Malam hari setelah Sheera mengatur pertemuanku dengan Zayn, aku datang ke Coco Bar sesuai dengan jam yang ditentukan oleh Sheera. Sama seperti sebelumnya, aku meminjam mobil milik Isac, lalu memarkirnya di dalam pelabuhan ikan. Ketika berjalan keluar dari pelabuhan, aku melihat pria m***m yang beberapa hari lalu menggodaku di tempat yang sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Namun berbeda dengan sebelumnya, kali ini pria paruh baya itu hanya menunduk dan tidak berani melihat ke arahku. Begitu pula dengan para pria yang tengah berdiri di kanan dan kiri gang masuk ke Coco Bar, ketika melihatku mereka hanya berani menatap dan tidak ada yang mengambil langkah untuk menggodaku. Aku rasa pertunjukanku berhasil membuat mereka takut ketika mengetahui wanita berpakaian seksi yang tengah berjalan santai itu ternyata sangat berbahaya.
“Madame Lilia, selamat datang. Seperti biasa, tidak ada biaya masuk untuk anda,” sapa petugas keamanan di depan pintu Coco bar dengan senyum yang sangat lebar. Etika lembutnya sangat bertolak belakang dengan badan tegap yang membuat banyak orang takut padanya.
“Terima kasih, Sayang. Ngomong-ngomong, apakah dia ada di dalam?”
“Ada, Madame. Tapi, saya tidak tahu apakah dia tengah bersama tamu atau tidak, mungkin anda bisa langsung bertanya ke dalam,” sahutnya sambil merentangkan tangan kiri mempersilakan aku untuk masuk.
Aku segera melangkahkan kakiku menuju ruangan gelap yang penuh dengan lampu warna warni yang menyorot ke penjuru ruangan, berjalan lurus melewati lautan manusia yang berlalu lalang dan pelayan berbikini yang mengantarkan pesanan pengunjung, menuju meja bar dengan pria tampan berwajah timur tengah sedang menunjukkan kemampuan meracik minuman.
Aku duduk tepat di depan pria itu, kuperhatikan dengan seksama dari atas hingga bawah, terlihat jika pria itu benar-benar memiliki badan yang kekar namun tidak terlalu besar, rambut panjang yang dikuncir ke belakang dengan gaya samurai bun dan sorot mata tajam yang memabukkan. “Sayang, bisakah aku mendapatkan minuman terbaik darimu?” sapaku yang langsung disambut dengan senyum manis yang membuat hatiku meleleh.
“Tentu saja, apa yang kau inginkan, Nona Manis?” jawabnya sambil menopang badannya dengan kedua tangan di atas meja dan menatapku tajam.
“Apapun yang kau berikan, akan kuminum. Karena seorang bartender tampan sepertimu tidak mungkin membuat minuman yang buruk.”
“Baiklah, tunggu sebentar, Nona.” Pria berbaju putih dan mengenakan dasi kupu-kupu itu kembali beraksi dengan peralatan barnya. Mengaduk, mengocok, mencampur, sebuah pemandangan indah dari seorang peracik minuman sangat memanjakan mataku. Sebagai seorang pecinta pria tampan, dalam khayal aku ingin membawanya pulang dan menjadikan pria tampan di depanku ini sebagai peliharaanku di rumah. Ah, aku lupa, aku belum memiliki rumah karena pekerjaanku menuntut untuk berkeliling dunia.
“Silakan, Nona Cantik.” Satu gelas minuman berwarna oranye kemerahan dengan potongan buah apel di atasnya dihidangkan kepadaku.
“Waw, merah, cantik, dan terlihat ganas sepertimu, Sayang. Apa nama minuman ini?” tanyaku sambil memerhatikan minuman itu dan sesekali mencuri pandang pada bartender tampan di depanku.
“Fireball Apple Cider, minuman berani untuk wanita cantik yang berani di depanku.”
“Kau terlalu memuji, Tampan. Ngomong-ngomong, kau tahu di mana Sheera?”
“Oh Nona Sheera sedang bersama tamu di ruang VIP.”
“Bisa kau panggilkan untukku?”
“Maafkan aku, Nona Cantik. Aku tidak berani mengganggu tamu VIP.”
“Begitukah? Tapi tamu yang bersama Sheera saat ini adalah sahabatku,” jawabku sambil menunjukkan foto Zayn yang aku simpan di dalam ponsel. Bartender di depanku melihat foto yang kutunjukkan, lalu memberikan senyum tipis kepadaku dan berkata, “Baiklah jika kau memaksa, Nona Manis. Nona Sheera ada di ruang VIP nomor 3. Kau pasti tahu di mana ruang VIP, bukan? Karena beberapa hari lalu kau juga datang ke tempat ini.”
"Kau manis sekali, Tuan Tampan. Bahkan kau ingat denganku." Aku beranjak dari tempat duduk, mengambil minuman yang diberikan bartender kepadaku, membalas senyum tipisnya dan berkata, “andai kau mau ikut denganku, pasti akan lebih menyenangkan, Sayang.” Bartender itu hanya membalas dengan senyuman yang menggetarkan hatiku tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Aku membawa minumanku melewati lorong menuju deretan ruang VIP. Di tengah jalan, aku mencicipi minuman cantik yang disajikan bartender. “Hmmm, rupanya segar,” pujiku. Rasa kayu manis berpadu dengan pie apel dalam bentuk cair ini benar-benar memanjakan lidahku.
Akhirnya aku sampai di depan ruang VIP 3, aku tidak tahu apakah jika mengetuk pintu, orang yang berada di dalamnya akan mendengarku atau tidak karena ruang VIP adalah ruangan yang kedap suara. Aku mencoba untuk memutar gagang pintu, dan ternyata, ruangan ini tidak dikunci dari dalam. Ketika pintu sedikit terbuka, terdengar lenguhan kecil dari dalam ruangan. Bocornya suara luar akibat dari pintu yang terbuka tidak membuat dua orang yang ada di dalamnya merasa terganggu. Aku segera masuk dan menutup pintu serta menguncinya dari dalam. Di depanku, terpampang nyata seorang gadis manis bertubuh ramping tanpa busana tengah berada di atas seorang lelaki yang wajahnya masih tidak begitu jelas terlihat dari arahku.
“Sepertinya aku mengganggumu, Sheera?” sapaku seperti tanpa dosa kepada perempuan yang tengah menikmati waktu pribadinya itu. Ia segera berhenti dari aktivitasnya, mengambil nafas yang tersengal dan menoleh kepadaku sambil berkata, “kau ingin bergabung, Madame?”
Aku mengalihkan pandanganku dari dua sejoli yang tampak sibuk itu dan mengambil tempat duduk di ujung ruangan. “Tidak, terima kasih. Lebih baik kau lanjutkan dahulu kesibukanmu.”
“Ah tidak, aku hanya menghabiskan waktu untuk menunggumu, Madame. Aku bisa melanjutkan kegiatan ini lain kali,” jawab Sheera sambil memakai satu persatu pakaiannya yang berserakan di lantai.
“Apakah ini orang yang kau maksud, Sheera?” sahut seorang pria yang sama-sama tengah mengenakan satu persatu pakaiannya.
“Kenapa kau tidak mengunci pintu, Sheera? Ceroboh sekali,” ucapku ketus kepada perempuan manis yang berjalan mendekatiku dan duduk tepat di sebelah kananku.
“Aku tahu jika hanya kau yang berani mengganggu waktu pribadiku seperti ini, Madame. Tidak ada orang lain yang akan melakukannya, hahaha.” Sheera justru tertawa dan melirik nakal padaku, padahal aku tengah merasa kesal kepadanya.
“Ahhh, jadi apa yang membuatmu mengundangku ke sini, Nona…” sapa pria berwajah timur tengah dengan potongan rambut pendek dan memiliki rambut wajah tebal yang ikut duduk di kursi yang sama denganku dan Sheera, mengambil tempat di samping Sheera dan merangkul gadis muda di sampingku.
“Lilia, Tuan,” jawabku sambil sedikit membungkukkan badan padanya.
“Baik, Nona Lilia. Aku adalah orang yang sibuk dan tidak memiliki banyak waktu, namun salah satu orang kepercayaanku berkata jika ada orang penting dari pusat kota yang ingin bertemu denganku. Jadi, ada perlu apa denganku?” ucap Zayn dengan nada sombong. Matanya menelisikku dari atas ke bawah sambil tangannya terus mengelus pinggang ramping milik Sheera.
“Sepertinya orang kepercayaanmu terlalu melebih-lebihkan, Tuan. Aku bukan orang sepenting itu.”
“Jadi, menurutmu orang kepercayaanku berbohong kepadaku?”
Aku memutar badanku hingga menghadap ke arah Zayn, dan balas menelisiknya dari bawah ke atas. Beberapa detik, tatapanku berhenti pada sesuatu yang masih terlihat menonjol di balik celananya, lalu mataku kembali bergulir ke atas sambil menggigit sudut bibirku. “Tidak juga, Tuan Tampan. Aku memang memiliki sedikit urusan denganmu. Aku sekarang tengah terlilit hutang yang nominalnya tidak kecil, sekitar 10 juta dolar. Sheera berkata kepadaku jika di kota ini ada seorang saudagar kaya yang bersedia membantuku.”
“Aku bukan orang baik, Nona. Kau salah orang.”
“Tidak, Tuan. Aku yakin jika aku tidak salah orang. Aku percaya kepada Sheera, dia tidak akan mempertemukan dua orang yang salah.”
“Baik, apa maumu? Jika kau berniat menutup lubang dengan meminjam uang padaku, maaf saja aku tidak bersedia,” jawab Zayn sambil mengalihkan pandangannya dariku, dan memajukan dudukannya agar iya bisa sedikit merebahkan diri di sofa yang disusul oleh Sheera yang ikut merebahkan diri di sampingnya.
“Tidak perlu, Tuan. Aku hanya ingin ikut berbisnis denganmu.”
“Bisnis? Kau ingin bekerja di tengah laut?”
“Hook, Tuan,” ucapku datar sambil meneguk minuman yang ada di meja.
“Tunggu, bagaimana kau bisa...”
“Aku ingin segera melunasi hutangku, Tuan. Satu-satunya cara agar aku mendapat banyak uang dengan cepat adalah melalui Hook.”
“Baiklah, Nona. Ternyata orang kepercayaanku tidak berbohong padaku jika yang bertemu denganku di tempat ini adalah orang penting. Apa yang kau inginkan?”
“Komisi.”
“Baiklah, Deal. Ini kartu namaku, kau dapat menghubungiku di sana.” Zayn mengeluarkan dompet dari saku belakangnya, lalu mengambil sebuah kartu nama bertuliskan Atlantic Harvest dan menyerahkan kepadaku.
“Terima kasih, Tuan. Aku juga tahu jika Sheera tidak akan menipuku,” jawabku sambil melirik ke arah Sheera yang ia balas dengan senyum manis dan kedipan sebelah matanya.
“Dan, silakan lanjutkan kegiatan kalian, aku harus pergi dari sini.” Kulangkahkan kaki beranjak dari ruangan remang-remang dengan televisi besar yang menggantung rapi di atas dinding, dan menutup pintu ruangan itu dari luar. Entah, mungkin dua sejoli itu melanjutkan kembali aktivitasnya yang sempat terjeda karena ulahku. Yang jelas, aku telah selangkah lebih dekat dengan apa yang kucari.