Catatan 42

1411 Words
"Kau tahu, Lilia? Tuan Zayn adalah orang yang sangat berharga bagiku," ujar Alea dengan nada sendu. Wajahnya terus ia tekuk ke bawah, tidak ingin bertemu mata denganku. "Melihat Tuan Zayn kehilangan salah satu tangan, membuatku benar-benar terpukul. Aku tidak tahu bagaimana Tuan Zayn menjalani hari-harinya setelah keluar dari rumah sakit," lanjut Alea. Aku yang mendengar hal itu merasa sedikit bersimpati, aku mengerti dengan apa yang ia rasakan karena bagaimanapun aku juga seorang manusia yang pernah menyukai lawan jenis. "Operasi yang dilakukan pada tangannya telah selesai, tapi ia masih memiliki tatapan mata kosong, seakan belum percaya dengan apa yang terjadi kepadanya." Aku mulai mendengar isak tangis dari wanita yang selama ini selalu berlaku curiga kepadaku ini. Sayangnya di balik yang Alea ketahui, aku juga merasa sangat terpukul dengan kepergian Max dan aku menaruh dendam kepada Alex dan Hook secara umum. Jujur aku tidak menyangka jika Max meregang nyawa di tempat itu, aku masih ingin percaya bahwa Max dapat bertahan hidup dan apa yang terjadi pada hari itu hanyalah mimpi. Sheera yang duduk di sebelah Alea hanya diam menyimak sambil memainkan kaki dan tangannya. Gadis muda itu memang benar-benar polos. Ah tidak, Sheera bukan orang yang polos secara harfiah, ia hanya membuang sisi manusianya demi menjadi mesin informasi bagiku dan Jacob. Itulah hasil didikan Jacob, gadis normal yang memiliki emosi harus meninggalkan empatinya dan bersikap selayaknya sebuah robot tanpa emosi. Tapi aku tidak pernah menyesal, karena setidaknya ia tidak hidup di lingkungan yang membuatnya penuh tekanan seperti di masa lalu. Aku kembali melihat ke arah Alea, di mana air mata mulai membasahi rok hitam yang ia kenakan. Ia terus menangis meski Sheera sudah mencoba untuk menenangkannya. Sheera mencoba untuk menepuk serta mengelus perlahan punggung Alea, namun gadis itu justru menangis semakin kencang. Aku sebenarnya merasa kasihan kepada Alea, tetapi rasa kehilanganku lebih besar dari yang ia rasakan. Aku menarik nafas panjang, mencoba memikirkan apa yang akan aku katakan setelah ini. "Lalu untuk apa kau datang ke tempatku, Alea? Bukankah kau tahu jika aku masih mengurung diri?" Aku mencoba berkata sedatar mungkin, aku ingin menjadi orang yang tidak memikirkan emosi orang lain seperti yang Alea lakukan selama ini kepadaku. "Aku…" Alea terlihat ragu. "Aku ingin meminta maaf kepadamu, Lilia," ucap Alea sambil tetap menangis. "Meminta maaf? Untuk apa?" sahutku sinis. "Aku sadar, Lilia. Selama ini aku sudah bertindak kurang ajar kepadamu. Selama ini aku tidak percaya kepadamu. Bahkan ketika kau berkata tentang Max sekalipun, aku masih tidak percaya padamu. Tapi sekarang semua terbukti, apa yang kau katakan semua benar." Alea menolehkan kepalanya menjauh dari arahku, membuat wajahnya semakin tertutup dari pandanganku. Aku merasa jika Alea benar-benar sudah membuang harga dirinya demi meminta maaf kepadaku. Sheera masih tetap mengelus punggung Alea dan menatap wanita jal*ng itu dengan tatapan polos. Bibirku tersungging getir mendengar perkataan Alea. Aku senang, puas, dan bersyukur dapat mengambil hati Alea, sayangnya di sisi lain aku harus menangis getir karena rencanaku harus mengorbankan seseorang. Lagi, aku tidak akan lelah untuk menulis jika aku masih bersedih mengetahui kenyataan jika upayaku untuk masuk ke dalam Hook harus mengorbankan satu orang, karena aku ingin menunjukkan penyesalanku yang paling dalam. "Aku tahu jika sikapku selama ini salah. Tapi semua ini berawal ketika…" Alea mulai menceritakan awal mula ia membenciku. Semua ini berawal ketika aku meminta bantuan Sheera untuk mencari Zayn. Kala itu, Sheera menghubungi salah satu informan miliknya dan informan itu menghubungi Alea, kemudian Alea menghubungi Zayn. Awalnya Zayn tidak tertarik dengan diriku, namun ketika mengetahui jika aku jauh-jauh datang dari Belgia untuk menemui Zayn, pria timur tengah itu seketika menjadi bersemangat. Dari sini, Alea masih belum memiliki pikiran macam-macam denganku. Lalu ketika Zayn pulang dari Coco Bar selepas bertemu denganku untuk pertama kalinya, di situlah Alea mulai merasa tidak suka kepadaku. Hal itu terjadi karena Zayn berkali-kali menceritakan kepada Alea tentang diriku. "Tuan Zayn berkata jika kau adalah wanita jalanan yang berkelas, Lilia," ujar Alea sambil tetap mengalihkan pandangannya dariku. Aku bingung harus bereaksi seperti apa mendengar ucapan Alea. Satu sisi mungkin aku harus bangga karena Zayn menyebutku wanita berkelas. Namun di sisi lain aku geram, karena Zayn berkata jika aku wanita jalanan. Aku hanya dapat mengerutkan dahiku kesal, karena setinggi apapun kelasku bagi Zayn, aku tetaplah wanita jalanan. Lalu Alea melanjutkan kisahnya ketika Zayn menerima kabar bahwa aku berhasil mendapatkan seorang pembeli. Kala itu Zayn tertawa kegirangan karena mengetahui jika aku tidak hanya berkelas, tetapi juga mampu bekerja. "Aku masih ingat dengan apa yang dikatakan Tuan Zayn padaku saat itu. 'Wanita itu adalah seorang alpha,' begitu ujarnya." Alea mencengkram rok hitamnya. Mungkin wanita jal*ng ini masih menyimpan emosi terhadapku. Alea berkata jika selama ini Zayn selalu meminta salah satu bawahannya untuk mengurus "koleksinya" ketika akan bertransaksi. Namun ketika berurusan denganku, Zayn selalu turun tangan untuk mengurusnya sendiri. Alea sangat tidak menyukai perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Zayn. Aku memutar bola mataku kesal ketika mendengar itu dari Alea. Aku benar-benar tidak tahu jika di belakang sana Zayn terlihat seperti memiliki ketertarikan terhadapku. Padahal ketika di depanku, Zayn bersikap sangat wajar. Sikap tidak wajar hanya ia tunjukkan ketika berurusan dengan Bianka atau Rin, di mana Zayn sangat terlihat menyukai uang. Mendengar cerita dari Alea, membuatku berpikir jika sebenarnya Zayn adalah orang yang cukup pandai menyembunyikan isi pikirannya. "Tunggu," ucapku memotong cerita dari Alea. "Jadi selama ini kau bersikap sinis kepadaku karena Zayn selalu memujiku di belakangku?" Aku mencoba memastikan. "Mungkin aku bisa menyebut ini cemburu buta, Lilia," jawab Alea lemas, lalu ia kembali melanjutkan ceritanya. Akhirnya sebuah kesempatan bagi Alea untuk membalas dendam padaku tiba ketika aku masuk menjadi anggota Hook, di mana tindakanku tampak egois dan tidak dapat diatur. Dari situ hasutan Alea kepada Zayn untuk membenciku dimulai. Aku sendiri sebenarnya sadar jika tindakanku dapat memicu kericuhan internal, tetapi aku tidak tahu jika di belakangku ternyata Alea menambahi bumbu agar Zayn semakin tidak suka kepadaku. Puncak rasa benci Alea kepadaku adalah ketika Zayn akhirnya mendengarkan ucapanku dan mengikuti rencanaku untuk menyergap Max di Kota Industri. Sebelum hari eksekusi, Alea benar-benar geram karena Zayn lagi-lagi mulai memujiku karena aku menemukan serangga di tempat Hook baru saja memulai operasi. Alea kepadaku bahwa ia sempat menjadikan salah satu bawahan Zayn sebagai samsak karena Zayn terlihat mulai kembali menyukaiku setelah Alea bersusah payah menghasut Zayn untuk membenciku. Ketika Alea menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kala tangan Zayn terpotong, hal pertama yang ada di dalam pikirannya adalah membunuhku karena Alea berpikir jika Zayn datang ke tempat ini hingga mengalami kejadian itu adalah karena mengikuti rencanaku. "Andai saja Tuan Zayn tidak mengikuti perkataanmu dan langsung membuangmu, mungkin musibah ini tidak akan terjadi," ujar Alea. Mendengar itu membuatku semakin geram kepada Alea. Ia tampak tidak peduli ketika bawahan Zayn meregang nyawa tepat di hadapannya. Karena kala itu, aku masih dapat melihat jika Alea dapat tetap tenang dan tidak panik. Sayangnya aku tidak dapat melihat ekspresi wajahnya ketika tangan Zayn terpotong karena aku masih fokus menyaksikan perkelahian di depan mataku. "Ah… wanita jal*ng satu ini benar-benar tidak sehat rupanya. Mungkin di dalam otaknya hanya ada Zayn, Zayn, Zayn, dan Zayn, hingga kematian orang lain diabaikan," batinku. Aku yang awalnya bersimpati kepadanya saat ia baru datang ke apartemenku, menjadi jijik dan benci dengan sikapnya yang seakan mendewakan seorang lelaki cab*l dan materialistis seperti Zayn. Aku sempat berpikir, "apa yang Zayn telah lakukan kepada Alea hingga perempuan ini takluk?" Sayangnya aku masih belum menemukan jawaban atas pertanyaanku. Mungkin nanti ada saatnya aku akan mengorek lagi cerita itu dari Alea atau Zayn sendiri. "Lalu, aku ingin bertanya sekali lagi. Untuk apa kau datang ke sini? Kau ingin mengatakan jika selama ini membenciku? Ucapan maaf darimu tadi memberikan kesan bahwa kau tidak rela meminta maaf dan justru mengatakan bahwa kau membenciku. Sebenarnya apa yang kau inginkan?" Aku masih belum dapat mengerti tujuan Alea bercerita berputar-putar padaku. "Aku sempat berkata kepada Tuan Zayn bahwa aku akan membunuhmu karena menyebabkan Tuan Zayn cacat. Tetapi apa yang Tuan Zayn katakan kepadaku justru mengubah jalan pikiranku. Ia mengatakan bahwa Hook seharusnya bersyukur memiliki orang sepertimu yang sanggup mengungkap penyamaran mata-mata pemerintah seperti Max. Berkatmu, operasi Hook di Kota Industri menjadi lebih aman. Maka dari itu, aku ingin meminta maaf kepadamu, Lilia. Tuan Zayn memiliki visi yang jauh ke depan, berbeda denganku yang memiliki pikiran pendek. Bahkan Tuan Zayn rela kehilangan tangan kanannya agar misi Hook ke depan tidak mengalami hambatan." Ucapan Alea membuatku semakin benci kepadanya. Ia hanya membahas tangan Zayn dan selalu Zayn. Perempuan jal*ng ini seakan tidak peduli jika lima orang bawahan Zayn kehilangan nyawanya. Tapi bagaimanapun aku harus tetap menyimpan emosiku terhadapnya agar pengorbanan Max juga tidak sia-sia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD