Memory pertama yang kuingat adalah ketika Ayah menikah lagi. Aku masih berumur kira kira 4 tahun. Aku ingat betapa gembiranya aku karena akhirnya mempunyai seorang ibu.
Ruangan tempat resepsi terasa seperti istana yang penuh bunga di mataku. Ayahku adalah Rajanya, aku Sang Putri Raja dan ibu baruku Ratunya. Dengan baju putih yang di pakainya saat itu, wanita itu terlihat sangat cantik dan gemulai, membuatku terpesona dan jatuh cinta pada wanita itu pada pandangan pertama.
Khayalan pertamaku yang dihancurkan oleh kenyataan.
Lima tahun umurku saat ibu tiriku mengikat tanganku ke rak barang dan melecutiku dengan sebatang sapu lidi karena aku terlambat pulang setelah pergi bermain.
Lima tahun umurku saat ayahpun tidak mampu melindungiku dari amukan ibu tiriku yang yang memukuliku dengan gagang sapu karena kedapatan bermain dengan make up miliknya.
Lima tahun umurku ketika ibu tiriku pertama kali mengancam akan menjualku karena benci dengan wajaku yang mirip cinta pertama ayahku.
***
Bobby mendekatkan bibirnya ke telingaku meneriakan setiap perkataan berusaha menyaingi bunyi musik yang mendebar debar kencang di club malam, “Yang mana sih orangnya?”
Aku menoleh dan berteriak balik ke wajahnya, “Pria yang memakai jaket kulit dan jeans yang duduk dengan teman temannya di ruang vip di atas itu.”
Bobby mendongak berusaha melihat dalam gelapnya ruangan yang berkedip dihiasi lampu lampu blitz yang bergerak seiring dengan irama lagu techno. “Dia tidak terlihat jauh beda dengan umurku. Apa kau yakin pria itu pemilik Neocyber?”
Aku mengeluarkan handphone dari saku rok ku, dan ku buka informasi yang sudah kudapat dari risetku tentang pemilik Neocyber di sosial media dan search engine. Dengan kemajuan teknologi jaman sekarang, hanya perlu waktu beberapa jam bermain detektif untuk menemukan informasi apapun yang kau butuhkan.
Dalam hal ini, pria yang dijuluki Bujangan Paling Diidamkan oleh salah satu majalah gosip, bernama Ian Roshan. Berumur 33 tahun dengan rambut hitam dan mata tajam yang dinaungi alis tebal, majalah itu kali ini tidaklah salah dalam memilih kandidatnya.
Kuserahkan handphone ku ke Bobby yang langsung membaca halaman majalah gosip online yang sedang terbuka. “Workaholic yang tidak pernah terfoto bersama dengan seorang wanita ini memiliki estimasi harta sekitar $33 Billion.”
“Wuih.. Bagaimana caramu mendekatinya? Lihat saja mejanya dijaga bukan cuma oleh satu tapi dua orang bodyguard.”
Aku melirik ke arah meja nya yang ada di lantai 2 sambil berpikir. Ada 3 pria dan 3 wanita di meja Ian termasuk dirinya. Kedua teman prianya sedang asyik dengan pasangan mereka masing masing. Berpelukan, berciuman dan saling meraba, kecuali Ian. Wajahnya tampak kebosanan memainkan handphone nya dan mencuekkan kencannya yang mati gaya. Tak lama terlihat pria itu berbisik ke arah temannya dan berdiri meninggalkan mejanya.
Sepertinya dia sudah berpamitan hendak pulang, pikirku. Ini satu satunya kesempatan yang kumiliki.
“Hei Bob, kalau usaha ku berhasil akan kusignal dan kau pulanglah,tinggalkan aku saja ok?” teriakku.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanyanya sambil menyerahkan handphone ku balik.
Aku memasukkan handphone ke dalam saku bajuku sambil mengangkat bahu, “Belum tahu. Kita lihat saja.”
Kutenggak habis gelas berisi vodka yang kupesan sebelum berjalan menembus kerumunan orang orang.
Ian terlihat menuruni tangga dari lantai 2, seorang bodyguardnya berjalan di depan, dan satu lagi di belakangnya.
Aku berdiri di jalur yang kira kira akan dilewatinya, dan menunggu. Tepat setelah bodyguard pertama berjalan melewatiku, aku berlari menubruk tubuh Ian dari samping seolah pura pura terjatuh. Berpegangan erat pada badannya yang ternyata walaupun kurus tapi terasa kokoh dan berotot.
“Tolong, kurasa seseorang memasukkan obat tidur dalam minumanku. Aku tidak bisa menemukan temanku dan sekarang kepalaku terasa melayang dan pusing.” Ucapku sambil berdiri sempoyongan berusaha sebisaku meniru orang yang barusan di beri obat tidur.
“Apa?” Tanyanya kebingungan.
Aku melihat salah satu bodyguardnya mendekat mungkin hendak menarikku menjauh. Seketika aku melemaskan seluruh tubuhku dan menjatuhkan tubuhku ke depan berdoa sekuat tenaga, pria itu menangkap tubuhku yang lunglai sehingga kepalaku tidak membentur lantai.
Aku memejamkan mata dalam-dalam bersiap merasakan kerasnya lantai ketika sepasang lengan menahan badanku jatuh. Aku bisa merasakan Ian membalikkan badanku dan menidurkanku di lantai sambil menepuk nepuk pipiku berusaha membangunkanku.
Setelah beberapa saat sepertinya dia menyerah dan memutuskan untuk mengangkatku keluar dari club malam. Aku membuka mataku sedikit mengintip ke arah Bobby yang hanya terbengong bengong melihat sandiwaraku. Ku angkat jari jempolku perlahan memberinya isyarat agar meninggalkanku karena sepertinya usahaku berhasil.
Ian membopongku dengan mudahnya seolah badanku seringan bulu menuju sebuah mobil hitam yang terparkir di pintu belakang. Seorang bodyguardnya membukakan pintu belakang dan Ian lalu menidurkanku di jok dengan hati hati.
“Bawa saja gadis ini pulang. Aku tidak bisa membiarkannya dalam keadaan tidak sadar begini di club malam.” Perintahnya kepada bodyguardnya yang menjawab, “Baik, Pak!”
Tidak ikut masuk ke dalam mobil, Ian berjalan menuju sepeda motor balap yang terparkir di sebelah mobil. Aku berusaha mengintip ketika pria itu berlalu memacu motornya di depan mobil yang kunaiki. Meliuk liuk mengikuti alur jalanan malam yang masih ramai karena malam minggu.
Perjalanan yang kutempuh mungkin berjarak sekitar 20 menit, entah ke arah mana dan sepanjang perjalanan aku mulai berharap agar dibalik penampilannya yang mempesona, pria ini bukanlah pembunuh berantai.
Mobil berhenti dan Ian kembali menggendongku keluar kendati salah seorang bodyguardnya menawarkan diri untuk melakukannya. Pria itu membawaku masuk melewati ruangan ruangan besar dengan design minimalis dan atap yang tinggi. Sebelum kemudian berbelok ke salah satu kamar dan membaringkan badanku perlahan diatas kasur.
Walau dengan mata tertutup, aku bisa merasakan pandangan matanya mengamatiku sejenak sebelum berjalan keluar dan menutup pintu di belakangnya.
Begitu tidak terdengar suara lagi, aku membuka mataku dan berusaha menyesuaikan pandanganku menatap ruangan yang gelap. Kepalaku menoleh ke sekeliling ruangan berusaha memastikan tidak ada cctv yang sedang mengawasiku, sebelum mendudukkan badanku diatas kasur.
Tidak kusangka trik ku berhasil. Sudah berada di dalam rumah Ian, kini aku tinggal mencari ruang kerjanya dan mendownload virus ke dalam komputernya sesuai arahan Ken. Kurogoh saku celanaku untuk memastikan usb yang kubutuhkan masih tersimpan bersamaan dengan handphone ku.
Sudah di dalam rumah Ian, sedang menunggu sepi. Akan kukabari bila berhasil. Love, Princess.
Kutekan tombol send yang mengirimkan text ke Ken memberitahukannya bahwa rencanaku sejauh ini berhasil.
Aku menunggu hingga jam di handphone ku menunjukkan pukul 2 subuh sebelum perlahan membuka pintu kamar dan mengendap endap keluar dengan kaki telanjang agar tidak mengeluarkan suara. Suasana rumah tampak sepi dan gelap menandakan seluruh penghuninya mungkin sudah terlelap dalam buaian mimpi.
Terpukau dengan luasnya rumah Ian, aku menyadari bahwa tidak ada satupun kamera cctv di dalam rumah. Sepertinya pria tu memang tidak memasangnya karena aku teringat di salah satu artikel yang mengatakan walaupun teknologi adalah bagian dari hidupnya dirinya sangat mementingkan privasi dan kamera yang terpasang di mana mana membuatnya jengah.
Aku terus menyusuri ruangan demi ruangan yang tidak ada habisnya. Kamar demi kamar berjajar di lantai itu diikuti ruang tengah dan dapur. Tidak terlihat ruang kerja atau komputer sama sekali di lantai itu. Sudah hampir menyerah, aku kemudian menemukan sebuah tangga menuju ke bawah di sisi tengah rumah. Agak tertutup oleh rak buku, hampir saja aku tidak melihatnya.
Perlahan aku menuruni tangga bening yang terbuat dari kaca, tangan menyusuri dinding tembok yang juga terbuat dari kaca. Mataku terbelalak ketika tiba di dasar tangga, menyadari betapa luasnya basement yang kumasuki.
Ruang bawah tanah itu terdiri dari beberapa ruangan yang tersekat kaca. Dan di salah satu ruangan paling ujung terletak 3 layar komputer berjajar diikuti sebuah layar yang lebih lebar diatasnya. Semua layar menyala memperlihatkan angka angka yang tidak aku pahami. Di hadapannya Ian sedang duduk, headphone terpasang di telinganya, jemarinya mengetikkan sesuatu ke keyboard membelakangiku.
Sialan! Umpatku dalam hati. Belum tidur juga.
Aku mengendap kembali ke atas dan masuk ke kamar. Kurebahkan badanku sambil berpikir, akan kucoba sejam lagi untuk turun ke bawah. Kututup mataku sejenak sementara otakku berandai andai bagaimana rasanya mempunyai rumah sebesar ini. Seorang putri raja dan pangeran. Hidup bahagia tidak pernah kekurangan.