Aku menggeser pistol dari pelipis si penguntit tepat ke arah tengah dahinya. Tanganku bergetar, aku menahan pistol dengan dua tangan, tidak ingin sembarangan menarik pelatuk. Antara tega dan tidak tega, tapi aku harus memberi sedikit pelajaran tentang rasa takut kepada orang ini. Aku bergelut dengan rasa kemanusiaan, tidak mungkin aku dapat membunuh orang tanpa alasan yang jelas. Perasaan itulah yang aku tangkap dari tatapan mata si penguntit. Ia meremehkanku, menganggap aku masih memiliki rasa iba kepada orang yang tampak memberikan tatapan memohon di permukaan. Beruntung, aku dapat mengartikan makna tersembunyi di balik tatapannya. Bibirku tiba-tiba tersungging, tanganku yang awalnya gemetar, seketika berubah tenang. Pria itu terbelalak melihat mataku yang memandang rendah ke arahnya,