yang hanya terlihat bagian belakangnya ketika aku memasuki ruangan tersebut. Perempuan itu terlihat tengah membetulkan kancing bajunya yang terlepas, baju putih yang ia gunakan juga terlihat kusut. Perempuan berwajah oriental itu memberikan tatapan sinis ketika melewatiku keluar dari ruangan milik Zayn. Tanpa memberikan tanggapan apapun terhadap hal tersebut, aku segera duduk di kursi yang berada di depan meja Zayn.
“Apakah diperbolehkan merokok di sini?” ucapku sambil menyilangkan kaki dan meletakkan tas yang aku bawa di atas pahaku.
“Silakan, di sini bukan ruangan bebas asap. Kau boleh merokok sesukamu,” jawab Zayn sambil menyodorkan asbak yang terbuat dari cangkang kerang berukuran besar kepadaku.
“Hidupmu beruntung sekali, Tuan. Dikelilingi oleh perempuan cantik seperti itu,” sahutku sebelum kemudian menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam.
“Maksudmu Alea? Dia adalah orang kepercayaanku, yang sekaligus juga memberitahukan tentangmu kepadaku.”
“Jadi dia juga merupakan bagian dari Hook?”
“Benar, dia adalah aset berharga milikku. Jadi, apa yang kau tawarkan untukku dan apa yang bisa kulakukan untukmu, Nona Lilia?” Zayn menatapku tajam, menggali kesungguhanku untuk berbisnis dengannya. Aku hanya menanggapinya dengan santai, kuhisap rokokku, kuhembuskan tepat di depan wajahnya dan berkata, “aku tahu jika kau memiliki banyak barang bagus di Hook, Tuan. Bisakah aku melihatnya?”
Zayn mengayunkan badannya ke sandaran kursi, menopang dagunya dengan tangan yang ia tumpukan pada pegangan kursi kerja dan tatapan tajamnya tidak pernah beralih dariku. Sebuah senyum tipis yang penuh tanda tanya terukir jelas di bibirnya, lalu pria tampan di depanku ini berkata kepadaku, “maaf, Nona. Aku belum dapat percaya kepadamu.” Lalu Zayn mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam laci dan ia serahkan kepadaku. “Kali ini, aku hanya dapat memberikanmu ini, tidak lebih. Jika kau memang pintar, kau pasti tahu apa yang dapat kau lakukan dengan itu. Sekarang kau dapat meninggalkan ruangan ini, karena Alea telah menunggu di depan pintu.” Zayn merentangkan tangan kirinya, menunjuk ke arah pintu memintaku untuk keluar dari ruangan ini. Sebenarnya aku ingin menggodanya lebih lanjut, tetapi aku rasa saat ini bukanlah waktu yang tepat.
Ketika keluar dari ruangan milik Zayn, kulihat perempuan cantik yang disebut Zayn bernama Alea itu tengah berdiri mematung di depan pintu. Tatapan sinis yang diberikan Alea kepadaku membuat segalanya justru terasa aneh. Aneh karena jika Alea adalah orang yang menerima berita tentangku dari Sheera, seharusnya ia mencitrakan diri sebagai orang yang ramah terhadapku. Tetapi yang ia tunjukkan justru sebaliknya di mana ia tidak senang ketika aku ada di sini. Reaksi bertolak belakang yang ia berikan membuatku berpikir jika ada sesuatu yang terjadi di belakangku. Amplop coklat yang aku terima dari Zayn, mungkin merupakan salah satu jawaban dari pertanyaanku.
Aku memutuskan untuk kembali ke Seaside Bar meskipun belum lama aku masuk ke dalam Atlantic Harvest. Aku berpikir jika waktu yang kumiliki akan semakin terbuang jika berada di sini semakin lama. Ketika sampai di Seaside Bar, aku melihat Isac tengah termenung di meja pengunjung. Aku melempar amplop coklat yang kupegang tepat di depan Isac yang membuatnya tersentak dan seketika menoleh ke arahku, “Madame! Kau jahat sekali!”
“Hahaha, itu salahmu sendiri, Isac. Kenapa kau termenung? Langit di luar sedang cerah dan kau membuat cerahnya langit sore ini menjadi percuma,” godaku kepada Isac.
“Aku hanya teringat tentang keluargaku, Madame,” sahutnya dengan lesu. Isac melihat ke arah amplop yang tergeletak di hadapannya, lalu mengambil dan menimang-nimang sejenak dengan wajah penuh rasa penasaran. “Apa yang ada di dalamnya, Madame?”
“Entahlah, lebih baik kau buka barang itu,” jawabku ketika mengambil satu tempat duduk tepat di depan Isac. Pria polos di depanku segera membuka amplop coklat yang ia terima dan mengeluarkan isinya dengan wajah heran.
“Madame, benda apa ini? Kenapa ada banyak sekali foto anak kecil? Jangan bilang jika ini…”
“Tepat seperti dugaanku. Berikan aku beberapa lembar foto itu, Isac,” pintaku sambil kembali menyalakan sebatang rokok. Isac mengulurkan beberapa lembar foto yang ada di tangannya secara acak, foto tersebut ia letakkan di atas meja ketika aku tengah mengocok korek api yang kugunakan karena sedikit macet. “Ish, kenapa kau harus mati di saat seperti ini, dasar payah!” gerutuku dengan dahi yang sedikit berkerut karena kesal. Akhirnya aku mengembalikan rokok yang telah keluar tersebut ke dalam wadah, dan membatalkan niatku untuk menikmati asupan nikotin.
Aku mengambiil foto yang diberikan Isac padaku dari atas meja kayu berbentuk bundar itu, lalu kuperhatikan dengan seksama wajah yang ada di dalamnya. Isac juga melakukan hal yang sama, membolak-balik tiap foto, memerhatikan secara rinci masing-masing wajah yang tercetak di atasnya.
“Ternyata benar jika mereka memiliki barang yang cukup bagus. Sepertinya aku harus ke Pusat Kota besok, apakah kau mau ikut?” Aku menatap tajam ke arah Isac sembari meletakkan lembaran foto yang kupegang secara terbalik ke atas meja.
“Tapi, Madame, aku harus tetap berada di sini. Aku tidak bisa meninggalkan Seaside Bar.” Isac terlihat semakin lesu, mungkin agen belakang layar satu ini tengah dilanda kejenuhan tingkat akut atas pekerjaan dan tanggung jawab yang ia emban.
“Sudahlah, Isac. Lebih baik kau menurut kepadaku, aku jamin kau tidak akan menyesal. Untuk urusan Nova dan The Barista, serahkan semuanya padaku.” Aku berusaha meyakinkan Isac untuk sedikit membuat keputusan nekad, aku berharap dengan seperti ini kehidupan Isac tidak akan datar dan berhenti di satu titik.
“Baiklah, jika kau dapat memastikan itu untukku, tidak ada alasan bagiku untuk menolak tawaranmu.” Senyum simpul mulai tercetak di wajah manis yang dimiliki oleh Isac. Aura wajahnya terlihat sedikit lebih cerah jika dibandingkan dengan beberapa saat lalu ketika aku melempar amplop coklat kepadanya.
“Tenang saja, aku akan mengajarimu bagaimana cara seorang agen lapangan bekerja. Besok, perhatikan semuanya baik-baik, karena apa yang kau lihat tidak akan dapat terulang kembali.” Aku beranjak dari tempatku duduk, kulangkahkan kaki perlahan menuju kamar yang terletak di belakang bar. Namun sebelum aku menghilang dari pandangan Isac, aku berbalik dan memberikan salam penutup hari ini untuk pria manis yang lugu itu, “jangan lupa untuk membereskan foto yang ada di depanmu, Isac, karena foto itu adalah petunjuk berharga milik kita.” Dan aku pun menghilang dari pandangan Isac, mengganti pakaianku dengan busana yang nyaman untuk mengakhiri hari, menghapus riasan di wajahku dan pergi tidur.